Chapter II : Aku Hanya Penasaran

15 1 1
                                    

Abby Verdova, lebih dikenal sebagai Kuromiya Yuzuru di Akademi Betrixenne, si anak pindahan berdarah Rusia. Dia telah menjadi populer sejak hari pertama datang ke sekolah ini. Jika dihitung-hitung sudah dua minggu lamanya sejak dia pertama kali datang ke akademi ini, dan dalam waktu dua minggu itu pula satu sekolah mengetahui namanya. Menjadi populer karena kecantikan dan kejeniusannya, gadis ini tiba-tiba saja mendapat gelar IT GIRL. Tapi, ada satu hal yang aku sadari, walaupun populer seperti itu, dia tak pernah terlihat bersama anak-anak lain. Aneh.

"Oy! Ze!" aku dikejutkan dengan suara Rachel yang memanggilku. "Lo kenapa sih? dari tadi ngeliatin si Abby sebegitu seriusnya, naksir lo?"

"Eh? memang kenapa? wajar kalo orang-orang termasuk Kaze ngeliatin tuh cewek, sudahlah cantik, tinggi, bening, pinter, populer pula," ujar Eyeon.

"Bukan begitu, dia walaupun populer, kenapa sendirian begitu di depan gerbang?" kataku.

"Nungguin jemputan kali, udahlah gak usah dipeduliin, yok ah, cabut". Rachel menaiki sepeda motornya disusul dengan Eyeon. "Ze, sudah ayo cabut".

Aku pun menaiki motorku, niatnya aku ingin menghampiri dia dan memberinya tumpangan pulang. Tapi, aku mengurungkan niatku itu. Selang beberapa menit aku melihat seorang laki-laki yang familiar sekali untukku. Laki-laki dengan ban tangan, dialah si ketua osis, Jefferen. Mereka terlihat akrab, sangat akrab. Apa hubungan mereka? Apa yang mereka bicarakan?

Tak berselang lama mereka berjalan besama. Entah kenapa ada rasa penasaran yang muncul. Aku ingin tahu kemana mereka pergi, maksudku, si ketua osis yang terkenal menempel sekali dengan kakaknya itu tiba-tiba dekat dengan siswi pindahan? Tak ada salahnya bukan?

Aku langsung tancap gas dan mengikuti mereka. Aku bisa mendengar Rachel dan Eyeon yang meneriaki namaku. Aku tak menggubris mereka yang menyusulku dengan motor mereka. Aku hanya fokus ke jalanan. Tak lama, aku berhenti di depan sebuah cafe. Locafe et Boulgerie, aku kenal tempat ini. Ini adalah cafe yang dikelola oleh Miss Spencer, guru sastra inggris kami dan aku melihat Jefferen dan Abby masuk ke sana. Aku memang tahu kalau ketua OSIS itu adalah manager cafe, tapi, untuk apa Abby masuk ke sana? Aku harus cari tahu.

"Kaze!" panggil Rachel. "Lo kenapa sih? tiba-tiba aja ngegas begitu, gue panggil-panggil gak noleh, kenapa sih?"

"Gapapa, cuma mau mampir ke sini aja," kataku. Omong kosong, aku hanya penasaran dengan Jefferen dan Abby.  Aku turun dari motorku lalu masuk ke cafe itu disusul oleh Eyeon dan Rachel. Saat pertama kali pintu cafe dibuka, aroma kopi dan pastry yang lembut keluar bebas di udara. Aku langsung disuguhi dengan arsitektur cafe ala Prancis bercampur medieval yang khas. Jejeran pastry dan roti dipajang rapih di etalase kaca. Suara musik klasik yang diputar setiap hari sibuk memenuhi ruangan. Banyak orang yang datang mampir untuk belajar, nongkrong bersama teman atau pacar dan ada juga yang sekedar ingin menikmati waktu luang. Pantas saja cafe ini selalu ramai, ternyata memang senyaman itu.

"Astaga baru masuk aja perut gue udah keroncongan, nongki bentar sabi lah!" Ujar Eyeon. Rubah itu, aroma pastry di sini pasti membuatnya lapar, lihatlah air liur yang keluar dari mulutnya itu.

"Boleh sih, tapi sayangnya gak bisa nge-vape gue disini, cih," Rachel berdecih. Dasar bisa-bisanya mementingkan adiksi nikotinnya itu. Walau komentarnya begitu, aku bisa melihat bahwa dia tergiur dengan aroma pastry di sini. Matanya terus-menerus menatap ke arah pain ou chocolate yang berjejer rapi di etalase café. Aku mengerti, memang terlihat enak sekali.

"Meja untuk berapa orang?" Tanya seorang laki-laki bersurai pirang dengan celemek dan topi seragam cafe.

"Tiga orang saja," jawabku. Laki-laki itu menubtuk kami ke arah sebuah meja di dekat jendela dengan empat kursi. Setelah kami duduk di kursi dengan bantalan empuk berwarna burgundy itu, si karyawan café tadi memberikan buku menu kepada kami. Jika dilihat-lihat, harga menu makanan dan minuman yang disajikan justru sangat terjangkau jika dibandingkan dengan arsitektur yang klasik dan nampak mewah ini. Aku bahkan tidak tahu harga secangkir espresso bisa semurah ini — aku tidak suka espresso.

Vermillion Dawn : Takdir Tinta MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang