Akibat pertengkaran beberapa waktu lalu membuat Kafe Laguna tutup. Gie bahkan tidak berusaha menyelesaikan masalah tersebut di grup. Semuanya hanya diam sehingga masalah ini kian berlarut. Tentu aku percaya bukan Alfian pelakunya. Nata juga sangat keterlaluan waktu itu. If I were him, aku juga akan marah.Sebagai seorang pacar, aku selalu berusaha mengerti dirinya. Sehingga ketika ia bilang ingin waktu sendiri dulu, aku menghargainya.
"Ta, udah tahu kabar belum?" Aku masih mematung memandangi buku catatan padahal sudah sepuluh menit lalu kelas mata kuliah Sosiologi Budaya selesai. Tadinya aku tidak peduli dengan informasi yang ingin disampaikan Yovie. Namun, ketika nama Sita disebut, aku langsung bereaksi mendengarkan.
"Ada apa?"
"Kemarin, dia pingsan!" ujarnya dengan suara pelan. Keningku berkerut, sedikit terkejut. Kemudian Yovie menggeser tubuhnya mendekat. "Kemarin kan ada Osfak ... terus pas lagi di evaluasi, Sita pingsan. Gie yang lagi ngobrol sama Alfian di kantin Teknik waktu itu langsung lari ke lapangan buat gedong bawa ke klinik kampus. So sweet banget gila. Di base kampus lagi rame tuh. Banyak yang cemburu berat sama dia."
"Tunggu. Sita beneran pingsan? Dia saki tapa?" Alih-alih merespon tentang kehebohan, aku malah lebih mengkhawatirkan kondisinya. Apakah ini ada kaitannya dengan gagalnya dia masuk ITB?
"Gatau juga kalau itu. Coba deh habis ini kamu tengokin adik kamu."
Tanpa pikir panjang, saat itu juga—tanpa sepengetahuan Yovie, Gie, bahkan Alfian—aku menghampiri Fakultas Teknik untuk menemui Sita. Sejak tadi ponselnya tidak bisa dihubungi. Aku memberanikan diri menanyakan satu per satu orang yang kutemui di sana. Namun, tidak ada yang melihat keberadaan Sita.
"Oh, Sita, ya? Dia gak masuk hari ini, Kak. Mungkin masih sakit," ujar salah satu anak laki-laki teman sekelasnya.
Jadi aku memutuskan untuk pulang saja ke kosan.
Ketika hendak menaiki tangga kosan, aku mendengar suara isak tangis perempuan. Makin lama, suaranya makin jelas. Ternyata itu adalah suara tangisan Sita. Ia sedang duduk di ruang tunggu, membawa satu koper di sampingnya yang entah isinya apa. "Sita?" Aku terkejut, tetapi makin terkejut lagi ketika melihat kondisinya.
"Kak ..." suaranya bergetar ketakutan. Kulihat matanya sembab, pipinya lebam kemerahan, serta ada darah kering di ujung bibirnya.
"Kamu kenapa?"
Sita masih terdiam sembari menundukan wajahnya agar tak ketahuan masih menangis. Saat itu aku sadar bahwa harus menahan diri agar ia tenang dulu. Jadi, aku menuntun pundaknya untuk masuk ke kosan. Lalu aku langsung menyuguhkan segelas minum yang langsung di teguknya hingga tandas.
"Nah sekarang ... kamu bisa ceritain semua sama Kakak. Ada masalah apa ... dan lukamu?" Jari telunjukku menyentuh ujung bibirnya. "Ini sakit?"
Sita menggeleng pelan. "Tidak sakit. Aku memang pantas mendapatkannya."
"Apa maksudnya? Siapa yang melakukan itu?" Jawaban Sita membuat aku goyah bersikap sabar.
"Budhe Yanti."
Darahku mendidih hebat, sembari mengepal tangan aku langsung mengumpat. "Berengsek!" Bagaimana bisa dia memukul Sita sampai seperti ini, sementara orang tua kandungnya saja tidak pernah melukainya. Namun, sebelum Sita menjelaskan permasalahannya suara teriakan Yovie dari bawah tangga yang memanggil namaku langsung membuyarkan segalanya.
"Lita, Lita!"
"Ada apa, Yov?"
Yovie masih mengatur napasnya yang terengah-engah. "Itu ... Gie Alfian, mereka mukulin Nata di kafe. Rame banget orang yang nonton. Kamu harus cepat ke sana!"
"HAH?" Aku dan Sita bereaksi sama.
**
Suasana hening menyelimuti Kafe Laguna yang biasanya ramai pengunjung. Aku, Sita, Yovie duduk di bangku pojok sebelah kanan belakang meja bartender dan kasir. Alfian dan Gie duduk di bangku membelakangi pintu masuk, sementara Nata duduk di tengah layaknya tersangka yang diadili.
Sejak tadi, Nata tidak pernah berani menatap mataku.
"Ini sebenarnya ada masalah apa sih?" Aku yang pertama membuka mulut. Menyapu pandangan pada satu per satu orang dalam kafe yang tidak ada yang berniat menjawab. "Aku tanya lho ... kok kalian diem aja sih?"
"Dia yang curi uangnya!" jawab Alfian dengan nada kesal.
Bola mataku membulat tidak percaya. "Hah? Buat apa Mas Nata mencuri?" Nata tidak sekaya Gie, tetapi untuk ukuran orang daerah, ia berasal dari keluarga berkecukupan.
"Mau lo yang jawab ... apa gue yang jawab?" Suara berat Gie terdengar menyeramkan. Mata tajamnya menatap Nata yang duduk di tengah dengan wajah tertunduk. Kemudian pandangannya berpindah ke Sita. "Atau adek lo yang mau jawab?"
Mendengar jawaban Gie membuat aku refleks mengalihkan atensiku pada Sita yang duduk di samping. "Sita, ada apa ini?" Sita kembali menangis, menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Melihat sikapnya yang seperti itu membuatku kehilangan kesabaran. "Cepet jawab! Ini ada apa?"
"Sita hamil anak aku, Ta," timpal Nata dengan suara serak membuat kondisiku seperti tersambar petir di siang bolong. "Ini semua salah aku."
"What the—" Yovie yang mendengar kalimat itu pun langsung menutup mulut dengan telapak tangannya.
"Bukan salah dia, Kak. Ini semua salah aku!" Kini, Sita yang bereaksi lebih. "Malam terkutuk itu ga akan terjadi kalau aja aku gak jual cerita sedih ke dia, tentang kehidupanku, tentang Gie yang jujur kalau suka sama Kak Lita ... mungkin Nata juga ga akan kasihan dan perhatian sama aku. Soalnya aku tahu ... kalau sejak dia SMA, cuma kakak yang dia suka."
"What the—" Kali ini suara Yovie jauh lebih kencang. Dia benar-benar tidak menyangka akan berada dalam situasi ini.
"Aku juga yang nyuruh dia siapin uang yang besar untuk aborsi anak ini ..."
Plak! Tanganku refleks menampar pipinya ketika mendengar kata "aborsi". Bagaimana mereka disebut manusia ketika harus membunuh makhluk yang tumbuh dalam rahimnya? Ini bukan suatu kecelakaan, tetapi mereka melakukannya dengan sadar.
Alfian bangkit dari kursi, lalu menghalau tanganku untuk sekali lagi menamparnya. "Tenang jangan gegabah, Ta. Sita lagi hamil. Please dengerin aku, ya!"
"Sudah berapa bulan?"
"Mau jalan dua puluh minggu, Kak."
Aku menghela napas, menepuk-nepuk dadaku yang sesak. Sementara Alfian yang berada di sampingku setia mengelus pundakku lembut. Harus bagaimana aku menanggapinya dan bagaimana aku menjelaskan segalanya kepada ibu. Beliau pasti sangat kecewa.
"Sejak awal aku tidak pernah setuju dengan rencana Sita."
"Terus bagaimana dengan masa depan kamu ... masa depan aku? Terlebih lagi ... perempuan yang kamu cintai bukan aku." Teriak Sita dengan emosi yang membludak. Nata yang sejak tadi berdiam diri di kursi pesakitan pun bangkit menghampirinya. Tubuhnya memeluk tubuh Sita lembut.
"Kalau kita gagal jadi seorang anak. Aku gamau gagal juga jadi orang tua. Aku janji akan tanggung jawab dan membuat keadaannya jauh lebih baik. Dan aku janji, akan berusaha menyayangi kamu. Aku janji," ujarnya dengan nada lembut. Kemudian keduanya saling berpelukan dan menangis. "Kita pasti bisa lewati ini semua."
Apa pun alasan mereka melakukan hubungan tersebut tidak bisa dibenarkan. Berbuat zina adalah dosa. Manusia pasti pernah melakukan salah dan khilaf. Tetapi yang membedakan adalah mereka berusaha memperbaiki apa yang telah mereka perbuat. Dengan begitu, mereka masih bisa disebut manusia karena tidak pernah lari dari masalah. Meskipun tidak ada jaminan—mereka bebas dari masalah—ketika sudah menikah. Semoga pembelajaran ini bisa mendewasakan mereka.
**to be continued**
Author's note :
Sore update bab lagi, ya!

KAMU SEDANG MEMBACA
Eternal Sunshine (Selesai)
RomanceTidak ada yang spesial dalam hidup Lita sebelum akhirnya kuliah di Bandung, lalu bertemu lagi dengan Alfian, teman SD yang dulu pernah mencium pipinya di depan banyak orang. Alfian tumbuh menjadi pria berbeda, Lita tahu dari bagaimana Alfian menata...