027. bersatu, satunya berpisah

125 21 10
                                    

Aku percaya bahwa ada hikmah dibalik setiap ujian manusia. Mungkin ini cara Tuhan untuk menyatukan kembali anak dan ibu yang terpisah sepuluh tahun lamanya. Ibu tentu kecewa. Namun, melihat wajah anaknya yang menangis membuatnya luluh juga. Ibu berbesar hati memaafkan dan menerima apa pun kondisi Sita.

Keluarga besar murka. Bahkan sehari setelah Sita tiba di Cirebon, Budhe Yanti menyusul, lalu berteriak marah-marah depan rumah yang membuat tetangga tahu.

"Dasar anak gatahu diri! Sudah saya kasih pendidikan yang bagus, fasilitas terbaik, bahkan saya sudah menjodohkan kamu dengan anak orang terpandang. Tetapi apa balasan kamu? HAMIL DI LUAR NIKAH SAMA PRIA DESA! Kamu coreng muka saya pakai tahi! Bikin malu keluarga besar! Mati saja kamu daripada hidup tidak berguna!"

"Huuuu ... dasar anak tidak tahu diri!"

"Bagaimana kalau kita arak saja dia keliling desa?!"

Seluruh tetangga yang mendengar langsung bergunjing dan menatap jijik ke rumah kami. Sanksi sosial memang kejam, aku bisa mengerti bagaimana dulu Alfian begitu trauma.

Hari demi hari sebelum akad pernikahan, aku melihat pemandangan tidak biasa di rumah. Ketika aku bangun tidur, aku melihat Sita dan Ibu sedang memasak di dapur. Sesekali Sita bertanya tentang bahan-bahan, lalu ibu menjawabnya dengan panjang lebar.

Pernah juga ketika aku keluar dari kamar mandi, aku mendapati keduanya sedang tertawa melihat acara televisi. Ibu juga sering mengelus perut Sita dengan lembut, lalu mendoakan hal yang baik-baik.

Namun, sepertinya masalah tidak berhenti sampai di situ saja. Ayah Nata tidak setuju dengan pernikahan ini. Awalnya ibu nya pun sama, tetapi ketika melihat langsung sosok Sita, ia berubah pikiran.

"Sudahlah, Pak. Ini demi kebaikan kita semua. Lagi pula anak kita juga kepinginnya begitu."

"Nata itu anak kita satu-satunya. Lulus kuliah saja belum sudah mau nikah. Mau kasih makan apa itu anak?"

"Nata sebentar lagi lulus kuliah, Pak. Nata janji ga akan nyusahi bapak sama ibu. Nata akan tanggung jawab penuh. Bekerja kaki jadi kepala, kepala jadi kaki buat keluarga Nata."

"Halah! Anak ingusan sepertimu itu tahu apa tentang kerasnya hidup!"

Rasa benciku pada Nata sirna melihat kesungguhannya bertanggung jawab. Ia setia menemani Sita check up ke dokter dan membelikannya vitamin. Dan yang paling membuat hatiku terenyuh, ia selalu bersujud di kaki ibuku meminta maaf. Aku rasa, itu sudah cukup membuktikan bahwa ia serius dengan ucapannya.

Pada akhirnya keluarga Nata setuju. Bukan demi Nata, tetapi demi jabatannya. Bapak Nata adalah seorang petinggi di desa. Reputasinya sudah hancur, tetapi akan lebih hancur lagi jika melarang anaknya menikah dengan perempuan yang sudah dihamili. Seminggu setelah kedatangannya ke rumah, mereka menggelar acara pernikahan sederhana. Disaksikan antar keluarga besar dan perwakilan tetangga.

Alfian, Gie, dan Yovie ikut menyaksikan acara tersebut. Mereka memberi selamat dengan tulus.

"Selamat ya, Bang," ujar Alfian menepuk-nepuk pundak Nata.

"Terima kasih, Al. Gue minta maaf sama apa yang udah gue lakukan. Gue memang pantas di benci."

"Ngomong apa sih lo? Gue udah maafin kok. Yang penting ... lo jagain Sita dan tepatin janji lo. Kalau sampai lo ingkar janji, lihat aja apa yang bakal gue lakuin."

Begitu juga dengan Gie. Tatapan tajam itu melunak ketika melihat sosok Sita yang cantik mengenakan baju pengantin. Suasana haru itu tidak bisa dibendungnya. Sita meminta maaf sambil menangis, sementara Gie menampilkan senyum terbaiknya. "Semua bukan salah kamu, Sit. Maaf ya kalau aku juga udah nyakitin perasaan kamu. Semoga pernikahan kamu bahagia."

Aku tidak menyangka bahwa Sita melangkahiku lebih dulu. Dan hari ini, rumah ini kedatangan keluarga baru.

**

Makin hari gelagat Alfian makin mencurigakan. Ia kadang tidak bisa dihubungi, atau kadang mengalihkan pembicaraan jika aku menangih tentang "kontrakan" yang Nata singgung. Kali ini, ketika ia datang ke kosan, aku tidak ingin mengulur waktu lagi.

"So, what are we?" kataku tiba-tiba. Alfian yang baru saja masuk ke kamar langsung beraksi bingung dengan mengrutkan dahinya.

"Kita? Please, Ta ... you know the answer kan? Selama ini memangnya kita ngejalanin apa?"

"Aku tahu kamu ngelakuin sesuatu di belakangku!" Aku sudah benar-benar pada puncaknya. Bukan kah dulu Alfian yang bilang bahwa kita harus saling terbuka dalam hal apa pun. Melihat dia bersikap seolah-olah tidak ada apa-apa membuat aku kesal.

"Ta, aku ke sini buat ketemu pacar aku. Mau menghabiskan waktu bareng-bareng. Kamu tahu kan kalau belakangan ini kita sibuk masing-masing dan jarang ketemu. Aku kangen."

Alfian hendak memeluk tubuhku, tetapi aku tolak dengan halus. Aku menjauhinya, tak bisa mengontrol lagi kekesalan yang aku pendam. "Gini cara kamu menyelesaikan masalah?" Aku tidak boleh luluh begitu saja. Biar saja dianggap egois dan childish, nyatanya aku seperti tidak dianggap. Hanya aku saja yang bergantung. Sementara dia sesukanya sendiri, malah sering kali kabur jika ditanya.

"Kamu bisa ngertiin aku gak sih?" Alfian sudah mulai kesal.

"Ngertiin kamu? Terus selama ini aku yang nunggu kamu gada kabar dan penjelasan itu apa?! Kamu kok gak ngehargain aku gitu sih?"

Alfian memejamkan mata, mengatur napasnya perlahan, lalu membuka keduanya bersama-sama. "Bukan gitu maksud aku. Tolong dengerin penjelasan aku dulu. Aku pasti cerita sama kamu kalau masalahnya udah beres. Kalau sekarang waktunya belum tepat, Sayang."

"Waktu yang tepat menurut kamu tepat itu kapan?" Entah mengapa aku tidak bisa merespons seperti biasanya. Mungkin aku merasa terlalu lelah untuk mengerti dirinya sekarang. Tinggal bicara saja apa susahnya. Tetapi dia selalu megulur waktu, bilang ini dan itu.

"Aku gak bisa janji waktu "tepatnya" kapan. Tetapi aku berusaha agar semua urusannya beres secepatnya. Setelah itu, aku bakalan langsung ke kamu untuk ceritain segalanya. I'm promise!"

Sebenarnya masalah apa sih yang sedang dihadapinya. Aku terlalu kesal dan capek saat itu. Hingga pada akhirnya aku mengeluarkan kata-kata yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. "Kalau kamu masih sama pendirian kamu. Mending kita putus aja. Kamu sendiri kan yang bilang kalau kita harus saling terbuka. Tapi di sini cuman aku yang begitu. Sementara kamu?"

"Ta, please. Aku gak mau."

"Aku udah capek ngertiin kamu. Sekarang giliran kamu buat ngertiin aku. Tolong pergi dari sini, aku lagi mau sendiri."

"Ta, please." Alfian menggenggam tanganku erat. Tetapi aku abaikan begitu saja."

"Please ..." ujarku setengah memohon.

Setelah itu, Alfian mengangguk pasrah, melepas genggamannya. "Aku ngertiin kamu. Semoga setelah ini kamu bisa pikirin omongan kamu baik-baik. Take care, Ta. Kabarin aku kalau ada apa-apa." Kemudian dia keluar kamar tanpa bilang "I love you" yang seperti biasa ia ucapkan.

Apakah ini akhir dari segalanya? Mungkin saja.

**to be continued**

Jadi pengen bikin sequelnya deh. Enaknya Gie, Nata, atau Yovie yah? 🤔
Atau cerita baru lagi genre Metropop?

Eternal Sunshine (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang