Taehyung menenggak ludah saat berhadapan dengan ibunya subuh-subuh begini. Anehnya Nana Kim sudah sangat wangi, cantik dan bersih. Dia memang wanita yang selalu siap kapan pun orang lain ingin menjumpainya. Tipikal wanita yang pintar, bisa melakukan apa pun dengan kemampuannya.
Wanita itu mengetuk-ngetuk sofa dengan kuku panjangnya yang terawat. Ia memandangi putranya yang seperti kehilangan kehidupan, menarik nafas panjang berulangkali lalu tiba-tiba menangis.
“Kenapa aku bisa melahirkan anak bodoh seperti dirimu ini? Kenapa kau menangis? Apa yang kau tangisi?” tanyanya kejam. Taehyung semakin menangis. Teringat akan perlakuan kasarnya terakhir kali kepada anak-anak dan istrinya. Ia mengkhawatirkan mereka. Seandainya dia bisa bertanya pada Tzuyu hal itu baik-baik dan membujuknya. Tapi mau bagaimana lagi, dia tetaplah Kim Taehyung jika dia marah.
Dia biasanya bisa mengerem apa saja yang hendak keluar dari mulutnya atau tangannya tidak asal-asalan jika dekat dengan anak-anak. Tapi memang rasa terbakar dan kecewa yang ia lihat atas dokumen kemarin benar-benar membuat dia tidak dapat menanggungnya lagi.
“Istri dan anak-anakku...” katanya pelan sekali. Suaranya serak dan ia sangat putus asa. Kemana Tzuyu pergi tengah malam seperti itu? Kemana dia membawa anak-anak? Kemana mereka bernaung? Apa mereka baik-baik saja?
Nana menghela nafas lagi melihat Taehyung yang semakin menangis. Mengakui dalam hatinya bahwa Taehyung persis suami dan ayahnya. Nana yang keras dikelilingi oleh laki-laki lembut penyayang. Ia tahu hal ini setidaknya akan berdampak ke salah satu anaknya, bukan malah dua-duanya menjadi cengeng dan murah hati seperti ini. Nana hidup dengan orangtua yang kaya raya, tapi ibunya cepat meninggal dunia saat usianya masih belia.
Ayahnya sangat baik, tapi ia tidak punya figur ibu yang bisa memberitahunya apa yang seharusnya dilakukan ibu untuk anak-anaknya. Ia tidak mengerti hal-hal sederhana juga sulit seperti itu. Maka dari itulah sebagai sulung dari empat bersaudara, dia menjadi keras dan mendidik adiknya sama kerasnya.
Sangking ia menyayangi ayahnya, ia yang lulus jurusan manejemen keuangan dari California Institute of Technology setuju dijodohkan dengan kenalan ayahnya, dia adalah Papa Taehyung dan Tiffany. Pria itu hanyalah seorang pegawai sipil Korea biasa, pria yang sangat baik yang berkenalan dengan papanya hanya karena mereka sering berjumpa di tempat futsal bersama. Itu hal aneh, tapi mau bagaimana lagi—para lelaki memang aneh.
Dia awalnya tidak terlalu mencintai suaminya. Mereka bahkan mendapatkan Tiffany lama. Tidak pernah saling menyentuh selama dua tahun dan suaminya tidak pernah mengatakan hal yang buruk padanya. Karena terus menunda kehamilan, Nana akhirnya lama untuk punya anak sampai bertahun-tahun, suaminya juga tidak mengatakan apapun. Dia yang tumbuh sebagai sosok yang keras sering menyalahkan dirinya sendiri karena selalu gagal untuk punya anak. Disana dia mulai memperhitungkan dan memandang suaminya sebagai sosok yang ia hargai walaupun ia tidak mengatakannya dengan jelas. Suaminya mirip sekali kepribadiannya dengan ayahnya. Jadi Nana menyukainya, disana ia juga mengerti mengapa ayahnya menjodohkannya dengan pria tanpa masa depan itu. Karena harta yang Nana miliki dan putri sulung ayahnya itu harus mendapatkan pasangan hidup yang baik. Itu terbukti bahwa Nana masih bisa berlaku sesukanya tanpa diatur sang suami meskipun ia sudah menikah.
Cocok dengan kepribadiannya yang keras, ia harus mendapatkan suami lemah lembut.
Tak lama setelah kelahiran Tiffany, tiba-tiba saja ia hamil Taehyung. Itu terjadi begitu saja. Kehamilan beruntun.
Jadi saat melihat Taehyung menikahi Tzuyu, awalnya memang ia biasa saja, bahkan terkesan tidak peduli dengan apa pun pilihan anaknya. Tapi lama-kelamaan karena dia juga sulit hamil, Nana seperti melihat masa lalunya dan mulai menyalahkan Tzuyu lagi. Padahal dia juga tahu kegagalan kehamilan bisa saja tidak hanya disebabkan oleh salah satu sisi. Bisa Taehyung yang salah, bisa yang lainnya. Apalagi Taehyung adalah keturunan Nana yang dulu sempat sulit hamil. Dia mengambil alibi agar anaknya tidak selalu disalahkan dalam lingkungan sosialitanya.