9

386 48 12
                                    

9

POV DESTINY

Menit berganti jam berganti hari. Seminggu setelah aku menutup telepon dari Clarity (karena alasan paling tidak penting di bab sebelumnya), sepertinya kami memang sudah tak memiliki kepentingan satu sama lain lagi. Seperti katanya, tidak mau punya hutang budi (yang lebih terdengar seperti malas balas budi), ia tidak menghubungiku. Tidak berupa pesan, tidak berupa sambungan telepon. Hanya angin yang kukhayalkan sebagai aroma parfumnya. Juga bisikan yang menyerupai gurauannya.

Sambil menopang wajah, kupandangi ponselku. Kuketuk layarnya setiap 5 sampai 7 menit sekali. Tidak ada apa-apa.

"Kenapa dia tidak mencariku? Kenapa dia tidak mengubungiku? Haruskah aku menghubunginya? Tapi kenapa harus aku yang menghubunginya lebih dulu?" tanyaku pada segelas kopi dingin di depanku.

"Mungkin karena kamu orang yang membosankan, D..."

Aku butuh paling tidak 3 detik untuk menyadari kehadirannya. Satu detik ketika ia mengucapkan namaku. 1 detik ketika wanginya sampai di hidungku. 1 detik, ketika aku menoleh dan ia bukan berupa imajenasi dalam kepalaku.

"C, aduh!" Aku berdiri. Meja bergeser sedikit karena lututku yang ceroboh. Aku mengaduh, Clarity mencengkram lenganku, menahan tubuhku agar tak goyah. Agar aku tak mempermalukan diriku lebih dari yang seharusnya.

"Pelan-pelan. Aku bukan hantu. Belum." Ia tambahkan senyum dalam nada suaranya.

"Kenapa kamu ada di sini?" tanyaku. Sambil menyeka meja yang basah karena tumpahan es kopi dengan tisu. Sementara Clarity masih berdiri di tempat yang tadi.

"Restoran ini milikmu?"

"Ya, bukan..."

Aku sih berharap restoran ini memang milikku. Sepertinya penghasilannya lumayan.

"Jadi, aku boleh datang ke sini. Apa kabarmu, D?"

"Baik..." Aku masih sibuk, namun Clarity memegang pundakku. Ia putar tubuhku. Ia peluk aku.

"Oke kalau begitu... Aku akan memberi privasi padamu. Aku akan duduk di sana." Ia menunjuk ke meja dekat jendela setelah pelukan kami berjarak. Aku tidak setuju sepenuhnya.

"Kamu menunggu seseorang?"

Clarity menggeleng dengan polos. "Aku sendirian. Aku tidak menunggu seseorang. Aku datang untuk minum sambil memastikan."

"Memastikan apa?"

"Kalau kamu baik-baik saja. Jadi, aku sengaja datang untuk melihat apa kamu baik-baik. Lalu aku akan beli secangkir teh."

"Kamu sengaja datang untuk melihat apa aku masih hidup, lalu kamu akan minum teh sendiri?"

Clarity mengiyakan. "Aku memastikan kamu baik-baik saja. Hm, kadang orang yang hidup belum tentu baik-baik saja."

"Kenapa tidak mengirim pesan saja?" tanyaku. Kadang Clarity mirip nenek-nenek yang tak mengerti gunanya teknologi. Lalu apa yang akan ia lakukan kalau sebulan kami tidak bertemu? Mengirim surat ke kantor pos? Ia tidak tahu alamatku. Tapi ia tahu nomor teleponku. Tetap saja, ia memilih berjudi dengan peluang, untuk mencariku dan melihatku dengan matanya sendiri.

Tiba-tiba aku ingat teori peluang yang sempat dijabarkan Epiphany. Aku jadi merinding sendiri.

"Kalau aku mengirim pesan, aku tak bisa melihat ekspresimu. Dan aku punya rencana lain, minum teh. Jadi... Kamu bukan satu-satunya poros perputaran dunia."

"Kan kamu bisa menelepon. Membuat janji denganku kalau ingin melihatku secara langsung." Aku berkilah.

"Tapi variabel kemungkinannya ada 3. Kamu akan menolak bertemu. Kamu akan mau bertemu. Atau kamu akan pura-pura tidak membaca pesan atau tidak mengangkat teleponku."

SECONDHAND LOVE (FREENBECKY) GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang