Aku mondar-mandir sembari memegangi ponsel. Sesekali memandang nama Alfian yang kontaknya belum kuganti setelah kejadian putus beberapa minggu lalu. Diam-diam diluar jam shift aku sering ke Kafe Laguna hanya ingin melihatnya dari kejauhan. Namun, batang hidungnya tidak terlihat sama sekali.
Malah sepertinya Gie mencari pegawai part time baru setelah hengkangnya Nata yang ingin lebih fokus skripsian dan menyambut kelahiran puteri kecilnya.
"Dia ke mana sih!?"
Aku berkacak pinggang. Apa urusannya, toh sejak awal yang minta putus memang aku? Tetapi di sini lainnya, aku tidak terima begitu saja. Katanya dia sangat mencintaiku, kenapa begitu mudah melepaskan tanpa pernah berusaha mempertahankannya? Tidak lama, seseorang mengetuk pintu kamar, memberi jeda padaku yang daritadi misuh-misuh sendiri. Ku taruh ponselku di atas meja belajar, lalu berjalan membuka pintu. "Ya, siapa?"
Alfian berdiri di hadapanku, mengenakan celana jeans belel yang tampak tak dicuci dan jaket kulit hitam favoritenya. "Apa kabar?" katanya dengan senyuman manis yang kurindukan. Demi Tuhan, hatiku yang kesal meleleh dibuatnya. "Aku boleh masuk gak?"
"Ngapain kamu ke sini?" jawabku ketus. "Kalau ke sini cuma mau minta maaf—"
"Kok tahu?"
"Percuma ... udah terlambat. Kemarin-kemarin ke mana aja?"
Bukannya marah, Alfian malah terkekeh memandang dengan wajah gemas. Melihat responsnya membuatku kembali kesal. Dia sedang tidak mempermainkan aku, kan? Aku hendak menutup pintu. Namun, dengan cepat tangan Alfian menahan daun pintu. Kalau saja aku menutup lebih cepat bisa saja tangannya terjepit. "Kasih aku kesempatan buat jelasin semuanya. Aku udah bilang kan kalau semuanya udah beres, aku bakal nemuin kamu."
"Kenapa gak kemarin-kemarin? Kalau ga ada waktu, kamu masih bisa kirim WhatsApp kan?" Nadaku meninggi. Lalu suara sreeek dari dalam kamar tetangga kosan terdengar. Kepalaku maju ke depan, mendapati para tetangga sedang mengintip kami dari balik tirai. Aku mengeram kesal, kenapa sih mereka sering kepo sama urusan orang?
Alfian mengatupkan bibir, melirikku tanpa ekspresi apa-apa. Mungkin dia tahu kalau akan jadi sasaranku di setiap kata yang diucapkannya.
"Masuk!" perintahku yang langsung dituruti Alfian tanpa interupsi.
Punggungku menyender pada dipan kasur menatap lurus ke arah Alfian yang duduk membelakangi pintu. Menunggu ia membuka mulut untuk menjelaskan segalanya. Alasan apa yang pantas dan logis mengapa ia menutupi ini sendirian.
"Aku kangen banget sama kamu, Ta. Kangen banget sampai rasanya gak bisa bernapas. Tiap malam setelah pulang dari bekerja, aku selalu nyempetin datang ke sini. Melihat dari bawah apakah lampu kamar kamu sudah mati atau masih menyala. Aku senang kalau lampu kamarnya udah mati, tandanya kamu udah tidur dengan nyenyak. Kalau masih nyala, tanganku suka gatel buat kirim pesan buat tanya kamu lagi ngapain."
"Gada yang larang kamu buat kirim pesan kok."
"Memang gada. Tapi aku harus bikin pertahanan ... dengan cara begini."
"Terus ngapain lagi kamu ke sini?"
"I told you, bahkan setelah kamu ngajak putus. Aku bakalan ke sini kalau semua masalahnya sudah beres."
"Go on!" Aku tidak ingin lama berbasa-basi meskipun jauh dalam lubuk hatiku masih ingin lama berada di dekatnya.
"Waktu ibu kamu operasi, aku ingat ibuku sendiri. Aku berjanji akan menemuinya, kan? Aku tepati janjiku untuk datang ke sana tanpa memberi kabar sebelumnya. Lalu yang kulihat pertama kali adalah wajah ibu yang penuh dengan luka-luka lebam."

KAMU SEDANG MEMBACA
Eternal Sunshine (Selesai)
RomanceTidak ada yang spesial dalam hidup Lita sebelum akhirnya kuliah di Bandung, lalu bertemu lagi dengan Alfian, teman SD yang dulu pernah mencium pipinya di depan banyak orang. Alfian tumbuh menjadi pria berbeda, Lita tahu dari bagaimana Alfian menata...