Bab 13: Asam Lambung

9.6K 835 72
                                    

22 jam terasa terlalu lama bagi Renner. Buku TTS pemberian Sabila sudah habis diisinya. Ia bahkan sempat menghapus semua jawaban dan mengisinya ulang.

Jam delapan malam masih terasa sangat lama.

Seharian ini, meski dijenguk Syarla, Paul, Iqbal, dan Danil, harinya terasa hampa. Renner mengunjungi ruang IGD kembali, menonton kehidupan warga. Tapi memang yang dicari tidak ada, jadi ia segera kembali ke kamar.

Ia memandangi jam yang masih menunjukkan pukul 7 kurang 10. Makan malam telah ia habiskan. Obat telah ia minum. Ia kemudian mengambil gitar yang Paul bawakan untuk mengisi waktu. Lagu-lagu Dewa 19 andalannya ia mainkan pelan. Meski samar, Renner ikut bernyanyi beriringan dengan petikan gitarnya.

"Bagus juga suaramu, Ren." sahut sebuah suara.

"Dok- kok udah dateng?" Renner menoleh cepat, tak sempat menyembunyikan ekspresi riangnya.

"Iya, sengaja dateng lebih cepet biar bisa cek kesini dulu. Malem minggu, biasanya IGD rame." jawab Sabila.

"Mas-mas asam lambung masih datang?" tanya Renner.

"Tiga hari di RS udah hafal semua pasien ya kamu." jawab Sabila tersenyum, "Kayaknya akan datang, tapi nggak apa-apa. Selama dia nggak ganggu fisik, kita ladenin aja. Mana tau beneran sakit."

Setelah memeriksa Renner, Sabila pamit untuk menjalankan tugasnya di IGD.

⏳⏳⏳

Biarpun sudah jam 11 malam, Renner tak juga kunjung mengantuk. Ia memutuskan untuk melakukan rutin kelilingnya. Tentu ia mampir lagi ke unit IGD. Malam ini, IGD tampak penuh. Hampir semua brankar terisi, semua dokter dan suster juga sangat sibuk. Begitu pun Sabila, ia sedang menangani sepasang Ibu-anak. Setelah selesai, ia kembali ke station untuk menyelesaikan administrasi.

Tak lama, pintu IGD terbuka, si pemuda asam lambung kembali lagi.

Renner mendudukkan diri di pojok lorong. Mengamati semuanya.

Sabila menoleh kanan-kiri. Ega dan Anna sedang sibuk menangani pasien kecelakaan motor, darah dimana-mana. Sementara para suster sedang menghandle pasien-pasien tua. Tak ada pilihan lain, Sabila harus menghadapi pemuda ini sendirian.

"Gimana Mas?" tanya Sabila.

"Iya Dok, perut saya masih sakit." pemuda itu melihat sekitar, keadaan IGD sangat riuh sehingga tak ada yang memperhatikan interaksi mereka. "Tolong periksa saya Dok."

Sabila mau tidak mau mempersilakan pemuda itu ke brankar yang kosong.

Sabila menunduk dan fokus ke alat-alat medisnya, sementara raut pemuda itu berubah, tidak seperti biasanya. Ia memperhatikan Sabila dari atas sampai bawah.

"Hari ini sendirian aja ya Dok?" tanyanya.

"Ngga sendirian, orang IGD rame gini, di sebelah juga ada Mas Ega." jawab Sabila.

"Saya perlu buka kaos nggak?" tanya pemuda itu lagi.

"Bolak-balik periksa disini kan nggak pernah, Mas. Stetoskop saya canggih kok." ia lalu menekan stetoskopnya dari atas kaosnya.

"Dokter, masih single, kan?" tanya pemuda itu lagi.

Sabila sebenarnya sudah merasa sangat tidak nyaman, tapi ia tahu bahwa ia harus menjalankan tugasnya.

"Kok nggak jawab, Dok? Nggak pake cincin berarti belum nikah kan?" tanyanya lagi.

Pemuda tersebut terus memperhatikan Sabila dan akhirnya mencengkram pergelangan tangan Sabila, ingin memperlihatkan jari Sabila yang tanpa cincin.

Two Worlds Colliding [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang