"Awshh pelan,"
"Diem makannya!" kata Lara galak. Mengobati luka Karang dengan santainya. Sesekali dirinya menekan tak tahu diri membuat Karang meringis kesakitan.
Meski merasakan sakit tapi Karang masih sempatnya tersenyum bodoh. Menikmati wajah Lara yang jujur saja dirinya rindu. Melihat Lara berada di dekatnya membuat perasaan Karang meringan. Hatinya senang, merasa diingatkan kembali masa kecil saat dia melakukan hal yang sama, mengobati lukanya.
"Lo ngga nanya sakit apa engga?" tanya Karang asal membuka obrolan.
"Ngga perlu, gue juga pernah," jawaban tenang Lara membuat Karang menurunkan lengkungan bibirnya. Ah, waktu pertama kali mereka bertemu, Karang melihat Lara terluka seperti ini kan?
Keduanya terdiam beberapa detik. "Mereka masih suka gangguin lo?"
"Bisa diem ngga? Gue lagi males bahas itu."
Karang mengantupkan bibirnya. Wajahnya berubah mengeruh. "Tetep di samping gue. Biar mereka ngga berani ganggu lo,"
Lara menaikkan sebelah alisnya. "Ngapain gue di samping lo? Emang lo siapa?"
"Orang yang bakal marah kalo lo disakitin," kata Karang menatap lekat.
Hanya itu cara dia melindungi Lara. Karena dirinya sendiri memiliki keterbatasan yang membuatnya harus menjaga sikap tak sembarang bertindak.
Lara menghentikan gerakannya, beralih menatap lurus sepasang mata teduh di depannya. Kenapa dia selalu bersikukuh untuk mencampuri urusannya? Padahal di awal dia menolak. Karang seharusnya tahu, hal semacam ini bisa menimbulkan kesalahpahaman. Lara yang merasa dikasihani dan disisi lain ia merasa Karang sedang tertarik padanya. Sama seperti dirinya.
Gadis itu membuang nafasnya. Mengemasi obat luka dan bekas kapas kotor itu cepat. Berusaha menepis perasaannya agar tak semakin jauh. Meyakinkan dirinya bahwa tindakan Karang semata-mata hanya kasihan.
Karang yang melihat Lara seperti menghindar sesuatu hanya bisa merapatkan bibir. Mungkin dirinya terlalu cepat mengungkapkannya. Padahal ia benar mengatakan jujur.
Keheningan suasana rumah membuat Karang tertarik mengedarkan pandangan. Matanya seketika tertuju pada bingkai foto yang banyak terpajang rapi di ruang tamu. Melihat foto kecil Lara yang benar sama saat pertama kali mereka bertemu di taman. Senyumannya dulu selebar itu, tapi semakin berumbuhnya usia, nampaknya ia semakin murung. Hingga perlahan wajah ceria benar menghilang ekspresinya.
Karang masih sibuk mengamati, sampai pada saat ia mendapatkan foto ketiga orang yang menggunakan seragam SMP, ia menyipitkan matanya. Memastikan bahwa yang dia lihat itu benar nyata. Meski dirinya kaget setengah mati mengetahui hal yang sama sekali tak pernah dia bayangkan. "Avisena... dia... kakak lo???" katanya membelalakkan mata.
Lara yang sedang membereskan tadi menoleh mengikuti arah pandang Karang. "Iya, kenapa? Jelek ya? Dia paling jelek di keluarga gue, muka jelek akhlak juga jelek. Tapi di sekolah banyak fansnya heran," ucapnya santai.
Jawaban diluar dugaan Karang. Membuat lelaki itu mengerjapkan mata bingung. Tapi dalam hatinya terasa senang. Berarti Laraa juga haters Avisena. "Oh... iya, emang jelek," katanya menanggapi setuju.
Jadi teringat percakapan yang Karang selalu ingat, saat Lara dengan antusias menunjukkan giginya yang berlubang. Berkata bahwa alasan dia kabur saat itu karena ia akan di bawa kedokter gigi, ikut periksa karena kakaknya yang nangis meraung sakit gigi. Dan ternyata itu adalah Avi? Bocah tengil di kelasnya yang selalu menyebalkan dimatanya.
Sumpah, kalau saja Avi mendengar percakapan mereka, pasti dia mengamuk tak terima.
Karang kembali mengedarkan pandangannya lagi. "Dia Aige si ketos bukan si?" tanya Karang masih penasaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sea For Blue Whales
Teen Fiction⚠️DILARANG PLAGIAT! GUE VIRALIN, TUNTUT MAMPUS NNTI⚠️ "Kamu pernah bilang kalau kamu lautku Karang. Seperti namaku, Lara. Kita akan tetap bertemu ditepi saat semua orang mengutarakan lukanya dengan laut. Kamu adalah penyembuh Lara. Kita akan selalu...