029. ending

218 21 30
                                    


Hari-hari begitu cepat berlalu. Semua yang mulanya berantakan, kini tampak lebih rapih. Kami menata hidup kami dengan rasa juang, sesekali dengan air mata. Meskipun kami sadar bahwa tidak ada hidup yang sempurna.

Setelah menjebloskan ayah tirinya ke dalam penjara, Alfian memboyong ibunya ke Bandung. Mereka tinggal di rumah kontrakan milik kenalannya.

"Nak Gie ... sepertinya kita harus mempersiapkan menu yang baru!" ujar Tante Ika yang lebih pantas menjadi owner Laguna ketimbang pemilik aslinya.

"Coba Tante Ika bikin testernya dulu dong. Kalau oke ... Gie langsung acc deh!"

Gie adalah sahabat Alfian, sekaligus sahabatku yang baik. Entah bagaimana caranya kami membalas budi. Ketika menuju semester akhir, waktu kami menjadi lebih sibuk. Tentang tugas, tentang magang, bahkan skripsi. Terlebih Alfian sudah mulai bisnisnya sendiri.

Gie memberikan Tante Ika pekerjaan di Kafe Laguna. Berbekal pengalaman dalam bidang katering hampir tiga belas tahun lebih, ia percaya bahwa Kafe Laguna akan maju pesat dengan menu-menu baru yang fresh.

Alfian, Gie, dan Yovie lulus tepat waktu. Sementara aku masih harus menyelesaikan satu semester yang tertinggal karena sempat cuti. IPK Alfian memang tidak se-wah milik Gie dan Yovie, tetapi aku tetap bangga padanya. Bagaimana bisa ada pria secerdas dia? Bisa membagi waktunya tanpa pernah absen tugas-tugas kuliah? Siapa dulu dong, pacarku gitu lho!

Gie dan Yovie langsung lanjut ambil S2 di tempat berbeda. Gie lanjut ambil Master of Business Administration (MBA) di ITB dan Yovie di Universitas Indonesia. Sementara Alfian lebih sering ikut seminar bisnis untuk fokus pada usaha clothing yang dirintisnya bersamaku.

Platform TikTok begitu popular belakangan ini. Hal itu menjadikan "ladang cuan" bagi para penggiat UMKM seperti kami. Alfian begitu giat, bahkan turun langsung dalam setiap proses pembuatan, promosi, bahkan packing. Kami menyewa satu rumah untuk tempat produksi dan Gudang. Dari dua, tiga karyawan, sampai sekarang punya sepuluh karyawan.

"Sebenarnya aku gak pernah kepikiran mau jadi apa kalau udah besar. Yang ada di otakku tuh cuman kepengen jadi PNS kayak ayah dan membuktikan bahwa aku ga akan korup seperti yang dilakukan. Namun ketika semua sudah jelas, aku tahu bahwa niatku salah," ujarnya pada suatu malam setelah lelah packing ratusan pesanan. "Yang salah tetap aku anggap salah, tanpa aku menghakiminya. Anggap saja apa yang terjadi pada ayah bisa menjadi pengalaman yang berhaga agar aku tumbuh menjadi anak yang jauh lebih baik. Aku yakin, tidak ada orang tua pendosa yang menginginkan anaknya jatuh di lubang yang sama."

Alfian banyak berubah. Terutama dalam hal mengambil keputusan. Ia selalu bersikap tenang dan berpikir sebelum bertindak. Selain menjadi pacar yang baik, ia juga bisa jadi sahabat yang suportif. Bahkan ketika aku mengerjakan skripsi. Ia selalu ada untuk menyemangati.

Hari kelulusanku tiba. Aku sendiri tidak pernah menyangka ada di titik ini, mengenakan toga dan membawa banyak bucket bunga di tangan.

"Ateu, ateu ..." Yara-ponakanku, anak Sita dan Nata-yang menggemaskan itu berlari menghampiri dengan membawa sebuket bunga mawar merah muda. "Inyih unga dari Yayah dan Nek."

Aku menerima bunga itu, tersenyum tulus mengelus puncuk kepala Yara lembut. Tidak menyangka bahwa Sita bisa melahirkan ana secantik dan secerdas dia. Usianya masih satu setengah tahun, tetapi sudah lancar sekali bicara untuk anak usianya. Tumbuh kembangnya sangat baik, ia bahkan bisa berjalan di umur sepuluh bulan, dan bisa menghapal huruf dan angka di usia satu tahunnya.

Eternal Sunshine (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang