Kuat

102 8 0
                                    

Sudah masuk malam hari, Bandung sedang dilanda suhu rendah, dengan kondisi tanah yang bau basah, selesai diterpa hujan lebat.

Asa hancur luar dan dalam. Air matanya telah habis dalam semalam, tapi untuk itu, Asa berterima kasih, Asa jadi bisa menyalami setiap orang yang datang tanpa drama bercucur air mata. Tetangga, kerabat, sanak saudara yang menghadiri acara pemakaman bunda, berkata bahwa Asa hebat, Asa kuat. Untuk hari ini, memang iya. Harus kuat. Sebab untuk bunda, jika bukan Asa, siapa lagi? Memangnya definisi kuat itu tidak menangis? Konyol.

"Sambil duduk, Sa, kalau capek. Masih banyak yang baru datang ternyata. Lo liat, tuh," Willis menunjuk dengan dagunya. Terlihat sekumpulan para wanita matang yang baru saja turun dari minibus bertema pariwisata, "Rombongan dari mana lagi coba? Mau ngelayat apa senam maumere? Heboh bener outfit gengnya. Ck, ck, ck." Willis dibuat heran.

Melirik sekilas ke arah yang ditunjuk, Asa melengos, dia tak begitu peduli. Siapa saja yang dia salami hari ini juga Asa tak betul-betul memperhatikan.

"Capek, sih, enggak," Asa menarik napas dalam-dalam, "Engap gue, Wil. Ini organ satu repotin banget. Lagi kayak gini juga." Keluhnya sambil menekan dada. Badan atasnya sedikit membungkuk, sesekali Asa terbatuk.

Willis masih betah melihat segerombolan wanita yang mulai mendekati mereka, entah keluhan Asa dia dengar atau tidak.

"Kuat ya, dek. Yang sabar."

"Awal-awal pasti berat, harus banyak-banyak sabar, ya?"

"Kamu yang kuat, ya, Sa. Sedih boleh, tapi jangan berlarut-larut."

"Hebat ih nggak nangis. Ibu kamu pasti bangga liat anaknya kuat gini."

Senyum pahit Asa berikan. Satu hari sudah dia berdiam di rumah duka, entah sudah berapa ribu ucapan sabar dan kuat yang dia terima. Muak.

"Ibu lo orang baik. Surga tempatnya, insyaallah."

Dalam hati, Asa langsung mengaminkan. Ucapan doa untuk Ibunda lebih Asa harapkan saat ini. Selagi raga bundanya masih bisa dilihat oleh mata, Asa ingin seribu seruan doa terbaik untuk bunda dapat tersampaikan di waktu sekarang. Asa ingin memberi yang terbaik untuk bunda, sebelum tanah merah menyerukan bahwa bundanya telah tiada secara sah. Asa memutuskan bundanya diurus di rumah duka, tempat yang lebih luas dari rumahnya, tempat yang dapat menampung banyak orang yang ingin bertemu dengan bunda, untuk mendoakannya, mencium keningnya, atau sekedar menatap rupa menawannya, semuanya serba untuk yang terakhir. Dan, semuanya harus berjalan dengan sebaik-baiknya. Untuk bunda.

Tapi, meski rencana ini Asa yang buat, Asa tak pernah mengira bahwa bundanya memiliki bakat bersosialisasi yang cukup baik. Bunda memiliki lingkar pertemanan yang cukup luas, orang-orang dari berbagai daerah, ras, dan kasta. Asa tebak, bundanya tak pernah pilih-pilih dengan siapa beliau ingin berteman. Bisa Asa ketahui, bundanya adalah orang baik, royal dan supel, tentang itu, Asa banyak mengetahui sifat-sifat bunda dari pandangan orang-orang yang datang hari ini. Dan syukurlah, semua yang terungkap adalah hal yang baik dan mengesankan. Bunda hebat. Asa bangga katanya.

Sikut Asa disenggol pelan. Entah sudah yang keberapa kalinya untuk hari ini, tapi Asa jadi banyak melamun, dan Willis cukup bosan untuk menyadarkannya berulang kali.

"Hhh?"

Asa menoleh, dia menyahut dengan deru napasnya yang terasa berat sejak awal. Sekarang, Willis bisa melihat matanya yang kosong, merah dan berair. Wajah yang selalu tampak pucat itu terlihat mengkilap karena pori-porinya yang mengeluarkan air keringat cukup banyak. Telapak tangannya seperti habis dibasuh air. Untung Asa tak sadar bahwa setiap orang yang datang akan reflek menyeka tangan mereka setelah menyalami Asa, untuk menghilangkan jejak basah yang di transfer dari telapak Asa yang keringatnya berlebih—hal itu tidak selalu menjadi tanda adanya masalah pada jantung sebetulnya, siapapun bisa mengalaminya, termasuk orang dengan jantung sehat. Tapi karena Asa memang memiliki masalah itu, dan dengan jantungnya yang tidak mampu memompa darah secara optimal, tubuhnya akan dipaksa untuk mengoptimalkan kerja jantung dengan mengaktifkan saraf simpatis. Kondisi itulah yang dapat menstimulasi kelenjar keringat untuk memproduksi cairan berlebih pada beberapa bagian tubuh, utamanya telapak tangan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 07 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

EvanescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang