Terbawa Angin

39 1 0
                                    

Pena logam itu melolong kesakitan. Ia meminta jeda dari peraduan muka yang terus-menerus terjadi antara dirinya dan ratusan lembar kertas yang sama-sama memuja diam. Nahas, teriakan mereka tak kunjung dibalas lantaran pemilik kuasa atas tubuh mereka berdua menolak untuk menaruh telinga. Setidaknya, kata mereka, mereka hanya ingin mengambil jatah cuti barang sehari saja.

Pria itu dengan lihai memainkan sebilah logam beramunisi tinta di tengah-tengah jari-jemarinya. Pandangnya terfokus kuat, menggoreskan satu persatu garis, mengubahnya menjadi kumpulan huruf dan angka dengan percikan air hitam ajaib. Namun, tetap saja, ia sesekali kalap pula, merobek kertas yang ia sedang tulisi dengan gejolak amarah. Pria itu menahan dirinya sendiri, mencoba sekuat tenaga untuk mengubur dalam-dalam agresi yang berkecamuk dalam otaknya. Lagipula, ucapnya, ia hanya ingin menulis surat penuh rasa rindu kepada keluarga yang tak mampu lagi mendekapnya. Berbekal sebatang lilin temaram yang berdansa diam di samping figur tegapnya, ia menulis dengan penuh kehati-hatian, mencurahkan isi hatinya ke dalam tulisan-tulisan yang tak sanggup ia sampaikan lewat celotehan lisan.

"Aku melihat cahaya."

Begitu bunyi pengantar surat yang ia tulis. Tiga kata yang sangat singkat dan padat, hanya dialah yang mengerti arti dari kata-kata tersebut. Mungkin itu sejenis kata sandi, atau mungkin tiga kata tersebut memancarkan hal-hal tertentu yang ia pribadi yakini. Yang jelas, sepertinya perekrutan paksa dirinya ke dalam barak tentara membuatnya mempelajari banyak butir-butir rahasia.

Bola mata cokelat legamnya sekilas merefleksikan nyala lilin yang terduduk manis di bawahnya. Rambut berwarna senada dengan tinta penanya berdansa kecil ketika pria itu beranjak bangkit dari keterpakuannya dengan agak tergesa-gesa. Kursi yang ia duduki sedari tadi pada akhirnya angkat suara, mengucap protes penuh sumpah serapah.

Langkah kaki menggema, menghidupkan ruang kecil itu dengan suara yang gemaung ke mana-mana. Dengan sepucuk surat di tangannya, pria itu lekas berjalan cepat mendekati lemari kayu yang tak jauh dari meja tempatnya bermain dengan kertas dan pena. Ia menaruh surat tersebut pada salah satu dari empat mulut sang lemari kayu. Tak lupa, ia mengganjal surat tersebut dengan sebuah buku tebal, berjaga-jaga kalau-kalau ada angin jahil yang datang membawa surat berharga itu pergi tanpa ia persilakan.

Lilin yang menjadi rekannya ia tiup habis. Jikalau bukan karena cahaya redup yang memaksa masuk dari balik jendela kamarnya, ia pasti membiarkan lilin itu tetap menyala. Arah pandang laki-laki muda itu jatuh tepat pada langit malam kota yang tenang berselimut cahaya rembulan.

"Kota ini aman, janganlah kalian takut."

Setidaknya, ia menaruh sedikit rasa percaya pada kata-kata yang keluar dari mulut majikannya tempo hari itu.

"Tinggal tunggu waktu, bulan juga akan berdarah-darah," ucap pria itu dengan sedikit berbisik.

Air mukanya memancarkan segelintir rasa takut, bercampur dengan sesal yang tak kunjung juga ia bisa ungkapkan dengan lantang. Batinnya berkecamuk menggila, dirinya tak ingin berada di sini. Ia tak pernah ingin menjadi pion catur yang dikorbankan dengan mudahnya oleh pemangku kekuasaan yang mencandu hilangnya jiwa-jiwa.

Namun, apalah arti dari melawan baginya, lantaran keluarganya telah mengadu takdir dengan pemegang takhta negara, ujung-ujungnya dirinya yang dijebloskan ke penjara. Setidaknya, ia masih bisa tersenyum tipis, mengetahui keluarga kecilnya itu berhasil keluar, meski harus mengorbankan anak semata wayangnya sebagai tawanan yang disulap menjadi prajurit perang. Pria itu menggerutu dalam diam, seakan-akan melontarkan ucapan penuh kutukan dan doa-doa buruk kepada siapa pun yang dengan keji membuat dirinya terputus nadi dari takdir semesta indah kepunyaannya. Ia menaruh tatap tajam pada sebidang kasur berfondasi kayu reyot yang hanya mampu menatapnya balik dengan penuh heran. Pada akhirnya, pria itu memilih berdamai dengan nasib malangnya, berjalan lambat ke arah sisi kasur tersebut. Ia duduk perlahan-lahan, mencoba sebisanya untuk tak membuat sang kasur roboh sebab amarah.

Kumpulan Keluh Kesah, Kisah Kasih, Cerita CitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang