FOUR

194 19 6
                                    

Happy Reading <3

Sean menyeret tubuh Abi menuju kamar mereka. Di sepanjang jalan menuju kamar mereka, Abi tak hentinya meringis kala merasakan cengkraman kuat tangan Sean pada lengannya yang di gips itu.

Sesampainya di kamar, Sean mendorong tubuh Abi hingga tersungkur dilantai. Setelahnya, ia mengunci pintu kamar mereka dan berjalan mendekati Abi dengan rahang yang masih setia mengetat.

"Apa maksud kamu ngomong kaya tadi? HAH?! Ngerasa hebat kamu bisa celakain Gerald? IYA?! JAWAB, BI!" Karena emosi Sean yang sudah tak dapat di kontrol, Sean malah menghempas tubuh Abi hingga limbung dan kepalanya terbentur sisi ranjang.

Tubuh Sean membatu saat melihat dahi Abi yang di perban, di tambah perban itu kini sudah berganti warna menjadi merah. Tak hanya itu, bahkan darah sudah mulai mengaliri pelipis Abi.

Abi tersenyum kecil sambil menatap Sean. "Semoga gak ada penyesalan untuk Kamu setelah ini ya, Se," Ujar Abi lirih sebelum kesadarannya menghilang.

Dengan cepat, Sean menghampiri Abi yang sudah jatuh pingsan. Sean segara menggendong tubuh Abi, membawa wanita itu keluar dari kamar untuk memasukki mobil miliknya. Setelah berhasil meletakkan tubuh Abi di kursi penumpang, Sean segera duduk di kursi kemudi lalu mengendarai mobilnya menuju rumah sakit terdekat.

Mobil yang dikendarai oleh Sean kini sudah tiba di rumah sakit, dengan tergesa laki-laki itu membawa tubuh abi dalam gendongannya memasukki rumah sakit. Dengan rasa gelisah, bersalah, dan khawatir, Sean segera membawa tubuh Abi memasukki IGD. setelahnya, laki-laki itu duduk di depan IGD dengan kedua tangan yang saling bertaut.

Beberapa waktu berlalu, pintu di hadapan Sean terbuka, dengan cepat ia berdiri dari duduknya dan menghampiri dokter yang baru saja menutup pintu IGD itu. "Dok, bagaimana kondisi istri saya?" Tanya Sean dengan penuh rasa cemas.

"Bagini, Pak. Sepertinya istri ana baru saja mengalami kecelakaan, Saya perkirakan mungkin kecelakaan tersebut terjadi siang hari. Karena saya lihat terdapat beberapa luka yang masih basah pada tubuh istri anda. Selain itu, saya juga mendapati tangan istri anda yang di gips, sepertinya patah–" Penjelasan dari Dokter tersebut terhenti sejenak.

"–Kening istri andapun harus saya jahit kembali, karena jahitan sebelumnya terbuka. Dan ada kabar duka yang harus Saya sampaikan, Pak. Sepertinya, istri anda sempat mengalami benturan yang cukup keras seperti jatuh atau semacamnya. Sehingga, ia mengalami keguguran karena usia kandungannya yang masih sangat muda," Lanjut Dokter tersebut yang seketika membuat hati Sean mencelos seketika.

Kepala laki-laki itu menggeleng kencang, mencoba menyangkal penjelasan yang baru saja di berikan oleh sang Dokter. "Enggak, gak mungkin," Gumam Sean dengan kedua tangan yang saling mengepal di sisi tubuhnya.

Dokter yang menangani Abi pun hanya memandangi Sean sejenak, lalu pamit dan meninggalkan laki-laki itu sendiri dengan pelukan dari rasa bersalahnya. Dengan tatapan kosong, Sean meraih gagang pintu ruang IGD lalu masuk kedalamnya. Disana dapat ia lihat tangan Abi yang patah, serta tubuh Abi yang penuh luka. Ya, luka akibat kecelakaan dan luka yang ia berikan.

Sean mengutuk dirinya sendiri, ia sudah menyakiti istrinya, ia juga sudah membunuh calon anaknya. Maaf. Maafin Aku, Bi batin Sean saat sudah berada di sisi Abi sambil mengenggam tangan istrinya yang terasa dingin. Hingga akhirnya, laki-laki itu tertidur dengan posisi duduk dan kepala berada pada bankar Abi, dan tangan yang masih setia menggenggam tangan Abi.

Perlahan, Abi membuka matanya. Air matanya langsung tumpah, tanpa bisa dicegah. Dia memandang Sean yang sedang tertidur dengan penuh rasa kecewa dan benci, mungkin? Abi mendengar semua penjelasan yang dokter berikan kepada Sean, ia melepaskan tangannya dari genggaman Sean dan tangan itu dengan gemetar menyentuh perutnya yang tertutup selimut rumah sakit.

Maafin Ibu ya, Adik. Ibu gagal jaga Kamu, Ibu gak tahu Kamu ada di perut Ibu. Andai Ibu tahu, pasti beberapa bulan kedepan kita bisa ketemu ya, Adik. Kakak Luke pasti senang, tapi gak apa ya nak. Semoga, kita bisa ketemu suatu saat nanti. I love you, Adik batin Abi dengan air mata yang bertambah deras tiap waktunya. Lelah menangis, Abi pun akhirnya jatuh tertidur.

- - -

Pagi hari pun tiba, Sean yang merasakan pegal pada sekujur tubuhnya pun menggeliat dan muali membuka kedua matanya perlahan. Sean mengangkat pendengannya. dan mendapati Abi yang masih terlelap. Dapat Sean lihat, mata Abi bengkak dan sembab. Tangan Abi yang semalam Sean genggampun kini berada di atas perut wanita itu yang tertuttup selimut rumah sakit.

"Maafin Aku, Bi," Kata Sean dengan suara yang kecil dan lirih. Tangan laki-laki itu bergerak mengusap puncak kepala Abi perlahan, dapat ia lihat terdapat perban pada sisi kening wanita itu. Lagi, rasa bersalah menghantam dada laki-laki itu hingga tenggorokkan terasa tercekat.

Puas memandangi wajah Abi, Sean pun akhirnya beranjak keluar dari ruangan tersebut menuju kantin. Ia akan membeli sarapan untuk dirinya dan juga Abi, karena wanita itu sejak dulu sangat tidak suka makanan rumah sakit. Setelahnya, Sean pun berjalan meninggalkan kantin untuk kembalike ruangan tempat Abi berada.

Tubuh Sean terpaku saat mendapati orang tua Abi serta Luke, ada di depan ruangan tempat Abi berada. Bukan kehadiran mereka yang membuat Sean terpaku, namun tatapan kecewa juga marah yang diperlihatkan oleh Luke lah yang membuatnya demikian.

Pikiran Sean berkecamuk. Ada apa dengan puteranya itu? Biasanya Luke akan menatapnya penuh semangat dan lembut, tapi kenapa hari ini berbeda? Pikir Sean. Hingga akhrinya Sean menghela pelan nafasnya. Ia baru ingat, rumah sakit ini masih di naungi oleh perusahaan milik papinya Abi, pasti pihak rumah sakitpun memberikan laporan tentang kondisi Abi pada ayah mertuanya itu.

Dengan perlahan, kaki Sean pun melangkah mendekati ruangan tempat Abi berada. Orang tua Abi dan Luke seperti berbincang singkat, hingga Sean melihat Orang tua Abi masuk ke dalam ruangan, sementara Luke masih berdiri di depan ruangan tersebut.

"Kenapa Luke gak ikut Oma dan Opa masuk, Nak?" Tanya Sean dengan senyum kecil. Saat Sean hendak menyentuh kepalanya, Luke mundur dan membuat tangan besar milik Sean itu menggantung.

Sean menurunkan tangannya, tanpa meluturkan senyum dari wajahnya. Walau kini, senyum yang Sean tampilkan adalah senyum kecut. "Kenapa, Nak?" Tanya Sean lagi.

"Kenapa, Yah? Kenapa, Ayah sakitin Ibu dan buat Adik Luke pergi? Kenapa, Ayah? Salah Ibu, apa?" Tanya Luke dengan nada yang lirih dan mata yang sudah berkaca-kaca. Sean bungkam, lidahnya terasa kelu untuk menjawab pertanyaan yang Luke lontarkan.

"Ayah. Kalau Ayah memang tidak suka dengan Luke dan Ibu seperti Gerald, Luke mohon Ayah. Jauhi Luke dan Ibu, biarkan Luke dan Ibu kembali pada kehidupan kami yang dulu. Kehidupan yang hanya ada Luke, Ibu, serta Kebahagiaan bersama kami," Kata Luke sebelum akhirnya anak itu mengusap air matanya yang membasahi pipi dan melangkah masuk ke dalam ruangan tempat abi berada.

Sean menatap lantai tempat Luke berdiri tadi dengan pandangan buram. Sejak Luke bicara tadi, Sean sudah mati-matian menahan agar air matanya tak tumpah. Ucapan Luke berhasil membuat jantung Sean semakin sesak, kesalahannya begitu fatal. Bukan hanya Abi, bahkan kini Luke juga kecewa dan membencinya.

TBC

Jangan lupa untuk support ceritaku ini dengan comment dan vote dari kalian semua ya guys! love you all <3

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 03 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

ABIGAIL ( ON GOING )Where stories live. Discover now