DIMANA PUN ASAL ADA KAMU DI DALAMNYA

7 8 0
                                    

Segala keindahan mega dikala senja seakan habis tak tersisa, sebab semuanya sudah kutuliskan untukmu.

-Bumi

*****

"Engga, kan sayangnya udah pindah ke kamu."

Ucapan itu berhasil membuat Alana membelalakan matanya, membuat kemerahan diwajahnya. Sedang pelakunya hanya tertawa melihatnya. Begitu menggemaskan.

"DIHHH!" Balas Alana berusaha agar tidak terbawa perasaan oleh mantra pasaran itu.

"Aku liat-liat kamu bukanlah tipe manusia yang bisa satupun cabang olahraga." Ucap Bumi memulai topik baru.

"Aku bisa!" balas Alana tak terima.

"Bisa apa?"

"Lari."

"Hahahaha... semua manusia juga bisa atu Ann lari, kalo dikejar polisi." Ucap Bumi yang sudah tak kuat menahan tawanya membuat pipi Alana mengembang dan bibirnya mengerucut.

"Selain Basket, kamu bisa apa?"

"Bisa mengabadikanmu dalam sebuah puisi."

DEGGG! Kerja pompa jantung Alana menjadi cepat tak karuan. Raganya mematung ditanah serupa tiang jalanan, sangat lucu menggemaskan.

"Mau ke kantin?"

"Engga, belum istira-." Tolak Alana namun terlambat, Bumi sudah terlebih dulu menarik tangannya. Membuatnya hanya bisa pasrah.

Mereka berjalan dengan tangan Alana yang belum Bumi lepaskan, yang tentu saja menjadi pusat perhatian para siswa yang sedang berolahraga dan freeclass. Menjadi pusat perhatian dengan berbagai macam persepsi yang melihatnya tentu saja membuat Alana tidak nyaman. Tidak banyak dari mereka pun ada yang berbisik-bisik namun masih terdengar oleh Alana.

"Lepasin, Bumi!"

"Kenapa?"

"Galiat apa? Banyak yang ngeliatin!"

Bukannya melepaskan tangannya Bumi malah mengubah pegangannya dan menautkan jarinya dengan jari Alana.

IHHHHH!

"Sudah sampai Ann, tunggulah." Ucap Bumi yang akhirnya melepaskan genggamnya.

Alana menghembuskan nafasnya kasar, ia tidak mengerti kenapa ia hanya bisa pasrah atas semua perlakuan Bumi padanya.

"Pesananmu sudah tiba, Ann." Ucap Bumi dengan menyodorkan satu piring batagor favorit Alana.

Tidak hanya saat diperjalanan saat dikoridor saja, dikantinpun sama. Banyak sorot mata yang terus memandangi Alana, "Dari tadi selalu banyak yang meperhatikan kita, Bumi."

"Biarlah, itu hak mereka."

"Penggemarmu terlalu banyak Bumi. Kutebak wanitamu juga sama banyaknya."

"Kenapa pikiranmu selalu negatif sih Ann? Padahal aku baru saja ingin mendekati satu perempuan selama ini." Ucap Bumi dengan menopang dagunya menatap Alana.

Perempuan mana yang tidak memerah wajahnya diberi tatapan sedalam itu oleh seorang penyihir nomor 1 di sekolah? Maka sekali lagi, Alana hanya menatap tajam aneh sebagai topeng yang ia gunakan.

"Ah, aku makan saja. Aku perlu energi untuk menghadapi semua sihir mantra-mantramu."

"Okee, makanlah."

Alana tidak memperdulikan lagi ocehan Bumi setelahnya, seperti biasa ia hanya fokus pada batagor favoritnya. Meski diam-diam Alana selalu menyempatkan melirik Bumi yang kini mulai sibuk dengan kertas dan pulpennya. Apakah seorang penyihir memang selalu membawa kertas dan pulpen kemana-mana?

Setiap puisi pasti memiliki tuannya.

Tak ada yang sepi seperti Bali.

Setiap kata mengikuti tingkahnya,

Parasnya,

Hawanya,

Senyumnya.

Hingga memuara pada secangkir frasa.

Syair-syair terbit dengan indahnya.

Menenggelamkan lara pada waktunya.

Hiduplah seterusnya, lebih lama.

Teruslah abadi;

Jangan mati.

Terimakasih...

"Uhuk! Uhuk!" Alana menghentikan makannya saat mendengar suara Bumi yang membacakan sepenggal puisi dari bibirnya.

"Kamu baik-baik saja Ann? Minumlah."

Pertanyaan bodoh!

"Bumi?"

"Kenapa Ann?"

"Berapa kali kamu pernah jatuh cinta selama hidupmu?"

Ada keheningan sejenak, sebelum akhirnya Bumi tersenyum, meneguk teh manis milik Alana dan berkata. "Satu kali. Dengan seorang gadis yang memiliki jabatan sekretaris di OSIS."

*****

Salah satu yang bisa membuat Alana senang adalah Matematika. Terdengar aneh memang, tetapi setiap menatap rumus dan angka-angka selalu berhasil membuat Alana senang dan kepusingan. Ya, kalian tidak salah membaca. Mungkin hanya Alana, gadis yang menikmati rasa senang dan pusing dalam waktu bersamaan. Ah, pikiran Alana semakin kalut. Ia sengaja menenggelamkan dirinya dalam semua angka-angka itu hingga tak peduli dengan waktu. Kelasnya memang sedang freeclass namun tetap ada tugas.

Hingga bel berbunyi pun Alana belum beranjak dari kursinya, masih tenggelam dengan semua angka-angka yang sangat ia suka.

"Secinta itukah kamu sama matematika?"

Alana membelalakan matanya. Bola matanya membesar saat ia menangkap sosok Bumi yang sudah berdidiri dengan gagahnya, kancing baju yang terbuka dan bagian lengan yang sedikit terlipat. Ah tidak, bukan hanya itu yang membuat Alana terkejut. Tetapi sesuatu yang Bumi sedang pegang.

"Kamu hisap lagi rokok itu disini, aku akan membakarmu Bumi!"

AHH SERAMNYA!

"Jangan jadi bodoh didepanku Bumi!" lanjut Alana.

"Baiklah, baiklah." Ucap Bumi yang langsung membuang rokoknya.

"Enak rokoknya?"

"Engga, pahit."

"Terus kenapa kamu masih suka menghisapnya? Gimana kalo aku juga merasakan pahitnya?"

"JANGAN. Jangan pernah coba menyentuhnya, Ann."

"Kenapa? Kenapa aku gaboleh sedangkan kamu boleh?"

"Setidaknya kamu sudah tak perlu merasakan pahit lagi."

"Kenapa?"

"Sudah ada aku yang akan selalu memberi rasa manis dalam hidupmu."

"Tapi rasa manis yang berlebihan seperti dalam gula saja bisa menciptakan penyakit pada manusia."

"Tenang saja aku yang akan menanggung semua sakitnya, kamu cukup nikmati rasa manis yang berlebihnya saja."

"Manusia sangatlah mudah untuk mengingkari setiap ucapannya. Lalu apa yang membuatku harus mempercayaimu?"

MembumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang