Anin kembali menuju perpustakaan dengan membawa sebungkus plastik, sebelum duduk ia meletakkannya di atas meja.
Senyum Anin merekah sempurna melihat dua kotak donat dari salah satu brand yang sangat ia sukai. Tanpa menunggu lama akhirnya Anin membuka kotak donat itu kemudian mengambil salah satu donat varian tiramisu.
"Americanonya mana?" tanya Izaz menyadari Adiknya hanya membawa sebungkus plastik berisikan dua kotak donat.
"Di bawa sama Mas Shindu," jawabnya dengan mulut yang masih mengunyah donat.
Izaz mengangguk kemudian ikut memakan donat yang di pesan oleh gadis yang ada di depannya. Pintu Perpustakaan terbuka lebar muncul sosok Shindu di sana dengan membawa apmericano coffee.
"Bukannya di tungguin malah makan duluan," ujar Shindu ikut bergabung dengan kedua Adiknya.
Sementara Anin dan Izaz hanya tersenyum tanpa rasa bersalah. Tanpa berlama-lama akhirnya Shindu ikut bergabung menyantap donat serta americano yang sudah di pesan.
Hampir menghabiskan waktu setengah jam untuk menghabiskan semua makanan itu. Sebetulnya jika tidak makan sambil berbicara pasti akan lebih cepat, tetapi karena tadi mereka sempat mengobrol kecil jadi menghabiskan semua itu membutuhkan waktu lama.
Anin berpamitan lebih dahulu kepada si kembar untuk kembali ke kelas. Tidak lupa membawa segelas americano miliknya yang belum habis.
"Dari tadi masih baca buku aja, Na?" tanyanya menduduki kursi di sebelah Nana.
Nana mengangguk lalu beralih melihat segelas Americano milik Anin yang diletakkan di atas meja.
"Kantin sekarang jual americano emangnya?"
Anin menggeleng. "Enggak lah, yakali kantin kita jualan americano."
"Terus itu apa?"
"Americano, jir."
Buku yang sedang di pegang Nana kini mendarat pelan pada pucuk kepala gadis itu. "Gak gitu konsepnya, Anin. Itu lo beli di mana kalau bukan di kantin?" tanyanya.
"Oh, gitu. Lagian lo tanya setengah-setengah njir, gue mana paham."
"Siap salah, Nin."
***
Waktu berlalu cukup cepat yang tadi pagi bergegas untuk pergi sekolah, kerja, kuliah dan sebagiannya. Kini sudah waktunya untuk pulang ke rumah, seperti halnya pada Anin.
Gadis itu tengah menunggu Shindu untuk mengambil motor di parkiran. Anin menatap motor-motor yang sudah berlalu lalang menuju gerbang sekolah sembari menikmati semilir angin sore yang menerpa kulitnya.
Saat asik dengan kegiatannya itu, tidak sengaja ia mendengar suara yang familier di telingganya. Sebetulnya dia sedang malas untuk mencari tahu dalang dibalik suara itu. Tapi, rasa penasarannya yang sangat tinggi memutuskan untuk mencari tahu lebih detail lagi.
Anin beranjak dari duduknya. Baru saja melangkahkan kakinya tiba-tiba Shindu memanggil namanya lantas ia pun membalikkan badannya melihat Shindu.
"Mau ke mana? Ayo pulang," ajaknya mematikan mesin motornya tepat di depan Anin.
"Nanti dulu, Mas. Tadi gue denger suaranya Dinda, tapi gak tahu itu beneran suaranya bukan. Ini gue mau pastiin." Anin menjelaskan kepada Shindu saat mendengar suara Adinda sekilas.
Shindu berdecak pelan. "Gak usah diurusin itu cabe, mendingan kita pulang aja.
Tanpa memperdulikan ucapan sang Kakak justru Anin langsung bergegas mencari suara tersebut. Hal itu membuat Shindu lantas berdecak, memarkirkan motornya lalu mengikuti langkah kaki Adiknya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unspoken Traces (COMPLETED)
Teen FictionMenceritakan tentang sebuah keluarga Baskara dan Yunita yang memiliki tiga orang anak. Dua anak kembar laki-laki dan satu anak perempuan. Si kembar Shindu, Izaz, dan Anin sebagai anak bungsu. Keluarga yang harmonis bahkan tidak menjamin adanya konf...