Hujan Rintik Jam Dua Malam

51 3 0
                                    

Bisakah ini disebut Sholat Malam ber-Jamaahku?
Beribadah sebagaimana layaknya kami diwajibkan ber-Ibadah dengan caranya masing-masing. Sholat ber-Jamaah bersama beribu, berjuta, atau entah berapa banyak jumlahnya Hujan Rintik yang mengikutinya.

Suara Adzan mulai berkumandang dari sebelah barat, kongko-kongko malam asik-ku terpaksa ku-sudahi, ku-ambil Wudhu dengan memberikan ucapan terimakasih kepada Warung Kopi yang dengan lapang hati menerima-ku begitu lama, lanjut ku-datangi kumandang Adzan gemuruh tadi untuk memposisikan diri memulai Sholat Malam-ku.

Alangkah lega karena yang berdatangan Hujan Rintik bukan Hujan Lebat. Hujan bukan berarti langit bersedih, melainkan langit sedang dipuncak kebahagiaannya, bantah seseorang yang mengawal-ku sedari Warung Kopi tadi.

Ku-tarik gas Takbiratul Ihramku dengan hati-hati, kurang lebih sekencang 25 km/jam.

Iftitahku, terasa semakin banyak saja Jamaah berdatangan mengisi Shaf-Shaf kosong yang tersedia, Shaf yang membentang lurus kedepan sejauh jalan Sholat yang akan ku-jalani. Jamaah Hujan Rintik berduyun-duyun dengan pelan dan lembut terus-menerus berdatangan mengisi Shaf-Shaf tersebut. Terlihat dan terdengar di beberapa titik tempat Katak-Katak Sawah berbahagia menyambut Jamaah Hujan Rintik yang datang menyusul bergantian itu.

Al-Fatihahku, suasana mulai terasa hening, tapi tak begitu lama pengawal-ku membenahi pakaiannya dengan mengenakan jas anti air, akupun tak beranggapan buruk kepadanya dikarenakan dia tidak menghargai atau takut dengan Hujan Rintik yang kian berdesakan. Wajar saja jika dia begitu, hal itu dalam rangka dia menjaga kesehatannya yang juga merupakan salah satu bentuk Ibadahnya yang lain. Tak heran juga memang sedari tadi sore dia sudah terlihat batuk-batuk ringan dan sedikit meler. Mantab dan yakin aku tetap bersama jaket lusuh-ku yang setia menghangatkan-ku bertahun-tahun lamanya, berharap bisa mengajaknya berdesakan dengan Jamaah Hujan Rintik yang amat tenang dan khusyuk.

Dalam Ayat romantis-ku, semakin hening dan indah saja suasana, sudah tak ku-dengar lagi suara pengawal-ku yang mungkin juga mulai mengikuti alunan ayatnya sendiri dalam menjalankan Sholat ber-Jamaah itu. Perlahan tapi pasti mulai terdengar roda Sajadah-ku dengan umur yang hampir menyentuh 100.000 km/jam bersentuhan dengan genangan air diatas aspal sepanjang jalanan yang menghasilkan suara amat merdu menenangkan hati.

Rukuk pertama-ku hanya fokus tanpa bergeming, lurus kearah depan sesuai jalan Sholat yang ku-jalani.

I'tidalku, sengaja kudongakkan muka-ku kearah atas merasakan titik-titik Hujan Rintik yang menghantam raut wajah-ku, berharap disalah satu dari berjuta lebih jumlahnya titik yang menghantam itu menjadi rezeki-ku yang berkah dan mengubah raut muka-ku menjadi sedikit ceria.

Kedua Sujud rakaat pertama-ku, aku berusaha khusyuk dengan tetap mengikuti aturan lampu hijau, kuning, dan merah disepanjang pertigaan maupun perempatan yang ku-lewati, padahal akan tetap sah-sah saja sholat-ku jikalau ku-langgar kekhusyukan itu. Hanya saja tak akan ku-dapatkan rasa nikmat didalam Sholat-ku itu.

Duduk di Antara Dua Sujud, sesekali diri-ku masih disapa dengan kilaunya cahaya lampu kendaraan maupun cahaya lampu tiang besi pinggir jalan, yang tentunya juga sedang melaksanakan Ibadahnya masing-masing.

Tak terasa Sholat-ku sudah sampai ke Al-Fatihahku yang ke-dua, berkali-kali ku-temui kalimat “Selamat Datang” juga “Selamat Jalan” yang tertera pada tugu kokoh berdiri penanda bergantinya daerah-daerah yang telah ku-lewati dalam menjalani Sholat Malam-ku itu. Mengingatkan-ku, memang saja kematian juga kelahiran itu akan senantiasa mengiringi didalam proses tumbuhnya perjalanan Sholat-ku yang ini maupun yang lebih besar lagi lingkupnya.

Ayat Cinta-ku kali ini, di Alun-Alun Kota megah Imogiri, jaket lusuh-ku mulai rata basah akan rapat-eratnya barisan Hujan Rintik yang dari tadi tak berhenti mengalunkan ayat-ayatnya sendiri secara berbisik-bisik.

Rukuk juga I’tidal kedua-ku, lebih ku-yakinkan lagi kekhusyukan diri-ku, sadar karena didepan, jalan Sholat-ku akan sedikit terasa mencekam juga banyaknya godaan yang menanti.

Sujud pertama di rakaat kedua-ku, Aku amat berhati-hati, suasana gelap gulita, kabut tipis mulai merapat ke tengah-tengah jalanan, terasa amat sepi, sunyi, dan hening, sudah tak pernah lagi ku disapa cahaya-cahaya lampu kecuali cahaya didalam diri-ku yang amat redup.

Duduk di Antara Dua Sujud, kekhusyukan-ku mulai sedikit goyah dengan jalanan yang naik turun diikuti lubang yang lebar maupun sempit, juga tak luput dari lantunan-lantunan ayat penduduk tengah malam.

Sujud-ku yang kedua dirakaat kedua yang menjadi Sujud terakhir-ku untuk Sholat malam kali itu, aku tersadarkan, tak pernah terlintas dipikiran-ku sebelumnya, ternyata aliran Sungai kecil diantara himpitan Gunung ditengah gelap gulitanya dunia sangat khusyuk mengikuti Sholat Malam ber-Jamaah itu. Tentunya tak hanya aliran sungai itu saja ataupun Hujan Rintik yang ikut Sholat ber-Jamaah. Sungguh teramat sempit pikiran-ku ternyata ditengah malam itu banyak beragam makhluk yang mengikuti Sholat Malam ber-Jamaah yang tak ku-sadari sedari awal ku-melantunkan Takbiratul Ihram. Mereka sungguh khusyuk dalam menjalani Sholatnya masing-masing sebagaimana Pencipta menghendakinya.

Tasyahud Akhir, mulai ku-lemaskan berbagai anggota badan-ku, ku-temui secerca cahaya lampu dari tiang besi pinggir jalan, penanda sholat-ku sudah hampir menuju puncak. Semakin lama semakin cerah cahaya yang menyinari jalanan Sholat-ku hingga akhirnya aku tiba dipuncak Sholat-ku.

Salam-ku digubuk setengah jadi, hasil Ibadah di negeri Sakura, ku-lantunkan amat halus dan menghayatinya, bersyukur bisa mencapai puncak Sholat Malam ber-Jamaah itu dengan selamat dan nikmat.

Begitulah Sholat Malam-ku disepanjang Jalan Bantul hingga Jalan Imogiri-Dlingo.

Jangan pernah terlintas difikiran-mu pertanyaan, "Apakah aku menjadi Imam dalam Sholat ber-Jamaah itu?" Walaupun memang aku ditakdirkan menjadi Khalifah dari Makhluk-Makhluk lainnya tetap saja aku merasa tak akan pernah mampu, cukup aku menjadi Makmum dari Imam Besar-ku Nur Muhammad yang selalu berusaha ku-hidupkan didalam lubuk hati-ku.

Ku-tutup dan ku-akhiri Sholat-ku itu dengan berdzikir,

La Illaha… Ilallah...
La Illaha… Ilallah...
La Illaha… Ilallah...

Tentu ku-selaraskan dengan irama nafas-ku, berharap bisa ku-tanamkan kalimat indah dan suci itu kemudian tumbuh di Alam bawah sadar-ku. Entah berapa kali kalimat itu terucap, hingga mata-ku lelap tertidur, dan Hujan Rintik tetap setia mengantar Sukma-ku menghadap kepada sang Illahi.

Dan Percayalah itu hanyalah cerita yang muncul dari seorang yang sedang mengantuk berat dipenghujung malam menuju Subuh, yang tak perlu juga engkau pertanyakan keabsahan cerita itu.

*DLINGO, 01032024

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 08 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hayalan KehidupanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang