Happy Reading!
Jake telah berada di kamar Jeha. Sementara Jeha sedang keluar mengambil minuman atau makanan ringan untuk tamu tak diundangnya. Begitulah pertemanan mereka. Mau mereka habis berkelahi satu sama lain, ujung-ujungnya tetap saling peduli.
Seperti halnya sekarang.
Jake sudah hafal betul pola itu. Jika Jeha pulang ke rumah dalam keadaan membawa masalah, terutama soal akademiknya. Dia akan mendapatkan hukuman oleh ayahnya. Bukan sekadar omelan atau larangan ke luar rumah, tapi pukulan yang di mata Jake, sudah kelewat batas.
Sebagai teman sejak kecil, Jake tidak pernah tega melihat itu. Dia tahu betul mengapa Jeha tumbuh menjadi sosok yang suka bermain dengan hati perempuan, seolah nggak pernah serius dengan satu hati.
Hal itu ada merupakan cerminan dari apa yang dilihat Jeha sejak lama. Ayahnya yang sering membawa perempuan ke rumah, bahkan sebelum dan sesudah ibunya meninggal. Rumah yang seharusnya jadi tempat pulang malah terasa asing, dipenuhi figur-figur sementara yang datang dan pergi sesuka hati.
Ditambah lagi, sikap keras ayahnya yang menganggap kekerasan sebagai jawaban atas segala masalah. Setiap kesalahan, sekecil apa pun, pasti dibayar dengan tangan yang terangkat atau suara bentakan yang memekakkan telinga.
Jake cukup mengerti, bahkan terlalu mengerti. Itulah kenapa, selama ini, dia selalu memilih mengalah. Bukan karena dia lemah, tapi karena dia tahu Jeha adalah hasil dari luka-luka yang tidak pernah benar-benar sembuh. Kalau Jake tidak mengalah, siapa lagi yang akan melakukannya? Jadi, meskipun sering kali Jeha yang memulai, Jake tetap jadi orang pertama yang memaafkan.
Saat iseng mengintai isi kamar Jeha, Jake melihat sesuatu yang menarik perhatiannya. Tidak sengaja melihat surat yang terbuka di atas meja belajar Jeha.
"Apa nih? Surat cinta?" gumam Jake, mengambil kertas berisi paragraf kalimat di dalamnya.
Jeha yang baru saja datang membawa cemilan melihat itu menyadari Jake telah berada di sekitar meja belajarnya, tempat yang terlarang untuk saat ini di dekati.
"Lagi ngapain lo?" tanya Jeha, setelah meletakkan cemilan yang dia bawa untuk mendekat ke Jake.
Jake membawa kertas yang dibacanya barusan ke belakang tubuhnya. "Lo tahu surat ini bukan dari Arin, tapi kenapa lo masih ganggu Arin?" ucap Jake, mulai menginterogasi Jeha.
"Bisa nggak, nggak usah sembarangan ambil barang gue?" kata Jeha merasa terusik.
Jake berdecih, "Oh, jadi sekarang lo udah tahu rasanya apa yang jadi kepemilikan lo direbut sama orang lain?"
"Terus kenapa? Lo mau apa sama surat itu?" desak Jeha.
Meskipun Jeha terlihat menantang, dia juga merasa gelisah jika Jake mengetahui motifnya selama ini yang hanya bermain-main dengan Arin.
Jake yang menyadari Jeha mulai tidak tenang, terus menekannya. "Kok lo jadi gelisah gini?" tuduh Jake, nadanya menyudutkan.
"Sejak kapan seorang pemain peduli soal surat cinta kayak gini?"
"Lu peduli soal surat ini atau karena yang lain?"
Jeha yang merasa sudah tertangkap basah, hanya bisa tertawa sumbang dan pada akhirnya mengakui itu.
"Lo nggak salah," akhirnya Jeha mengakui, "gue memang peduli sama hal lain."
Jake menatapnya, menunggu kelanjutan yang sudah bisa ia tebak tapi tetap terasa seperti hantaman telak saat akhirnya terucap.
"Gue bener-bener serius kali ini," lanjut Jeha, matanya menatap Jake lekat-lekat, seolah menantang. "Kalo gue suka sama Arin."
Jake terdiam. Mendadak semua kebisingan di sekitarnya memudar.

KAMU SEDANG MEMBACA
Love Letter Gone Wrong
ФанфикMengisahkan tentang seorang remaja perempuan yang awalnya ingin membantu temannya untuk menaruh surat cinta pada loker milik cowok idamannya. Siapa sangka surat itu jatuh pada orang yang salah. Membuat dirinya harus berurusan dengan cowok berandalan...