Tolong baca bab ini sambil dengerin lagunya :
Banda Neira - Sampai Jadi Debu
___________
"Makasih ya Reva udah sayang sama anak Bunda. Tapi mulai hari ini Bunda minta tolong buat kamu kurangin rasa sayang kamu ke Zee." Ujar Gracia sedikit terbata-bata.
Bak disambar petir, Reva merasakan panas di hatinya. Ia melempar tatapan tak percaya pada Gracia. Ada apa ini? Kenapa?
"Bun, tapi kenapa?"
"Mulai besok, Zee akan Mama pindahkan ke Australia. Kamu juga tau kan nenek kakeknya disana? Sebagai dokter, Mama akan mulai merawat mereka disana. Dan otomatis Zee pun akan ikut dan hidup disana."
Dua gadis remaja itu tentunya kaget, mereka seperti akan mati pada saat itu juga. Perasaan mereka bercampur aduk, tak ada kata yang terucap beberapa waktu.
"Ma, mama kok gak bilang ke Zee?"
Tangan Zee dan Reva saling bertaut, mereka menahan air mata dan emosi tentunya. Sakit dan sesak bisa mereka rasakan bersama.
"Seminggu yang lalu nenek kamu yang minta, Mama gak bisa nolak."
"Tolong, kali ini ikutin kemauan nenek kamu Zee." Gracia ikut andil dalam ajakan itu.
Zee terdiam, ia menatap gadis disampingnya yang sedang tertunduk. Tangan mereka yang masih bertaut terus mengerat, sakit rasanya.
"Sampe kapan kita disana Bun?" Tanya Zee yang suaranya mulai bergetar.
"Selamanya, Zee..."
Mendengar itu, Reva langsung menarik Zee ke pelukannya. Tangis kedua gadis itu pecah, ruangan yang tadinya hanya diisi alunan lagu, kini beradu dengan suara tangisan mereka. Reva juga Zee sangat terisak mendengar pernyataan dari Gracia.
Kedua tangan yang menyilang di punggung lawan mereka pun makin erat, mereka sama-sama menahan sakit.
Gracia tak kuasa menahan tangisnya, ia memeluk Shani. Shani terus mengelus punggung istrinya untuk menguatkan, padahal dirinya sendiri pun rapuh.
"Maafin Bunda, Zee..."
Reva tak melepas pelukannya, terus memeluk gadis yang mungkin tak bisa ia lihat kembali besok. Tubuhnya bergetar menahan sakit di dadanya. Hari ini seperti kutukan baginya.
"Besok kita flight pagi Zee, barang di Jakarta bisa nyusul."
Kembali terisak hebat mendengar pernyataan pahit itu. Pelukan itu makin erat, mereka tak perduli tanggapan Shani dan Gracia kala itu. Mata mereka sudah sangat sembab dan merah.
Shani dan Gracia beranjak dari duduknya, mereka memeluk dua gadis yang masih berpelukan. Mereka berempat tentunya rapuh, tapi berusaha untuk tetap saling menguatkan.
"Maafin Mama sama Bunda ya sayang."
Shani mengecup kening Zee dan Reva bergantian, memberi kecupan terakhir untuk Reva. Ia mengelus punggung Reva sebelum meninggalkan ruang VVIP itu karena harus mengurus keberangkatan mereka besok pagi.
Melihat orangtuanya pergi, Zee beranjak dan berganti posisi menjadi di pangkuan Reva. Mereka duduk berpangku di satu kursi berbahan kayu itu. Tentunya Reva makin memeluk erat gadisnya.
"Rev... aku gak mau pergi. Bawa aku pergi dari sini." Zee dalam tangisnya.
"Aku juga gak mau Zee, tapi gimanapun keluarga kamu paling penting."
Reva membiarkan Zee menangis disana, ia sedikit tenang karena memang ia lebih dewasa dari Zee. Dilihat dari emosionalnya, Reva memang lebih unggul dalam menahan emosi.
Reva terus mengelus punggung Zee hingga mungkin 20 menit. Reva menarik Zee untuk menatapnya.
"Hari ini kita jalan-jalan ya, jangan isi hari terakhir kita buat sedih-sedihan. Kita buat memori yang banyak."
Hati Zee sangat tersayat mendengar ajakan itu, biasanya ia paling semangat jika Reva mengajaknya jalan-jalan, tapi ini bukan jalan-jalan yang ia harapkan.
Zee menunduk, air matanya terus jatuh tanpa henti. Ia mengiyakan ajakan Reva untuk pergi. Sebelum mereka benar-benar meninggalkan cafe itu, mereka saling melempar kecupan di kening masing-masing.
"Gue harap ini cuma becandaan Bunda Rev." Ujar Zee dalam hati.
___
Mereka menyusuri tiap sudut kota Yogyakarta, menikmati angin sore hingga larut malam. Sesekali tertawa melupakan kenyataan yang mereka hadapi tadi siang. Semua makanan pinggiran Reva beli untuk sekedar menyenangkan gadisnya.
Jam menunjukkan pukul 10 malam, mereka berhenti di salah satu danau yang sepertinya jarang pengunjung. Mereka duduk di tepi danau, menikmati pantulan cahaya bulan.
Reva membiarkan gadisnya bersandar di pundaknya, untuk terakhir kali.
"Kalo bisa puter waktu, kamu mau puter waktu bagian yang mana Rev?"
"Aku bakal minta Mommy pas nyuruh nikah sama kamu buat nikahin kita hari itu juga, biar kita gak kepisah kaya gini."
Lagi dan lagi, air mata menetes tanpa permisi di pipi Zee. Dadanya kembali sakit.
"Aku minta maaf ya Zee, kalo selama sama aku kamu gak bahagia sepenuhnya. Maaf aku gak pernah ungkapin perasaan aku."
Reva menangkup wajah Zee untuk menatapnya, ia menggenggam tangan gadis yang sedang menangis.
"Sekarang, aku mau ungkapin perasaan aku, dengerin ya Zee."
"Azizee, aku gak tau ini emang bagian rencana Tuhan atau bukan. Tapi aku beneran seneng dan bersyukur tiap hari bisa kenal sama kamu. Walaupun akhirnya kita emang gak bisa sama-sama, aku bakalan terus berterimakasih sama Tuhan karena udah hadiahin kamu di hidup aku."
"Sepanjang hidup aku, baru kali ini aku ngerasain hal tulus dari seseorang. Makasih ya Zee udah ukir kenangan yang gak bakal aku lupain selamanya. Setelah ini, aku mau kamu janji buat selalu bahagia disana, walaupun gak sama aku."
"Makasih udah jadi obat buat luka aku, aku disini bakal terus nunggu kamu pulang meskipun itu gak mungkin. Jadiin aku salah satu bagian penting di hidup kamu ya Zee. Kalo kamu ngerasa gak punya tempat pulang, cari aku, aku bakal selalu jadi rumah kamu."
"Sekali lagi makasih, selamat abadi di hidup aku, aku sayang banget sama kamu Zee. I Love you so much."
Zee memeluk erat Reva setelah semua kalimat yang Reva ucapkan. Harusnya ia senang mendengar Reva romantis, tapi kenapa ini sangat menyayat hati? Ini bukan ungkapan yang Zee inginkan selama ini.
Reva ikut melabuhkan dirinya di pelukan Zee. Ia ikut terisak mendengar suara tangisan Zee. Gerimis yang mulai turun membuat suasana haru itu semakin kalut. Mereka tak memperdulikan apapun selain pelukan.
"Aku juga sayang banget sama kamu Reva, tunggu aku pulang. Aku bakal terus jadi Sunya milik kamu."
Tak ada kata lagi, mereka menghabiskan waktu untuk berpelukan. Perasaan hampa mulai menyelimuti mereka. Air mata seperti berlomba untuk turun dari sudut mata cantik mereka.
Reva melepas pelukannya, ia menatap netra indah gadisnya yang besok tak akan ia lihat lagi. Menyingkap rambut gadis itu untuk melihat wajah cantiknya.
"Aku mau cium kamu buat yang terakhir boleh Zee?"
Zee mengangguk perlahan, sakit...
Satu kecupan mendarat di kening Zee, kecupan tanda kasih sayang sekaligus penutup hari ini. Kecupan yang tak mereka harapkan sama sekali.
Zee menangkup dan menarik wajah Reva, ia mencium bibir Reva untuk beberapa waktu. Ciuman kali ini tak ada nafsu, bibir mereka bertaut lama.
Terima kasih, Reva.
"Setelah kehilangan Manda, gue juga harus kehilangan lo Zee? Kenapa dunia jahat banget? Kenapa?"
End, terima kasih 🤍
KAMU SEDANG MEMBACA
RIVAL (ZeeDel)
Подростковая литератураDua ketua geng motor yang sebelumnya RIVAL kini diharuskan menjadi satu kesatuan untuk mengusut pembunuh sahabat mereka masing-masing. Namun sayang, pertumpahan darah terjadi ketika perang. Dan apakah dua gadis ini jatuh, atau cinta? CERITA FIKSI To...