Mleyot

77 18 3
                                    

Lea suka rumah musim panas milik kerajaan. Dengan suasananya yang hangat dengan sengatan matahari, pemandangan laut juga terlihat dari jendela kamarnya. Rumah berukuran besar itu tampak lengang karena hanya dihuni dirinya dan sang suami, Pangeran Azzam.

"Mereka menyiapkan semua perbekalan ini sebelum kita datang?" Lea bertanya setelah menginspeksi isi dapur.

"Tentu saja, karena butuh banyak waktu untuk sampai ke pasar terdekat sekalipun," jawab Pangeran Azzam santai, matanya lekat menatap layar tablet.

Melihat hal itu, Lea pun mendengus sambil merengut. Dia kesal karena Pangeran Azzam terus saja sibuk sendiri. Entah apapun yang lelaki itu buat, Lea yang terbiasa mendapat perhatian kini merasa terabaikan. Apa bagusnya sih benda kotak itu? Selain body-nya yang mulus?

"Hubby, kamu mau aku buatkan makan siang?" Tiba-tiba Lea bertanya, tersenyum manis dengan ide jahil yang baru saja terlintas di kepalanya.

"Kamu mau?" Sahut Pangeran Azzam, mendongak dan balas tersenyum kepada Lea. Perempuan itu mengangguk.

"Tapi aku tidak terlalu pandai memasak," tambahnya beberapa saat kemudian.

"Tidak apa-apa, aku bisa memasak untuk kita berdua. Kamu sudah lapar, ya?" Balas Pangeran Azzam, mengecek jam di tabletnya.

"Bukankah memasak juga perlu waktu?" Ucap Lea, ragu.

Pangeran Azzam nyengir sebelum mengangguk. Lelaki itu kemudian bangkit untuk berjalan mendekati Lea yang masih di dapur.

"Ada makanan tertentu yang ingin kamu makan?" Tanya lelaki itu.

"No, no, no! Aku yang akan memasak!" Tolak Lea.

"Baiklah, Habibti. Kamu tidak perlu cemberut begitu," sahut Pangeran Azzam, tampak geli. Lea segera mengubah ekspresi wajahnya, dan kabur ke lemari pendingin.

Sementara Lea menyiapkan segala bahan dan alat yang dia perlukan untuk memasak, Pangeran Azzam menyender nyaman ke pantri, bersedekap sambil memperhatikan isterinya.

"Kamu mau memasak apa?" Tanya Pangeran Azzam.

"Oh, aku tidak tau namanya. Aku akan bereksperimen!" Jawab Lea, yang membuat ekspresi Pangeran Azzam serta merta berubah.

"Ya?"

"Kalau kamu tidak yakin, aku bisa memasak sop! Bagaimana menurutmu?" Lea menyahuti gumaman ragu suaminya.

"Terserah kamu. Spaghetti seperti yang pernah kamu buat dulu juga tidak masalah," balas Pangeran Azzam.

"Aku tidak akan membuat makanan instan seperti itu," tolak Lea lagi. "Yaya mengomeliku karena memberi makan malam seorang pangeran hanya dengan spaghetti!"

"Padahal aku tidak masalah dengan itu," gumam Pangeran Azzam.

"Aku juga bilang begitu!" Sambar Lea cepat. "Tapi Yaya memang tipe orang yang menghargai seseorang terlalu tinggi. Maksudku, secara berlebihan!"

Tiba-tiba Lea menghela napas panjang, berhenti melakukan kegiatannya dan melamun dengan wajah sedih. Perempuan itu bertanya-tanya, apakah nenek dan kedua orangtuanya kini merasa kecewa dengan Lea?

Sepasang tangan melingkar ke tubuh Lea tanpa perempuan itu duga. Andai dia tidak ingat sedang bersama siapa, Lea pasti akan memiting suaminya ke lantai.

"Kita bisa mengunjungi Yaya kapanpun kamu mau," gumam Pangeran Azzam, terdengar bersimpati.

Lea melepaskan lengan suaminya, dan mendorong Pangeran Azzam menjauh sambil berkacak pinggang.
"Kamu membuatku tidak fokus bekerja, lebih baik kamu duduk dan kembali melihat isi gadget mu!" Tegurnya, sok galak. Pangeran Azzam menurut dengan sikap takut hingga membuat Lea tersenyum geli.

Begitu Pangeran Azzam menjauh, Lea segera mulai melancarkan aksinya. Membuatkan Pangeran Azzam sebuah makanan yang semoga saja masih bisa di makan.

###

Asin.

Selain asin, entah rasa absurd apa lagi yang di rasakan lidah Pangeran Azzam. Lelaki itu tidak bisa mendefinisikannya. Meski begitu, tidak ada ekspresi tertentu yang keluar di depan Lea. Perempuan itu sekarang sedang duduk di sampingnya, menatap penuh harap padanya.

"Enak," ucap Pangeran Azzam lancar dan meyakinkan.

"Sungguh?" Tanya Lea, tersenyum senang. Pangeran Azzam mengangguk, membalas senyum itu.

"Apa nama makanan ini?" Pangeran Azzam kembali menyuapkan makanan absurd Lea ke dalam mulutnya.

"Aku belum memikirkannya. Kamu ada ide?" Pangeran Azzam mengulum senyum.

"Menu kreatif Azalea?" Sahutnya.

"Nama apa itu?" Balas Lea mengkritik hingga keningnya mengkerut. "Itu benar-benar enak? Aku tidak mencobanya tadi. Boleh aku minta?"

Pangeran Azzam menjauhkan mangkuknya dari tangan Lea yang terulur, dengan seulas senyum yang sama lelaki itu menggelengkan kepala.
"Bukankah ini untukku? Aku akan membuatkanmu yang lain setelah aku menghabiskan ini," kata lelaki itu.

Wajah Lea berubah agak ragu.
"Kurasa aku tadi salah menaruh bumbu? Biarkan aku coba sedikit! Kalau memang enak, tentu saja kamu boleh memakannya hingga habis!"

Kali ini Pangeran Azzam menahan tangan Lea yang terulur kembali, kemudian mengecupnya ringan.
"Maaf, tapi makanan ini milikku," katanya, membuat Lea terperangah tak percaya.

Pangeran Azzam benar-benar menghabiskan makanan itu, sementara Lea gelisah dalam sikap diamnya. Juga merasa bersalah. Lea sama sekali tidak mengira dengan respon Pangeran Azzam terhadap kejahilannya. Lea kira lelaki itu akan mengkritiknya habis-habisan. Dengan begitu, Lea bisa mendramatisir lebih jauh lagi hingga dia merasa puas.

Selesai makan, Pangeran Azzam menepati janjinya untuk memasakkan Lea makanan. Melihat dari belakang saat suaminya berkutat di dapur, membuat Lea merasakan sesuatu. Dia mendadak ingat ucapan salah satu sahabatnya yang amat menyukai kerajaan Dobuski, Mina.

"Lea, coba bayangkan setelah kamu menikah dengan Pangeran Azzam kelak! Coba bayangkan kalian berdua ada di satu ruangan yang sama, makan bersama, melakukan segala sesuatu bersama. Tidakkah itu menyenangkan?" Ucap Mina kala itu. Dan Lea tidak bisa menjawab, karena dia tidak memiliki gambaran.

Namun sekarang, melihat sikap suaminya yang berbeda dengan lelaki lain, membuat Lea merasa lututnya lemas, pipinya memanas, sementara hatinya berteriak kegirangan. Tampaknya, dia berhasil mendapatkan seseorang untuk menyembuhkan PTSDnya!

"Lea? Kamu kenapa?" Pangeran Azzam bertanya dengan kening mengerut melihat isterinya bersandar lemas ke pantri yang sama, yang tadi dia pakai untuk mengawasi isterinya memasak.

Tanpa diduga, Lea langsung berdiri tegap dengan wajah memerah yang tidak bisa disembunyikan. Ada senyum di bibirnya yang tampaknya hendak dia samarkan.

"Tidak, bukan apa-apa," jawabnya salah tingkah.

"Apa ada yang salah?" Pangeran Azzam mengecek dirinya sendiri, mengira Lea sedang menertawakannya. Apa lelaki yang memakai apron sesuatu yang lucu bagi perempuan itu? Pikirnya.

"Tidak," jawab Lea. "Aku hanya tidak menyangka akan dimasakkan oleh seorang putra mahkota negaraku sendiri." Lanjutnya.

Pangeran Azzam tertawa geli, lalu memeluk Lea erat-erat dengan satu tangan.
"Tampaknya kamu juga menilaiku terlalu tinggi seperti Yaya," katanya. "Aku juga manusia, Habibti. Dan aku adalah suamimu!"

"Thank you for being here and being my husband," gumam Lea, membalas pelukan itu ringan.

"Thank you for being here and being my wife," balas Pangeran Azzam, mengecup kening Lea kemudian mendorongnya menjauh. "Sekarang giliranmu yang harus duduk. Kamu menganggu konsentrasiku memasak!"

###

The Crown PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang