Hujan deras bersama badai menggema di luar jendela apartemen. Aku duduk di atas sofa abu-abu, meletakkan kedua kaki berada di depan dada.
"Dia tidak melakukan sesuatu padamu, kan?"
Bora setia menyambut kepulanganku pagi itu. Ia datang membawa selimut besar dari kamar. Mengupayakan seluruh tubuhku berlindung dibaliknya.
Aku berdiam diri. Pandangan tanpa arah yang jelas tertuju pada jendela. Mengitari sekeliling awan abu-abu di sana.
Aku menggeleng pelan setelah 2 menit berlalu saat ia bertanya. Kemudian, ia hendak menyelimuti diriku di dalam balutan selimut tebal yang akan menjagaku dari kedinginan.
"Kau membeli kalung baru, ya? Apa itu kalung bunga? Kalungnya indah sekali!"
Dia menyentuh kalung yang masih melingkar di leherku. Memperhatikan tiap-tiap hal kecil secara detail.
"Wow! Bukankah bentuknya seperti bunga Lily Of The Valley!? Luar biasa!" Menjadikannya terperangah saat aku enggan melirik pada kalung itu.
"Kau mendapatkannya dari mana? Aku juga ingin membelinya."
"Lupakan." Lirihku singkat tanpa bertolak.
Ia mengerucutkan bibir karena kesal. "Dasar pelit."
"Baiklah. Hari ini kau habiskan waktumu untuk beristirahat sampai kondisimu membaik. Besok jadwalmu padat, kau ingat?"
Jari telunjuknya terus menunjuk.
"Lalu satu hal lagi..." Dia mengembuskan napas panjang. "Hei! Bisakah kau pergunakan waktumu untuk bercerita saja semua masalahmu kepadaku!? Maksudku, tidak perlu membuat semua orang khawatir karena kau berpikir bahwa kau tidak bisa bercerita pada siapapun!"
"Kau bisa melakukannya, cuman, masalahnya adalah kau! Kau yang sangat takut untuk bercerita! Hei!?"
Tangannya memiringkan kepalaku, memaksaku berkontak mata dengannya.
"Apa kau memang menganggapku sebatas teman lama yang bekerja sebagai sekretaris pribadimu!? Apa selama ini aku hanya bekerja pada perusahaanmu saja!? Lalu... Apa kau memang tidak pernah menganggapku sebagai teman!?"
Pelan-pelan, aku melepaskan kedua tangannya yang bersemayam di wajahku.
"Aku hanya merindukan caraku mengasingkan diri saat kecil. Apa itu salah?" Tanyaku, kembali teralihkan oleh hujan yang semakin deras.
Ia tertunduk diam menggeram sendiri. Kedua tangannya mengepal begitu keras, dan aku tahu itu. Aku tahu, sudah berulang kali ia pasrah menghadapi diriku.
Matanya terpejam, helaannya kali ini terasa lebih berat dari yang tadi. "Baiklah... Memang kita tidak bisa mengubah cerita yang sudah berlalu. Jadi, untuk apa lagi aku marah-marah padamu."
"Aku sudah bilang pada semua petinggi dan para pegawai. Jadi, hari ini kau tidak perlu khawatir soal mereka. Aku sendiri yang akan memegang perusahaan, hari ini. Sekarang, pergunakan waktumu untuk beristirahat sampai kau pulih. Kau ingat, kan? Perjanjian kita dengan penerbit dari Jepang tidak bisa diundur?"
"Oh ya... Pak Logan kemungkinan besok pagi akan sampai, jadi kau yang akan mendampinginya."
"Jika kau butuh sesuatu hubungi saja aku. Jadi sekarang, apa kau sedang membutuhkan sesuatu?"
Aku menolak tanpa bersuara. Memberi kesan padanya, apa yang sedang kubutuhkan sekarang adalah kesunyian. Dan dia mengerti yang kumaksud.
"Baiklah, kalau begitu aku pamit dulu."
Dia segera beranjak dari atas sofa.
"Yun Bora," lirihku memanggil namanya.
"Ya, kenapa? Ada apa? Kau butuh sesuatu?" tanyanya tergesa-gesa.
KAMU SEDANG MEMBACA
From Walkman To Secret
Romance(18+) Cerita fiksi ini mengandung unsur konten dewasa, kekerasan verbal/fisik, serta pelecehan seksual. Dimohon kepada para pembaca yang sekiranya masih di bawah 18 tahun, untuk mengikuti prosedur yang tertera. Saya menyarankan para pembaca di atas...