Passionate

3 2 0
                                    

Rachel tidak pernah melihat Sophia berbicara secara langsung dengan Mr. Milo. Entah lah kalau diluar sepengetahuannya Sophia pernah menyapa atau bercakap sekali dua kali. Yang jelas, Sophia jelas menggunakan kesempatan ini sebaik-baiknya. Ia sungguh mempersilahkan Rachel menikmati kembali sedikit saja waktu yang tersisa sepulangnya mereka dari Hong Kong.

"Aku suka foto-foto Bapak yang Bapak kirim tadi malam," ujar Rachel.

"Syukurlah kalau begitu. Berarti skill fotografi saya nggak jelek lah ya."

"Ih, keren kalik, Pak."

Hening.

"So, masih bingung soal mau melanjutkan sekolah kemana? Masih ada yang mengganggu di pikiran kamu?" tanya Mr. Milo.

"Masih, Pak. Galau aku sebenarnya. Cuma, ya nggak ada alasan yang membuat aku untuk nggak melanjutkan sekolah ke luar negeri, 'kan?"

"Ya, harusnya memang nggak perlu ada pikiran yang berlebihan. Ini semua demi masa depan kamu. I guess your parents have done a lot of things and hoped for the best for you."

"Iya sih, Pak. Paling ya lama-lama juga perasaan ini hilang."

Mr. Milo tersenyum. "Kita bahas apa sih sebenarnya? Soalnya sampai sekarang saya nggak ngerti apa yang membuat kamu cemas dan galau buat melanjutkan pendidikan ke luar negeri."

Rachel meringis.

Pesawat mulai berjalan pelan. Pesawat tersebut harus antri dengan pesawat-pesawat lain yang juga hendak take off.

"Do you know, Pak, aku sebenarnya tidak terlalu paham dengan keinginan aku sendiri. Vivian tuh memang tergila-gila dengan fashion atau beauty industry gitu. Sophia, si gadis serius itu memang pinter 'kan anaknya. Ketambahan dengan Jordan yang sama-sama punya semangat dan tujuan serupa. Nggak heran kalau abis kuliah mereka langsung nikah," ujar Rachel terkikik. Ia sengaja memelankan suaranya agar tak terdengar Vivian yang duduk di sebelahnya, penasaran. "Terus, Dwi. Dia punya banyak pilihan sebenarnya. Keluarganya tersebar di seluruh muka bumi, Pak. Bayangkan, bahasa Mandarinnya aja lebih bagus di banding Vivian, aku atau Sophia. Dia juga udah ke Hong Kong ada kalik tiga kali sebelum ini."

"Maklum kok, Rach, kalau seusia kamu masih sibuk menebak-nebak keinginan. Tapi, life goes on. Kalau nggak memutuskan sekarang, kapan lagi. Kalau takdir nanti membuat kamu memilih keputusan lain, ya itu juga wajar. Namanya juga hidup," respon Mr. Milo.

"Memangnya Bapak pernah bingung dulu waktu masih sekolah?"

"Memangnya kamu pikir saya langsung pengin jadi guru sejarah sejak baru lahir?"

Rachel tertawa. "Ya nggak. Soalnya Bapak kelihatan passionate banget kalau pas ngajar sejarah. Saya suka ... eh, maksud saya, teman-teman, termasuk teman-teman di kelas senang kalau pelajaran Bapak."

"Ah, nggak semua juga suka, kok, Rach. Udah pekerjaan dan kewajiban saya sebagau guru sejarah. Kalau gurunya aja nggak passionate, atau punya semangat, gimana yang belajar, gimana murid-muridnya?"

Rachel mengangguk-angguk. Percakapan mereka jeda sejenak karena pesawat siap-siap untuk take off.

Pesawat telah stabil di angkasa.

"Jadi Bapak dulu pernah punya cita-cita atau apa gitu? Kenapa bisa sampai jadi guru sejarah?" lanjut Rachel.

Tanpa disadari, keduanya kini telah duduk dengan posisi nyaman. Sudut tubuh mereka mendekat, seakan membuka untuk percakapan dan komunikasi.

"Nah, menurut saya, perasaan kamu relatable, Rach. Saya juga sebenarnya dulu nggak tahu apa yang harus saya capai. Saya punya banyak hobi, tapi nggak ada yang benar-benar masuk akan untuk dijadikan profesi, atau pekerjaan yang bisa menghasilkan uang. Jadi, kalau menurut saya, kamu nggak usah terlalu khawatir. Hidup akan membawa kamu ke tempat yang paling tepat. Kamu cuma harus berani ambil keputusan saja."

"Hmm ... atau jangan-jangan dulu Bapak seperti Sophia dan Jordan. Bapak sama pacar Bapak dulu punya cita-cita sama, gitu?" ujar Rachel takut-takut.

Mr. Milo memandang Rachel yang wajahnya perlahan memerah. Namun setelah itu Mr Milo tersenyum lebar. "Kamu penasaran banget sama pacar saya dulu, ya?"

Rachel meringis.

Mr. Milo menghela nafas. Ia tak tahu mengapa ia merasa perlu menceritakan hal ini kepada murid perempuannya tersebut.

"Saya pacaran cuma sama pacar saya itu. Dari SMA sampai kerja. Dia lebih tua dari saya. kakak kelas."

Sepasang mata Rachel melebar, meski tak bisa terlalu lebar karena memang sepasang matanya itu sipit luar biasa.

"Serius, Pak. Lama banget pacarannya. Keren, keren. Bapak pede juga ya, nembak kakak kelas dong."

Mr. Milo menggaruk-garuk alisnya. "Dia juga udah nggak ada, Rach. Meninggal karena sakit udah lama. Ya gitu. Life gives us honey, life gives us lemon. Dan, nggak usah sedih gitu. Udah lama kejadiannya. Saya juga udah move on 'kan. Bukan salah siapa-siapa juga."

"Aku salut sama kakak itu, pacar Pak Milo. Juga dengan Bapak yang bisa setia pacaran sampai selama itu."

"Ya tapi nggak baik juga memikirkan yang udah lalu, apalagi orangnya udah nggak ada. Tapi, ya, seperti dugaan kamu tadi, kami dulu punya cita-cita yang sama. Mau kuliah sama-sama, kerja sama-sama, gitu deh. Kesimpulannya, tetap saja you must survive, no matter what. Saran saya, nggak usah terlalu galau dengan entah apapun yang kamu rasakan sekarang. Lanjut saja kuliah di Singapore. Selesaikan kuliah dengan baik. Buat masa depan kamu juga. Nanti di masa depan, sesuaikan dengan tantangan yang didapat."

Rachel tersenyum lebar. "Kita berat juga obrolannya ya, Pak?" kemudian tertawa.

Mr. Milo juga tertawa, membuat Vivian menyenggol lengan Rachel meminta penjelasan. Dwi dan Sophia di seberang menengok ke arah mereka. Yakin bahwa Rachel memang sedang have fun. Sophia tersenyum tipis.

"Masih empat jam penerbangan. Bisa dislangseling dengan yang ringan juga, kok," ujar Mr. Milo.

"Emang obrolan ringan kayak apa, Pak?"

"Ya, misalnya, berdasarkan foto kamu yang saya jepret kemarin, sebenarnya cocok tuh jadi model."

Rachel menutup wajahnya. Malu. "Ih, Bapak bikin aku malu. Tahu nggak, aku nggak pernah foto-foto kayak gitu. Never in my life."

"Yang bener? Cewek alaminya 'kan paling seneng difoto. Kalau nggak foto-foto sendiri malahan."

"Eh, mentang-mentang Bapak pernah pacaran lama, bukan berarti Bapak tahu soal cewek ya. Nggak semua suka foto-foto gitu, Pak. Vivian sama Dwi emang jagonya. Mereka juga model. Tapi coba tanya Sophia, tuh. Biar kata udah pacaran, susah banget dapatin foto dia sama Jordan. Apalagi sendiri."

"Oiya? Tapi menurut lensa kamera saya kamu memang cocok kok. Alami gitu gayanya."

Rachel tersenyum lebar dan ... nakal. "Bapak mau bilang aku cantik, ya? Udah ngaku aja, Pak. Nggak usah malu-malu. Memang pesona aku susah dilupakan. Pasti Bapak ngelihatin foto aku terus, 'kan?"

Rachel menggoda Mr. Milo, sengaja untuk membuat gurunya itu menghela nafas, menggaruk alisnya atau menggeleng-gelengkan kepalanya. Rachel suka melihatnya.

Namun, Rachel terpaksa malah yang harus meredam rasa malunya ketika Mr. Milo mendekat, kemudian berbisik, "Iya. Kamu paling cantik. Saya simpan foto-foto kamu baik-baik."

Wajah Rachel serasa terbakar. Ia harus menunduk dan membiarkan rambutnya tergerai menutupi sebagian besar wajahnya yang sudah mulai memerah brutal tak terkendali. Ia tak menyangka bahwa Mr. Milo kembali melayani candaannya. Rachel tak mampu untuk melawan perasaan malu tersebut.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang