24. Maybe If

1.3K 203 23
                                    

___________________________________________



Beberapa hari ke belakang, waktu-waktu terbaik untuk bisa berbicara dengan Marsha adalah ketika Orion telah tertidur. Tanpa bermaksud menyampingkan kehadiran anaknya sendiri, tapi, terkadang memang ada beberapa hal yang harus ia dan Marsha bicarakan tanpa ada Orion. Azizi baru sadar bahwa sampai detik ini, baik ia dan Marsha ketika berbicara berdua—masih selalu berapi-api dan selalu saling tidak ingin mengalah, seperti punya dendam kesumat satu sama lain.

Maka, malam ini, ketika Orion sudah tertidur—setelah sedikit pertengkaran mereka dan tawaran Azizi yang masih terkesan mentah untuk mengajak Marsha menikah, Azizi merasa bahwa malam ini tidak ada waktu terbaik untuk berbicara dengan Marsha. Biasanya mereka akan menikmati secangkir Teh di teras samping, membicarakan masa depan Orion, jenjang pendidikan yang akan ditempuh, sampai merangkai semua yang ada di kepala mereka—terkadang, Azizi mendengarkan Marsha bercerita ketika Orion masih di dalam perut atau detik-detik ketika lahir.

Azizi mengembuskan napas panjang, mengeratkan genggamannya pada sebuah kotak berlapis beludru berwarna pirus dengan sentuhan biru kehijauan. Harusnya, jika empat tahun yang lalu ia tidak terlambat, cincin itu sudah tersemat di jari manis Marsha. Cincin bermotif sulur dengan gemerlap berlian. Masih jadi yang tercantik di kelasnya.

"Kamu enggak pulang?"

Azizi menoleh ketika Marsha berdiri di ambang pintu sambil melipat tangannya di dada. Detik berikutnya, ia berusaha untuk memasukan kotak cincin itu ke saku jins-nya, tapi, sepertinya Azizi Bagja dan ceroboh seperti sudah jadi paket hemat sehingga mau tidak mau kotak itu malah jatuh tepat di depan kaki Marsha.

"Ini mau pulang kok, nunggu taxi." Azizi mengangguk kecil, segera mengambil kotak cincin itu lalu dimasukan ke dalam saku celananya.

"Oh, kirain belum mau pulang." Marsha mengangguk. "Tadinya aku mau ngajak kamu makan Blueberry cheese cake. Masih ada dua potong lagi di kulkas."

Azizi mengerjapkan matanya, ia sempat diam sebentar menatap Marsha yang masih tak mengubah posisi tubuhnya. "Ngajak aku?"

"Ya menurutmu aku ngajak siapa?" Marsha tertawa kecil.

"O-oh..." Azizi mengangguk bodoh.

"Mau enggak? Eh, atau taxi-nya udah dekat, ya?" Tanya Marsha, pandangannya mengedar pada pagar depan, mencari mobil yang berlalu lalang di sana, tapi belum ada tanda-tanda sebuah mobil berhenti di depan rumahnya.

"Belum kok, bisa aku cancel."

"Bisa gitu?"

Azizi menggaruk kepalanya. "Sebenarnya belum pesan sih..."

"Tsk, ada ada aja." Marsha menggelengkan kepalanya. "Ya udah, yuk. Keburu Orion bangun dan ingat dia masih punya dua potong kue."

Azizi mengekori ke mana langkah Marsha pergi. Sebenarnya, Azizi ingin sekali menanyakan apakah Marsha sudah kembali sehat setelah tadi pagi ia demam tinggi, tapi, mengingat bahwa beberapa jam yang lalu mereka baru saja sedikit larut dalam pertengkaran, Azizi tidak berani melakukannya.

Azizi duduk di sofa berwarna coklat, menantikan Marsha dari dapur untuk mengambil dua potong kue yang ditawarkan. Tak butuh waktu lama untuk dirinya menunggu dan melihat Marsha sudah datang dengan dua cangkir teh hangat dan dua potongan Blueberry cheese cake-nya.

"Makanan kesukaan Orion?"

"Ya. Tapi, dia enggak sering makan ini, kadang-kadang kalau dia mau banget baru kubeliin. Kamu tahu, aku enggak boleh banyak-banyak memberi dia makanan manis." Marsha mengangguk, memotong bagiannya menjadi potongan lebih kecil lagi.

"Apa dia selamanya akan sensitif dengan gula?" Tanya Azizi.

"Hm... aku enggak tahu, tapi, kalau soal tanda di hidungnya itu, kata Dokter akan hilang dengan berjalannya usia dia bertambah. Kulit Orion juga termasuk tipis banget, jadi vena-nya memang kelihatan."

Sampai Jumpa bukan Selamat TinggalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang