BAB.10

869 18 0
                                    


Setelah selesai melancarkan aksinya. Iput, pemuda dari desa pacuran tersebut berjalan melangkah menuju ke kamar Bowo. Didepan pintu kamar pemuda itu melongok sesaat mengacungkan jari jempolnya dari luar kamar, tanpa masuk untuk menemui Bowo. Pemuda bertindik itu berdiri diam sesaat diambang pintu, ia melepaskan sarung yang menutupi kepalanya melemparkannya kedalam lantai kamar tidur Bowo. Semenit berselang pemuda itu merapatkan kerudung jaketnya untuk menutupi kepalanya. Dengan wajah terlihat puas dan sumrigah. Ia berbalik pergi menuju ke pintu rumah.

Bowo mengejarnya sampai teras depan. Dengan hati berdebaran antara rasa bingung dan kalut. Ia membiarkan Iput pergi meninggalkan rumahnya.

Pemuda itu telah pergi tubuhnya menjauh ditelan gelapnya malam. Misinya berhasil. Berhasil mendapatkan perhiasan- perhiasan emas milik ibu tirinya.

Bukankah ini semua keinginan Bowo. Semua butuh pengorbanan. Ada yang harus ditukar . Ia yang meminta bantuan untuk menyingkirkan keberadaan ibu tirinya dari dalam rumahnya. Ibarat kata Soleka seekor tikus , hama atau bisa dibilamg parasit yang mengegrogoti isi rumah. Hama yang harus dibasmi.

Bowo menutup pintu rumah menguncinya dari dalam. Dengan tubuh gemetaran tak tahu harus ngapain. Ia melangkah menghampiri pintu kamar tidur kedua orang tuanya. Semua kamar didalam rumah tersebut tanpa berpintu hanya tertutup oleh kaim gorden warna senada.

Dadanya naik turun , napasnya tak teratur. Keringat dingin membanjiri tubuh kurusnya meninggalkan bekas lepek dirambut dan baju yang ia pakai. Ia menyibak tirai penghalang melihat keadaan kamar yang berantakan kacau. Ia mundur begitu melihat tubuh Soleka yang tergeletak diatas tumpukan pakaian yang berhamburan diatas lantai. Bocah itu menelan ludah melihat semua kekacau yang terjadi. Ia dengan langkah bimbang mencoba mendekati tubuh ibu tirinya. Ia bediri mematung menatap wajah Soleka. Terlihat lingkaran hitam dikedua matanya bekas pukulan keras. Perlahan ia menyentuh lengan Soleka dengan ujung jari kakinya. Ia tekan dan dorong- dorong. Namun tubuh Soleka diam tak bergeming sedikitpun.

" ibu" panggil Bowo dengan suara lirih dan gemetaran.
Ia menoleh ke arah lemari yang terbuka lebar . Lemari pakaian itu dalam keadaan kosong hanya terlihat sebuah kotak kayu kecil berukiran berwarna hitam.

Bowo mendekati kotak hitam tersebut memgambil dari sudut lemari. Ia membuka penutupnya. Kotak tersebut kosong hanya tersisa bungkusan kecil dari kain berwarna putih kotor dan kusam. " apa ini?" tanyanya pada diri sendiri sembari meraih bungkusan kecil bertali tersebut. Ia menaruh kembali kotak tersebut kedalam almari .
Ia menjauh,masih dalam keadaan shock berat. Ia membuka tali yang mengikat bungkusan itu. Membuka kain putih ditanganya.

Bau busuk menyengat tercium begitu bungkusan tersebut terbuka. Mata Bowo melotot meneliti dengan seksama apa isi gerangan. Ia mencoba mencium helaian- helaian yang sepertinya helaian tersebut bulu. Ya bulu itu helaian - helaian dari bulu binatang . Helaian - helaian itu mengeluarkan bau tak sedap seperti bau bulu binatang.
Bulu kambingkah? Bowo mengeleng. Bukan kambing.
Kucingkah?kembali ia mengeleng frutasi.
Apakah anjing? Bowo tak tahu.
Ia baru ingat tempo hari ia memergoki ibu tirinya memasukan sesuatu di cangkir minuman kopi ayahnya. Iya bungkusan ini.
Bowo baru sadar.
Tapi ini helaian bulu apa?
Bulu- bulu berwarna putih keabuan dengan ujung berwarna hitam pucat. Sepertinya bulu- bulu tersebut dicabut paksa dari kulitnya.
Ia meletakan kembali bungkusan putih tersebut kembali kedalam kotak.

Soleka mendadak mengerang pendek membuat jantung Bowo melonjak terkejut. Perempuan itu merintih kesakitan jemarinya menekan - nekan kepala.

Bowo mundur bersandar pada dinding kamar. Ia menutup mulutnya dengan kedua tanganya. Menatap kearah tubuh Soleka . Perempuan itu mulai tersadar dari pinsannya. Ia siuman.
" Oh". Rintihnya lirih.

Tiba- tiba saja Kepala Soleka menegadah ke atas kelompak matanya yang lembam membiru mendadak terbuka melotot ke atas. Bola matanya bergerak- gerak liar dan nanar. Terlihat seperti sepasang mata milik seekor binatang. Seperti sepasang mata monyet. Jalang, liar. Mata itu bergerak kekanan dan kekiri.

Bowo bergerak memepet ke diding. Dengan punggungnya, ia berpindah ke arah pintu. Secara perlahan dan waspada . Bocah itu berhati- hati mencapai pintu kamar.

Dada Bowo kembali merasa mencelos, jantungnya terasa hendak copot melihat tubuh setengah telanjang Soleka mendadak kejang- kejang . Awalnya terlihat pelan tapi perlahan - lahan berubah cepat dan kecang. Tak ingin terjadi yang buruk. Bowo hendak berlari kabur dari dalam kamar. Namun niatnya urung sebelum ia berhasil kabur.
Soleka berhasil menangkap satu kaki Bowo.

Bowo menjerit - jerit kaget bercampur kalut. Ia panik bukan main. Kakinya menedang- nedang berusaha lepas dari cengkeram tangan Soleka. " Lepas,lepaskan!"

Kepala Soleka yang mendonngak berubah menjadi bergetar hebat bergoyang maju mundur secara cepat dan tak wajar.

Bowo semakin panik , ia menedang kali ini lebih kuat dari sebelumnya. Kakinya berhasil lepas dari cengkeraman tangan Soleka.. Ia berhasil lari kabur keluar . Ia bingung dan panik, tatkala sampai di ruangan yang lainnya .
Didepan televisi. Pandanganya berkeliling mencari sesuatu yang bisa di gunakan sebagai sejata untuk mempertahankan diri.
Tapi apa?
Apa?
Otaknya berpacu. berpikir mencari- cari diruangan itu.
Ia berlari kembali, menuju ke dapur membuka salah satu laci disana meraih sebilah pisau pemotong daging. Pisau dengan mata tajam dan berkilauan tertimpa lampu bohlam sepuluh watt yang terpasang diatas ruangan dapur. Ia membawa pisau tersebut ke depan televisi.

Masih dengan otak dilanda kepanikan. Ia menatap pisau ditangannya dengan hati ragu . Entah kenapa,bocah itu meletakan pisau diatas meja beralih menghampiri televisi tabung. Televisi hitam putih berukuran dua puluh satu inci. Tanpa ragu lagi ia mencabut kabel televisi dari stop- kontak yang menempel didinding. Dengan sekuat tenaga seorang anak lelaki berumur sebelas tahun. Diangkatnya televisi tersebut. Ia berbalik dan kembali berlari ke dalam kamar Soleka.
Sesampainya didalam kamar.Dengan napas terengah- engah. Anak itu mendesah panjang sebelum akhirnya ia tahu dan sadar apa yang harus ia lakukan untuk menghentikan semua kengerian dan ketakutannya malam itu......

Lima menit sudah berlalu.
Berubah sepuluh menit sudah. Kembali berubah tiga puluh menit.
Satu jam dan berjam- jam berlalu.

Bowo masih dalam keadaan terguncang hebat. Ia duduk menangis seraya memeluk kedua lututnya. Tentu saja ia sangat takut. Ditambah ia bingung, Seharusnya ia bisa saja berlari keluar rumah meminta pertolongan dan bantuan tapi ia tak lakukan. Ia hanya bisa duduk dengan deraian air mata seorang anak sebelas tahun. Ia diam membisu menunggu seseorang mengetuk pintu rumahnya. Orang itu bukan siapa, melainkan ayahnya.

**************

      AlAS ROBAN 4 (pelet Bulu Monyet alas roban)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang