Aku menemukannya sudah merebah di atas ranjang sembari menggerakkan jemari di permukaan layar ponsel. Paling-paling sedang meladeni bahkan mungkin memarahi beberapa mahasiswa atau mahasiswinya yang menanyakan tugas tidak tahu waktu. Wajah yang memberengut menguatkan dugaan bahwa hal mengganggulah yang sedang dia hadapi.
Gerimis penghujung Oktober semakin deras. Belum berhenti sejak Magrib. Mengurung kami hanya bermalam minggu di rumah sembari menikmati tayangan serial Netflix atau Disney HotStar yang paket berlangganannya kembali naik. Ya, tak apalah. Semoga selalu ada rezeki untuk membayar sebuah hobi.
"Kenapa?" Aku menyingkap selimut agar bisa merebah. Menggeser tubuh lebih dekat kepadanya; melongok sebentar layar ponsel yang masih menyala. "Wajahmu asem begitu." Tanpa perlu izin, kulingkarkan pelukan di perutnya. Empuk.
Posturnya sudah banyak berubah setelah menjadi pria dewasa. Tidak lagi kerempeng seperti saat SMA. Bahkan mamanya bilang, bobotnya naik drastis setelah menjadi dosen. Ck, ck, ck! Di mana Tyo-ku yang cungkring?
Tidak masalah, sih. Aku senang-senang saja. Toh, kami sama. Sama-sama menggemuk pada akhirnya. Walaupun untuk kasusku, menggemuk sudah menjadi hal yang melekat sejak bayi. Bisa dikatakan, aku memang tipe wanita gemoy. Mau diet seketat apa pun tidak akan menjadikan posturku seideal Maudy Ayunda atau Tasya Farasya.
"Biasalah." Dia mengakhiri sesi men-scroll layar; meletakkan benda pipih berukuran 6,7 inci itu di atas nakas. "Mahasiswa-mahasiswiku nanyain ini dan itu terkait tugas." Kedua lengan kekarnya membalas pelukan, merebah miring sehingga wajah kami saling berhadapan.
"Kamu kurang jelas kasih arahan atau bagaimana?"
Jari-jemarinya merapikan poni yang menutupi dahiku. Satu kecupan singkat mendarat di sana. "Kurang baca aja, Sayang. Tahu sendiri anak zaman sekarang. Apa-apa sukanya dicekoki. Enggak mau baca rules padahal sudah sedetail mungkin diberi tahu."
"Memang menyebalkan anak-anak yang seperti itu." Aku merangsek lebih dekat sehingga dapat menelusupkan kepala di ceruk lehernya. Aroma lemon dan mentol terendus. Wangi sabun mandi kesukaannya. "Ngadepin mereka semoga enggak bikin kamu cepat tua, ya, Mas."
Dia terkekeh pelan. "Enggak selama aku punya penawarnya."
"Apa, tuh?" Tanganku bermain-main di dada lelaki itu.
Dia memang terlihat gemuk, tetapi dada dan perutnya tak buncit. Terbentuk liat karena rutinitas work out yang tidak pernah ditinggalkan. Tidak seroti sobek para binaragawan, tetapi cukup menyamankan untuk dielus. He he he.
"Jailin kamu." Ditowelnya cuping hidungku.
"Huh, dasar!" Aku membalasnya dengan mengeratkan pelukan.
"Bagaimana minggumu kali ini? Oke?"
"Lumayan. Enggak ada penulis menyebalkan yang minta ini dan itu untuk naskahnya. Semua dalam kendaliku."
"Jangan capek-capek, ya." Tangannya berpindah ke perutku. Mengusap penuh sayang. "Bu Bidan bilang, masih rawan meskipun sudah memasuki trimester kedua. Tetep harus jaga kondisi. Aku enggak mau kamu sampai kenapa-kenapa karena ambil banyak kerjaan."
Hangat menjalari dada setiap kali kalimat penuh perhatiannya menyapa telinga. Bukan hanya kalimat, segala tindakannya setelah kami resmi menikah setahun lalu pun selalu berhasil membuatku terenyuh. Terkadang, masih tidak menyangka bahwa pria yang kusukai diam-diam sebegitu lamanya betulan menjadi jodohku.
Pria itu yang menerakan namanya sebagai pendamping di buku nikah. Pria itu yang melingkarkan cincin di jemari manis tangan kananku. Pria itu yang akan menjadi ayah dari bayi kembar dalam rahimku. Teja Kusuma Prasetyo. Pria yang tidak pernah berada dalam doa agar dijodohkan denganku telah menjadi suamiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mewujud
Romance"Aku rasa, keputusanmu hanya didasarkan rasa enggak enak karena sudah membaca surat dan buku itu." *** Raya mendapati ruang grup chat WA milik kelas lamanya dibanjiri umpan-sahut perbincangan. Berawal dari sapa pembuka Teja Kusuma Prasetyo serta t...