Warm

5 3 0
                                    

Rachel sudah berhasil menyelesaikan proyek esai sejarahnya. Ia diganjar nilai B, bukan A apalagi A*. Tak masalah baginya. B sudah lebih dari cukup. Ia mendengar Talulah dan Rita mendapatkan A*, sedikit dari beberapa murid. Ia juga tak heran. Yang jelas, ia sudah menyelesaikannya. Saatnya untuk berfokus pada mock exam dan exam Cambridge yang sesungguhnya. Economics, business, history, geography, belum lagi ditambah nanti ujian semester untuk perlajaran-pelajaran nasional seperti citizenship alias PPKn, agama, dan Bahasa Indonesia.

Ia sudah beberapa kali juga pergi ke ruang guru University Counselor di sekolahnya untuk mendapatkan penjelasan tentang universitas, sekolah tinggi atau college mana yang pas dengan tujuannya. Meskipun ia juga mengajukan beberapa pilihan sekolah yang dapat ditmbahkan penjelasan oleh guru-guru counselor-nya.

Mr. Milo membimbingnya dengan baik. Esai sejarahnya yang mendapatkan B itu memiliki kelemahan dalam masalah sumber. Sebagai generasi masa kini, ia mengakui bahwa Internet adalah sumber utama yang sepertinya instan. Padahal, dengan kemampuan yang baik, ia harusnya dapat menggunakannya dengan bijak. Buku, artikel jurnal ilmiah, atau sumber-sumber primer perlu lebih digali. Untung sekali bagi Rachel, pertemuannya dengan Mr. Milo membuatnya lebih akrab dengan membaca. Maka, ia meminta kepada Mr. Milo untuk membantunya kembali menulis esai yang dikerjakan kurang dari dua bulan.

Mungkin, bila tak bertemu idolanya itu, Rachel tak akan mampu meraih B di sejarah. D sudah lebih baik.

Dalam dua bulan, sebelum murid-murid libur Natal dan Tahun Baru, terjadilah kedekatan yang luar biasa antara Rachel dan Mr. Milo, hampir menggantikan kedekatan Talulah dengan Mr. Milo sebelumnya. Bahkan, Rachel masih sering bertemu Mr. Milo di luar sekolah. Di taman, dan di coffeeshop.

Tidak, mereka tidak berkencan. Tidak jarang Rachel bersama para anggota gengnya, juga beberapa teman satu kelas, berinisiatif untuk bertemu Mr. Milo di luar sekolah, membantu mereka dalam materi-materi ujian sejarah Cambridge di bulan Mei nanti. Sophia dan Vivian yang dari kelas science tentu datang untuk meramaikan dan menemani Rachel belaka.

Rachel tahu dan sadar bahwa tidak mungkin baginya senekat Silvia. Itu kurang ajar namanya. Ia juga tidak mau Mr. Milo mendapatkan resiko apapun. Mungkin isu tentang kedekatannya dengan seorang murid perempuan, atau apapun itu. Di sisi yang lain, ia juga ingin tetap bersama Mr. Milo selama mungkin.

"Jadi, sudah memutuskan mau college atau university mana?" tanya Mr. Milo. Keduanya duduk berdampingan di sebuah coffeeshop, memandang gedung-gedung di depan mereka yang dibatasi oleh jendela kaca yang lebar. Teman-temannya satu kelas, termasuk Dwi, yang sama-sama mengambil ujian Cambridge AS&A Level sejarah sedang sibuk mencoba mencari sumber-sumber terpercaya dan belajar menulis bibliography alias daftar pustaka yang benar – menggunakan format MLA atau APA – di laptop mereka masing-masing.

"Kayaknya iya, sih, Pak. Saya ambil LASALLE di Singapore deh, Pak. Awal tahun nanti sudah ikut ujian masuknya."

"Nilai subject art kamu gimana?"

Rachel mengangguk-angguk. "Fine, bagus kok, Pak. I'm confident kalau soal itu. Tapi benar kata Bapak, kalau Cuma art tanpa latar belakang kemampuan lainnya yang bagus, jadi empty nantinya. Banyangkan kemampuan saya yang diasah di geography sama history harusnya nanti jadi bekal yang bagus buat college saya. Apalagi kalau fokus ke interior design, wah, bakal pas. Terimakasih ya Pak sudah membuka pikiran saya."

"Sama-sama, Rach. Good luck nanti ya."

Rachel tersenyum. Hening. Terdengar suara ketikan teman-teman Rachel sebagai latar belakang.

"Monday kita sudah libur. Rencana liburan panjang ini kemana, Rach?"

"Tahu nggak, Pak. Saya suka Hong Kong ternyata. Pengin kesana lagi."

Mr. Milo tertawa kecil. "Sama. Saya ternyata juga suka Hong Kong. Ya udah, liburan aja nanti kesana."

"Sama Bapak? 'Kan kita sama-sama suka Hong Kong."

Mr. Milo menggaruk-garuk alisnya, kemudian menggeleng pelan. Rachel tertawa kecil.

"Hmm ... will you miss me, Pak?" tanya Rachel malu-malu. Pipinya sudah memerah, tetapi ia nekat memandang tajam ke arah guru laki-lakinya itu.

"Of course. I will miss you, miss all of your friends, miss all of my students."

"Bukan, maksud aku, miss me as an individual. Bakal kangen sama aku nggak, Pak? Soalnya aku pasti kangen Bapak?" Rachel masih menatap mata Mr. Milo yang ditempatkan sempurna di wajahnya yang tampan itu.

"Oiya? Kenapa bakal kangen saya?" tanya Mr. Milo. Ia membalas tatapan Rachel.

Rachel melihat sekeliling, tak mendapatkan siapapun memperhatikan mereka.

"Bapak ... jadi orang istimewa bagi aku. Gara-gara Bapak, aku jadi rajin baca. Nggak hanya novel, tapi semua jenis teks. Yang mana itu penting bagi aku. Bapak guru yang ramah, terus ... apa ya, warm. Enak diajak ngobrol. Terus ... terus ... hmm ... aku suka aja ada di dekat Bapak, nyaman."

Mr. Milo memandang Rachel lekat-lekat. Ia memindai helai-helai rambut lurus nan hitam Rachel yang bermain di keningnya, sepasang pipi bulat penuh yang memerah, termasuk kedua bibirnya yang bagai memanas dan memedas bagai cabai, kontras dengan kulitnya yang putih cenderung pucat tetapi tetap luar biasa indah itu. Tak lama, hanya dalam sepersekian detik, pandangan keduanya yang berserobok terkunci. Mata Mr. Milo seakan menjadi sebuah pintu yang terbuka begitu lebar dan vulgar, memberitahu Rachel apa yang ada di dalam hatinya. Hal yang sama terjadi dengan Rachel. Mata adalah jendela hati.

Mr. Milo dan Rachel sama-sama membuang muka secara mendadak. Keduanya telah ketahuan, telah sama-sama tahu.

"Damn!" ujar Mr. Milo tanpa sadar. Namun begitu kecil dan rendah sehingga hanya ia sendiri yang dapat mendengarnya.

Rachel tersenyum lebar. Ada ledakan kembang api di dalam dadanya.

Mr. Milo di sisi lain, semakin merasa berantakan. Bukan kembang api yang meledak di dalam dadanya, melainkan bom nuklir, sedikit lebih kecil dibanding yang meledak di Nagasaki atau Hiroshima.

Sungguh, ia juga merasakan perasaan aneh itu: nyaman. Jelas-jelas Rachel adalah murid perempuannya. Tapi, bukankah ia juga terbilang masih muda? Ia belum genap tiga puluh tahun. Sialan! Mengapa pikiran semacam ini kembali datang mengganggunya? Ia sudah habis-habisan mempertahankan tembok benteng ini, masak harus roboh sekali serang? Masalahnya Rachel bukan Talulah yang serius dan nekat itu. Rachel ceria, positif dan penuh semangat, lucu, selalu menjadi dirinya sendiri, dan ... cantik.

Ia menghela nafas panjang. "Liburan saya mau ke gua saja. Diam disitu terus nggak keluar-keluar," ujar Mr. Milo asal.

"Aku ikutan boleh? Bapak bisa ajari aku sejarah lukisan gua, atau aksara-aksara kuno di dalam sana."

Mr. Milo terdiam lagi. Ia menggaruk-garuk alisnya dan menggeleng-geleng pelan. Kali ini Rachel sudah melakukannya duluan, meniru dirinya.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang