16

670 38 0
                                    

Peach cemberut melihatku. Aku juga tidak menyukainya. Cara memandang seolah-olah dia paling berkuasa di dunia ini. Betapa dia sangat sombong sekali.

"Kalian berpacaran atau apa?"

"Dia hanya mengantarku."

"Aku tidak terkejut. Kau belagak suci, tetapi juga menyukai Kaigan. Kalian memang spesies menjijikkan."

"Dimana dia?"

"Lakukan saja semua yang kau bisa. Kaigan tidak akan bertahan lama dengan tubuhmu."

Karena jengah, aku memutuskan untuk menelepon Kaigan. Dia memintaku untuk datang ke rumahnya siang ini, tetapi aku malah bertemu adiknya yang menyebalkan.

"Kau terlalu bersemangat, Asian." Kaigan menuruni tangga. Lagi-lagi dia memakai kaos hitam. Jaketnya tersampir asal di bahu, memperlihatkan tato yang menempel di lengan kekarnya tersebut.

"Bisa kita berangkat sekarang?"

"Tentu saja."

"Kau lagi-lagi bermain dengan perempuan sampah."

"Jangan menganggu urusanku," hardik Kaigan.

"Ya, aku hanya mengingatkan. Dulu kau hampir gila gara-gara wanita sialan itu."

"Aku tidak akan mengalaminya lagi. Dia hanya mainanku." Kaigan merangkulku. Sejujurnya aku merasa sakit hati. Bukannya aku memiliki perasaan pada Kaigan, tetapi dia bisa mengatakannya dalam cara yang lebih halus. Bodoh, mengapa aku berpikir seperti ini. Dia memang sejak awal hanya memandangku sebagai benda mati.

Aku menyeret sebuah koper dan tas jinjing. Masih banyak pakaian yang hendak aku bawa. Bagaimanapun aku adalah tipikal perempuan yang mencemaskan bahwa realita berbeda dari apa yang direncanakan. Aku senang menyiapkan banyak sekali alat-alat untuk mengantisipasi keadaan, tetapi aku harus menahan diri. Aku tidak bisa membawa terlalu banyak barang.

"Masuklah." Kaigan mencium pipiku, lalu mengambil alih koper. Ia menyusunnya di belakang, lalu pindah ke kursi kemudi.

"Kenapa kau cemberut?"

"Adikmu menyebalkan sekali."

Kaigan memasangkan seatbelt untukku. Lagi-lagi dia mencuri ciuman. Memasukkan lidahnya lebih dalam dan meremas pinganggku.

"Kau cantik sekali."

"Apa riasanku terlalu banyak?"

"Bukankah perempuan seperti itu? Memakai banyak riasan palsu agar terlihat lebih cantik."

"Salahkan kalian laki-laki yang selalu menilai perempuan dari penampilannya saja. Kami harus repot-repot begini untuk kalian."

"Maksudmu, kau memakai riasan untukku?"

"Tentu saja tidak."

Kaigan menatapku serius. "Kau cantik, Richard. Dengan atau tanpa riasan. Kau benar-benar terlihat cantik dan menyenangkan."

"Kau memang berbakat dalam hal seperti ini." Aku memandang ke jalan. Bagaimanapun kebenarannya, kalimat manis Kaigan berhasil membuat jantungku berdegup keras.

Kaigan menjalankan mobil. Suasananya sedikit canggung dan aku masih terlalu kesal pada Peach.

"Apa Walter tidak keberatan kau berangkat bersamaku?"

"Tentu saja tidak. Kami hanya teman." Hugo tidak ada di sana ketika aku bangun. Begitupula dengan Jean. Meskipun begitu aku sudah mengirimkan pesan, tetapi belum ada yang membalas sama sekali. Tampaknya Hugo masih marah, sedangkan Jean tidak peduli sekalipun aku pergi bersama mafia.

Desire |18+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang