Malam sudah sangat larut. Bangunan empat lantai ini sudah sepi, tinggal beberapa orang salah satunya adalah Winda. Rapat rutin akhir tahun yang belakangan terus dilakukan membuat Winda mau tak mau sebagai office girl harus ikut melemburkan diri. Tidak apa, hitung-hitung sebagai tambahan biaya persalinannya.
Bicara soal persalinan membuat perut Winda tambah mulas. Tadi pagi perempuan itu sudah pergi ke bidan dan ternyata Winda sudah pembukaan dua. Tapi Winda memilih untuk tetap masuk kerja. Keadaan ekonomi membuat perempuan itu harus tetap bekerja meski sewaktu-waktu bisa saja anaknya akan lahir.
Winda tidak tahu sudah pembukaan berapa dirinya sekarang. Berkali-kali hamil dan melahirkan membuat Winda terbiasa dan cukup baik mengontrol diri. Rasa mulas akibat kontraksi bisa Winda tahan dan melakukan pekerjaannya seperti biasa.
Winda bernafas lega saat tugasnya hampir selesai. Ruang meeting yang baru saja dipakai sudah kembali bersih, tandanya Winda sudah boleh pulang setelah ini.
"Win," pria berusia hampir kepala empat muncul dari balik pintu. Pak Rudi, bos Winda. "Tolong bikinin kopi ya. Anterin ke ruangan saya sekalian saya kasih bonus kamu."
Mendengar kata bonus mata Winda berbinar. Refleks ia mengelus perutnya sendiri, berteriak girang dalam hati mengatakan bahwa ini adalah rejeki dari bayi yang sedang ia kandung.
"Baik, Pak."
Melangkah dengan pelan dan hati-hati Winda berjalan ke dapur yang berada di lantai satu. Dengan keadaan hamil besar, kontraksi, dan pembukaan yang sepertinya sudah besar menuruni tangga berjumlah banyak bukan hal yang mudah. Kontraksi Winda semakin menjadi di setiap langkahnya. Kewanitaan Winda terasa nyeri karena gaya gravitasi membuat kepala anaknya yang sudah turun semakin mendesak ke bawah.
"Sabar ya, nak. Sebentar lagi Ibu lahirin kamu. Nanti kamu ketemu juga sama Bapak sama kakak kakak."
Selesai membuat kopi Winda harus kembali naik ke lantai empat untuk mengantarkan kopinya. Menaiki tangga lebih sulit daripada menuruninya. Perutnya Winda yang berisi bayi berbobot besar itu memberatkan langkah Winda. Rasanya kepala bayinya semakin turun dan lebih mendesak kewanitaannya. Kontraksinya semakin terasa ganas di setiap pijakan Winda.
Winda bersandar pada tembok sejenak saat akhirnya sampai di lantai atas. Setelah ini ia masih harus menuruni tangga lagi. Sepertinya Winda bisa langsung melahirkan begitu sampai di bidan nanti.
Winda mengetuk pintu ruangan Pak Rudi.
"Masuk."
Winda masuk dan menaruh kopi di meja kerja Pak Rudi. "Bonus kamu saja siapin dulu, kamu duduk dulu Win."
Winda menurut kemudian mendudukkan diri. Winda duduk dengan tidak nyaman. Kakinya sedikit mengangkang, perutnya yang lonjong ke bawah membutuhkan ruang lebih.
"Win," Pak Rudi muncul. "Kamu mau bonus tambahan lagi? Jadi dua kali lipat?"
"Memangnya bisa, Pak?"
"Bisa dong."
"Gimana Pak caranya?"
Pak Rudi tidak langsung menjawab. Pria itu berjalan mendekat ke arah Winda. "Gampang," Pak Rudi semakin dekat hingga jaraknya dengan Winda tinggal beberapa centi. "Kamu saya pake malem ini Win,"
"Maksut Bapak?" Winda masih tidak paham.
"Ya saya pake. Masa kamu nggak ngerti. Kamu puasin saya."
"Yang bener aja pak? Saya lagi hamil gini bapak nggak lihat."
Pak Rudi tertawa. "Justru itu. Saya suka sama yang lagi hamil gini Win."
"Bapak jangan gila!" Winda bangkit. Berniat melarikan diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
birth collection
Romancecollection of birth short stories ⚠️🔞 pregnant and birth kink minors please dont interact