Tidak ada satu pun di antara kami yang menyangka bahwa sesuatu akan menghantam mobil. Riu berusaha mempertahankan keseimbangan. Mobil sedikit oleng, lantas kemudian hantaman demi hantaman tiba dengan kecepatan kilat. Aku berusaha berpegangan, jemari mencengkeram sabuk pengaman, dan memastikan tubuh tidak terpelanting.
Kaca mobil mulai retak. Pada mulanya hanya berupa titik-titik kecil. Namun, perlahan titik itu menyebar dengan cepat. Mobil terombang-ambing, Riu berusaha mempertahankan kendali. Aku tidak sempat bereaksi ketika semua kaca di mobil pecah. Tidak ada suara ledakan. Sama sekali tidak ada peringatan. Hanya bunyi kaca pecah yang membuat telingaku berdenging. Beberapa pecahan kaca menggores wajah dan kulit. Perih.
“Cepat meringkuk!”
Perintah Riu muncul. Aku tidak yakin bisa meringkuk, terlebih sabuk pengaman yang membelit tubuhku. Mobil sepertinya berputar dan hantaman pun tidak terelakkan.
[Nak, sadar!]
Perlahan aku membuka mata. Kupikir aku pasti tidak sanggup bertahan karena guncangan. Kepala sedikit pening. Namun, itu tidak bertahan lama.
[Cepat keluar!]
Pening melanda. Mataku perih. Seluruh tubuh rasanya sakit bukan main seolah seribu kerbau hutan baru saja menyeruduk diriku tanpa ampun. Kulirik kursi pengemudi, mencari keberadaan Riu. Sama sepertiku, ia terlihat kacau. Hanya saja kacau versinya jauh lebih baik daripada diriku.
Dengan mudah Riu melepaskan diri dari belitan sabuk pengaman. Dia menendang pintu, sangat kuat, hingga ronsokan itu lepas dari engsel. “Cepat,” katanya memberi komando.
Aku pun membuat belati dari es. Kupotong sabuk pengaman hingga putus. Lalu, dengan gerakan sedikit tersaruk karena lutut membentur sana dan sini, aku berusaha keluar melalui pintu yang sudah dibuka oleh Riu. Keluar melalui pintu terdekat sangat mustahil. Kunci macet dan aku tidak punya tenaga sebesar milik Riu. Memanfaatkan es sesuka hatiku tidak baik. Aku tidak tahu gerangan apa yang tengah menimpa kami. Sebaiknya berhati-hati.
Aroma plastik terbakar dan bensin menghantam indra penciuman. Saat aku berhasil keluar dari mobil, kudapati sekelilingku sama berantakannya dengan kendaraan yang kami tumpangi. Mobil terbakar, teriakan orang minta tolong, toko yang dilahap si jago merah, asap mengepul berwarna hitam pekat, tangisan anak kecil dan wanita, jerit teror tiada akhir.
Ketegangan dan serangan horor berhasil membuat lututku gemetar. Andai tidak ada Riu yang membantuku berdiri, barangkali aku akan jatuh berlutut. Menyaksikan kematian dan tragedi orang lain tidak pernah berdampak baik untukku. Sampai kapan pun aku tidak sanggup menghadapi teror semacam ini.
“Seseorang mengincar kita,” desis Riu. Kulihat kilatan kemarahan menari di kedua matanya. Listrik berdesis di udara. Pertanda bahwa Riu tidak keberatan menghabisi siapa pun yang bertanggung jawab atas insiden ini.
Belum sempat kami bernapas lega, sesuatu menghantam dengan kecepatan kilat. Riu-lah yang pertama kali bereaksi. Dia menghalangi bola-bola api yang mengarah kepada kami ... mengarah kepadaku.
Suara ledakan memekakkan telinga. Amat nyaring hingga membuat orang yang ada di sekitar pun panik. Mereka kabur ke mana pun, ke tempat yang dirasa aman. Tidak ada satu pun yang berdiam diri.
Bola-bola api berjatuhan bagaikan meteor mungil yang hendak membinasakan umat manusia. Sebagian bola api mengincar orang-orang. Aku menepis beberapa dengan tembakan es, membuat bola api berdesis dan berubah menjadi uap tipis.
Kalaupun pertempuran sengit ini mengajarkan sesuatu kepadaku, maka itu satu: bola-bola api terbesar mengincar diriku. Seseorang mengharapkan diriku tertimpa musibah.
Aku tidak suka berhadapan dengan musuh jenis ini! Siapa lagi yang ingin diriku sekarat?
Kupusatkan seluruh energi dan menciptakan panah es dalam jumlah lumayan banyak. Kutembakkan setiap panah es menuju titik yang menurutku merupakan tempat persembunyian musuh. Setiap kali panas es mendarat entah di pohon maupun tanah, maka es tipis akan menyelimuti permukaan benda tersebut. Aku menembak dengan semangat gila. Tidak peduli apakah musuhku vampir maupun manusia sinting. Pokoknya mereka harus merasakan amarah milikku. Tidak mau tahu!
Kilat, es, dan api. Sungguh pemandangan janggal sekaligus mengerikan. Putih memperingatkan diriku agar tidak gegabah, tapi kemarahan dalam diriku telanjur mengelegak dan sulit dipadamkan oleh apa pun.
“Di sana!” teriak Riu. Dia berlari sembari mencambukkan petir dan halilintar berwarna biru. Dia melesat melewati dua mobil yang terbakar, lurus menuju ... dia melompat, menghajar sesuatu yang ada di atap salah satu toko.
Belum sempat Riu mendarat di atap, sesuatu menerjang dari arah samping. Kali ini panah api. Aku dengan sigap menghajar panah api dengan panah es mililikku, memberi ruang dan kesempatan bagi Riu melancarkan serangan.
Riu dengan mudah melecutkan petir dan menghajar sasaran. Kupikir serangan dahsyat semacam itu cukup ampuh menumbangkan seseorang. Namun, sosok itu ternyata sangat kuat. Dia berhasil menghindar, membiarkan Riu menghajar atap sampai remuk.
Sosok berbalut lidah api berwarna jingga mendarat di jalan. Dia ... gadis itu terlihat seperti jelmaan dewi api. Lidah api menyelimuti kaki dan kedua tangan. Api itu tidak membakar dirinya. Seolah api merupakan bagian dari dirinya.
[Burung tengik itu ada di sini!]
Burung? Apa maksud omongan Putih?
Sosok itu membuat panah api, menembakkannya kepada Riu. Debum, ledakan, teriakan. Semua jadi satu. Aku bahkan tidak peduli andaipun ada orang yang menonton pertunjukkan fantasi ini. Jantungku telanjur berdebar kencang dan rasanya bisa melesat naik ke tenggorokkan.
Aku mengerahkan kekuatan, membuat dinding es di sekeliling gadis api. Namun, sia-sia. Dinding es milikku dihancurkan olehnya dengan mudah.
Setelah dinding es hancur, Riu menembakkan petir. Gadis itu menghindari serangan Riu. Sepertinya petir milik Riu hanya berhasil menyentuh ujung sepatu milik si gadis. Benar-benar payah!
Gadis api itu melesat, berlari ke arahku. Sembari berlari dia menembakkan api melalui kedua tangannya. Seperti tengah melakukan sulap, ia lemparkan bola-bola itu kepadaku.
“Sialan!” makiku sembari membentengi diri dengan dinding es. Semua dinding hancur. Api memakan es. Atau....
[Kamu payah sekali, Nak!]
Oke, aku yang payah. Ini tidak adil! Aku baru saja belajar menguasai kekuatan, tapi seseorang ... kelas elite berusaha menghajarku. Apa ini tidak seperti level C melawan level S? Mana bisa?!
Aku butuh kunci berbuat curang!
Lekas kubekukan semua pijakan yang akan dipakai si gadis. Bukan sekadar membekukan, melainkan membuat permukaan es menjadi berduri seolah siapa pun yang ada di sana tengah menyaksikan padang es tajam.
“Kata siapa neraka itu beku?” tanyaku, sombong. “Ada neraka sedingin es.”
Sesuai perkiraanku, gadis itu kesulitan mempertahankan diri. Apalagi Riu pun ikut menolongku menyerang musuh dengan menggunakan kilat dan petir.
[Dia tidak bisa ditumbangkan dengan mudah. Ada burung api!]
Burung api? Aku tidak suka arah pembicaraan ini! Aku sangat tidak suka dengan pikiranku sendiri!
***
Selesai ditulis pada 8 Maret 2024.***
Huhuhuhu senang bisa update episode terbaru! Yeiy!
KAMU SEDANG MEMBACA
ALL OF THEM WANT TO KILL HER (Tamat)
FantasyKenapa sih orang-orang tertarik isekai ke novel, film, komik, atau dimensi mana pun? Seolah pindah dunia itu semudah pindah kontrakan yang kalau tidak cocok bisa mengajukan keluhan ke empunya indekos. Berharap bisa disukai oleh semua tokoh ganteng d...