Chapter selanjutnya, nunggu rameee
"Terima kasih banyak, Mbak. Aku sudah ngerepotin banget, nih."
Naina tengah berbicara dengan seseorang di sambungan telepon. Memenuhi keinginan Amalia untuk ikut ke Jakarta membuatnya harus mengambil keputusan—tinggal di Jakarta. Awalnya, dipikirnya pengobatan tak akan memakan waktu lama, jadi ia bisa menitipkan Aluna pada Bulik Yem selama dirinya tak ada. Namun, anaknya menolak.
"Opo seh. Jangan begitu, Nai. Selama aku bisa, pasti tak bantu. Nanti dokumen kepindahan Aluna tak titipin Bulik Yem, ya."
Dita—lah yang Naina percaya untuk mengurus semua urusan kepindahan sekolah Aluna ke Jakarta. Waktunya begitu mepet. Bahkan, urusan pemesanan kue pun terpaksa diberhentikan. Naina meminta Bulik Yem ke Jakarta untuk membantunya.
"Sekali lagi terima kasih. Mbak sudah banyak bantu aku selama di sana," ucap Naina.
"Yowes, sama-sama. Padahal aku ya senang banget bisa bantu kamu. Keadaan Ibu piye, Nai?"
"Alhamdulillah Mama sudah jauh lebih baik, Mbak. Sekarang kondisi jantung Mama yang sedang dalam pemantauan karena sempat kena serangan jantung," jawab Naina. "Mama juga sudah mulai pelan-pelan belajar jalan."
"Alhamdulillah. Aku ikut senang dengarnya. Semoga Ibu lekas pulih, ya. Nanti kalau sudah ada waktunya, aku main ke Jakarta. Ehm, Nai—" ujar Dita yang seketika tertahan selama beberapa detik. "Proses perceraian masih terus jalan, kan?"
Naina terdiam.
"Nai?" tegur Dita pelan. "Kok diam?"
"Jadi, Mbak. Tinggal tunggu panggilan sidangnya aja. Bantu doanya ya, Mbak. Doakan semua prosesnya lancar dan selesai dengan baik," jawab Naina. "Mbak, nanti kita sambung lagi. Dokternya mau visite."
"Iya, Nai. Salam untuk Ibu dan Luna, ya."
Bhumi memegang ucapannya. Sebelum jadwalnya dimulai, ia selalu datang demi memastikan kondisi sang Mama baik-baik saja. Di sela waktu istirahat pun laki-laki itu akan kembali hanya sekadar memeriksa isi piring berkurang dan obat yang harus Amalia minum.
"Sudah bosan di rumah sakit ya, Bu?" tanya Dokter Irawan—dokter senior yang merawat Amalia. Dokter dengan rambut hampir seluruhnya putih itu tersenyum melihat respons Amalia yang mengangguk. "Kondisinya sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Tapi, jantungnya masih harus dipantau. Kalau nanti sewaktu-waktu merasa sakit di dada kiri, segera ke rumah sakit."
"Kapan boleh pulangnya, Mas?" tanya Amalia.
"Baru dua minggu, lho. Kamu sama sekali nggak berubah," sahut Dokter Irawan yang disertai tawa renyah. "Aku belum kasih tau Hanum kalau sekarang kamu sudah kembali ke Jakarta. Dia pasti senang banget."
"Sudah lama ya, Mas," sahut Amalia.
"Sangat. Kami sama sekali nggak dapat kabar dari kamu," ucap Dokter Irawan. "Oh, iya. Kamu sudah boleh pulang hari ini."
Naina dan Aluna yang duduk di dekat Amalia bahagia mendengar kabar ini. Akhirnya mereka bisa meninggalkan rumah sakit. Dua minggu sudah mereka tinggal di sini.
"Kita pulang ke mana, Bunda?" tanya Aluna polos. "Pulang ke Malang?"
"Nggak, Sayang." Naina menatap sang putri teduh. "Kita kan sudah cari sekolah untuk Luna. Jadi, Luna sekolah di Jakarta dulu. Uti masih harus bolak-balik pengobatan di rumah sakit."
"Kamu balik ke rumah Bogor?" tanya Dokter Irawan pada Amalia.
"Nggak, Om," serobot Bhumi. "Mama tinggal di rumahku. Rumah Bogor terlalu jauh dari sini. Aku pindahkan Mama ke sini supaya aku bisa memantau Mama."