“Ketika melihat wajahmu hatiku berdenyut merdu. Namun hanya mimpi yang mampu membuatku merasakan hal itu.”
-
Ferani mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Pertama yang ia lihat hanya ada sinar matahari yang menerpa wajahnya. Ia menguap sebentar lalu meraba-raba tubuhnya. Huftt aman.
“Gue dimana?” tanya Ferani kepada dirinya sendiri. Ia melihat banyak buku-buku di meja belajar, serta lemari yang dipenuhi dengan berbagai piala olimpiade. Di sampingnya ada sebuah bingkai foto yang membuatnya membekap mulutnya tak percaya.
“Gio? Kok ada foto Gio disini?” tanya Ferani, mendekati bingkai foto tersebut.
“Giovani? Anak kelas sepuluh jurusan IPA C. Dia anggota OSIS, lo kenal?” Genan menyilangkan kedua tangannya di dapan dada memperhatikan jari lentik Ferani yang menyentuh bingkai foto bersama dirinya dan anggota OSIS yang lainnya.
“Lo?!” kaget Ferani mengetahui ada seseorang yang memperlihatkannya dibalik pintu.
Genan duduk di atas ranjangnya, lalu menatap Ferani bingung. “Lo kenapa kaget gitu sih. Biasa aja kali, gue 'kan manusia, bukan setan.”
Ferani menggeleng-gelengkan kepalanya, cepat. “Gue nggak tau lo siapa.”
“Lah, apalagi gue,” ketus Genan membuat Ferani mendengus sebal. Namun ia ingat sesuatu.
“Lo yang nolongin gue semalem?” tanya Ferani penuh kehati-hatian.
“Heem.”
“Thanks.”
“You are welcome.” Jawabnya singkat.
Ferani berjalan ke arah kaca besar yang berapa di dalam kamar itu. Memperhatikan tubuhnya yang acak-acakan serta piyama tidur yang masih melekat di dalam tubuhnya
“Lo ngobatin gue?” tanya Ferani ketika melihat keningnya yang terluka. Mengapa ia baru sadar?
Genan menggelengkan kepalanya. “Bukan gue, tapi Mamah.”
“Mamah? Nyokap lo?” jelas Ferani yang di angguki oleh laki-laki itu.
Ferani memperhatikan sekitar. Ia cukup kagum dengan kamar milik Genan yang bernuansa modern, serta background klasik. “Oh iya, nama lo siapa?”
“Genan.”
“Ck yang lengkap dong,” ujar Ferani mengerucutkan bibirnya sebal.
Genan terkekeh geli, melihat ekspresi Ferani yang terlihat seperti anak kecil. Ia pun membuka laci di dekat ranjangnya, lalu memberikan kartu pelajar miliknya kepada Ferani.
“Genan Fatnon Falues. Kelas 12 IPA A. Menjabat sebagai ketua OSIS di SMA WYATA DHARMA. Woy! Kita satu sekolahan rupanya!” seru Ferani membuat Genan menggelengkan kepalanya, lucu. batinnya
Ferani duduk di sebelah Genan membuat laki-laki itu tersentak, kaget. “Gue Ferani Syahila. Emmm gue kelas sepuluh, berarti gue panggil lo Kakak dong?”
“Terserah,” ketus Genan membuat Ferani menghela napas, jengah.
“Ok—.”
“GENAN! TURUN DULU MAMAH UDAH MASAKIN KAMU SAYUR SUP!” teriakan Sania membuat ucapan Ferani terpotong begitu saja.
“Nah, tuh suara Mamah gue. Turun, yuk.” Ajakan Genan membuat Ferani menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Gue belum mandi. Malu,” cicit Ferani membuat Genan hampir meledakkan tawanya.
“kita nggak bakalan ngebully, lo. Ayok!”
Dengan amat terpaksa Ferani mengikuti langkah kaki Genan yang menyeretnya ke arah dapur. Ia sedikit tidak enak di hadapan orang tua Genan yang sudah siap di meja makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gelombang Rasa [SELESAI]
Подростковая литература14/01/23. Hidup dalam rengkuhan badai diselimuti ombak mengerikan bukanlah keinginannya, namun itu sebuah takdir yang Tuhan tetapkan untuk Ferani. Bagaimana rasanya jika mempunyai kakak yang sama sekali tidak menganggap Adiknya ada? Sakit? Tentu. Da...