15. Atensi Yang Berbeda

167 11 0
                                    

“Kata lelah hanya tercipta untuk orang yang lemah, maka dari pada itu jadilah manusia yang kuat. Jadikan yang lemah untuk bangkit, menjemput kata pantang menyerah.”

-

Genan menyuruh Ferani untuk duduk di ruang tamu. Mereka baru saja sampai ke rumah, dan langsung di sambut hangat oleh Sania. Ferani memeluk wanita paruh baya itu dengan pelukan hangatnya.

“Sayang! Mamah kangen banget sama kamu. Gimana kabar kamu sekarang? Baik? Mamah tuh udah dari kemaren nungguin kamu. Tau nggak, Mamah ... lagi ngidam bau badan kamu!” seru Sania membuat Ferani terbelalak.

“M-mamah hamil?” tanya Ferani dengan ragu.”

Sania tersenyum tipis. “Hehe, iya sayang. Kemaren Mamah mual-mual, kirain masuk angin. Eh pas udah cek ke dokter, ternyata Mamah positif.”

“Waahhh selamat!” Ferani kembali memeluk tubuh Sania, mengelus-elus perut rata wanita paruh baya tersebut.

Genan berdecak sebal. Beginilah kalau Sania sudah mencapai kemauannya, ia akan lupa dengan anaknya sendiri. Bahkan Genan belum mendapatkan pelukan hangat Mamahnya.

“Mamah! Kok Ferani doang yang dipeluk. Mana lama lagi, Genan kapan?” rengek Genan membuat Ferani terkekeh, geli.

Sania menepis tangan Genan yang ingin memeluknya. “Hus, kamu ini. Mamah kan mau nyium bau badan Ferani, bukan bau badan kamu. Malahan Mamah sebel liat muka kamu, udah sana mandi. Ferani biar sama Mamah aja disini.”

Genan melongo mendengar perkataan Sania yang secara tidak langsung telah mengusirnya, walaupun dengan cara halus. Laki-laki itu menghentak-hentakan kedua kakinya, seperti anak kecil yang tidak dibelikan mainan.

“Ck, Mamah ngeselin! Lo juga cil, belom lahir belum apa. Udah buat gue kesel,” ucap Genan menunjuk-nunjuk perut Mamahnya.

Sania melotot mendengar ungkapan Genan barusan. “Apa kamu bilang?!”

“E-euh ... E-engga Mah, engga. Hehe ...”

Genan berlari secepat kilat menaiki tangga menuju ke kamarnya. Menghindari amukan Sania yang saat ini sedang mengandung adiknya.

Setelah melihat anak pertamanya berlari kocar-kacir seperti itu, Sania tertawa renyah. Menarik tangan Ferani untuk duduk bersamanya.

“Gimana tadi sekolahnya? Lancar?” tanya Sania memainkan rambut Ferani yang sedikit berantakan.

Ferani menggigit bibir bawahnya, gugup. Sentuhan Sania mengingatkan dirinya kepada Mamahnya, Naima. Yang kini sedang bekerja di luar kota. Ia sudah lama tidak diperlukan semanja ini oleh Mamahnya.

“L-lancar, kok. Mah.”

Sania menganggukkan kepalanya, tersenyum manis ke arah Ferani. “Mamah punya sesuatu buat kamu.”

Sania mengeluarkan sebuah kalung cantik dari saku celananya. “Ini pemberian dari almarhum Nene. Dulu Mamah ingin memberikannya kepada Adik Genan, Agnes. Tapi Tuhan berkata lain. Agnes meninggalkan kami semua, dan setelah melihat kamu. Mamah jadi keinget anak Mamah, Agnes Monica Falues.”

Deg!

Jantung Ferani berdetak lebih kencang dari biasanya. Ia seperti tidak asing dengan nama tersebut.

“Tolong kamu pakai kalung ini, dan jaga dengan baik-baik.” Sania memakaikan kalung berbentuk ekor duyung di jenjang leher Ferani.

Sania tersenyum manis melihat Ferani yang kini diam membungkam, entah memikirkan apa. Yang Sania ketahui, Ferani menyukai barang pemberian darinya.

“Cantik.”

***

Malam pun tiba, Ferani di antar pulang oleh Genan sampai ke halaman rumahnya dengan kendaraannya masing-masing.

“Makasih, atas waktunya dari sore sampai malam,” ujar Genan memperhatikan Ferani yang kini turun dari sepedanya.

Gadis itu tersenyum, ramah. “Iya kak. Makasih juga udah nganterin.”

“Oke ... Kalo gitu, gue pulang,” ujar Genan berpamitan.

“Iya, kak. Hati-hati.”

Ferani menganggukkan kepalanya, tersenyum manis ke arah Genan. Setelah laki-laki itu sudah menjauh dari halaman rumahnya, ia pun mengunci gerbang. Menaruh sepedanya ke bagasi, dan langsung masuk ke dalam rumahnya.

Prok

Prok

“Bagus ya lo, seenaknya main diluar sampe malem kayak gini. Gue penasaran deh sama reaksi Mamah, kalau anak perawannya udah berani main sama cowok sampe larut malam.” Sambutan menegangkan muncul dari mulut Vegalta.

Laki-laki itu berjalan mendekati Ferani yang terlihat gelisah. Entah kenapa, ia merasa ada yang berbeda dari auranya saat ini.

“Gue habis dari rumah Kak Genan. Ketemu Mamahnya,” ucap Ferani jujur.

“Gue nggak peduli,” ketus Vegalta bersedekap dada.

Ferani menghela napas, jengah. “Ya udah, gue cape, kak. Mau istirahat!”

“Tunggu!” sentak Vegalta saat Ferani berhasil melewati tubuhnya.

“Lo kemarin pulang sore, sekarang larut malam. Kemana aja selain ke rumah si bajingan Genan?” tanya Vegalta penasaran. Namun laki-laki itu bertanya tanpa ekspresi, membuat Ferani kebingungan menjawabnya.

“Yang pertama kak Genan bukan bajingan! Yang kedua gue ikutan OSIS. Nanti juga gue kasih surat izin orang tua biar Mamah sama Papah tau, kalau gue pulang sore itu ikutan kumpulan OSIS.” Setelah mengatakan itu Ferani melanjutkan langkahnya.

Namun lagi-lagi Vegalta kembali bersuara, membuat langkahnya berhenti. “Keluar dari OSIS! Gue nggak suka lihat lo sama dia.”

Ferani mengernyitkan keningnya, kebingungan. “Kenapa?”

“Nggak usah ngebantah. Gue nggak suka lo ikut-ikutan pansos di sekolah.” Vegalta duduk di sofa, menyalakan televisi dengan volume suara rendah.

Ferani tidak menjawab ucapan Vegalta. Gadis itu segera berlari ke kamarnya untuk membersihkan diri, dan lanjut beristirahat.

Namun setelah semuanya selesai, ia masih tidak bisa tidur dengan nyenyak. Pikirannya saat ini sedang kacau, akan tetapi ia ingat sesuatu. Sesuatu yang membuat jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya.

Agnes Monica. Nama itu kayak nggak asing lagi buat gue. Tapi siapa? tanya Ferani di dalam hati.

23:01:23

Gelombang Rasa [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang