17. Rintik Hujan

160 9 0
                                    

“Ini bukan tentang kita. Namun Tetang hujan yang terluka menghadapi kerasnya alam semesta.”

-

Sepulang sekolah Ferani merasa tidak tenang. Pikirannya terus berputar, bukan memikirkan banyaknya pelajaran yang menumpuk. Namun memikirkan sesuatu yang membuat dirinya beraktivitas tak menentu.

Kini dirinya berada di pinggir jalan. Tiba-tiba saja sepedanya kempes, membuat Ferani yang mengayuh sepedanya oleng, hampir terjatuh.

Gadis itu menendang ban sepeda miliknya. “Kenapa sih lo selalu kempes! Selalu aja gini, nyusahin gue tau!”

Ferani menghela napas panjang, mendorong sepedanya dengan wajah memerah, menahan emosi. Ia menatap langit yang mulai mendung, pertanda akan turunnya hujan.

Satu persatu air hujan turun membasahi puncak kepala Ferani. Gadis itu menggerutu dalam hati. “Sial! Sial! Sial!”

Sekujur tubuhnya sudah basah kuyup. Gadis itu lari mencari tempat untuk berteduh. Tatapannya menangkap sebuah kedai kopi yang kunjungi banyak orang. Mungkin saja orang-orang tersebut pun ikut berteduh disana.

Hujan turun dengan lebatnya, membuat sekujur tubuh Ferani bergetar, kedinginan. Tanpa sadar sebuah benda menyelimuti punggungnya, gadis itu mematung di tempat.

“Hangat 'kan? Pake aja. Gue tau lo kedinginan.”

Ferani membalikkan badannya. Menatap seseorang yang berada di belakangnya, terkejut. “Kak Genan?”

Yap. Seseorang yang memberikan jaket untuk menghangatkan tubuh Ferani adalah Genan. Laki-laki itu menyuruput kopinya dengan santai.

“Santai aja liat gue nya, kayak habis liat setan aja. Sampe melotot gitu,” ucapnya terkekeh kecil.

Ferani tersenyum, kaku. Gadis itu menatap jalanan serta hujan yang membasahinya. “Lo udah lama neduh disini?”

“Belum lama sih, 'kan hujannya baru turun.” Genan melirik Ferani yang memegangi sepedanya.

“Sepeda lo simpen aja kali, nggak usah di pegang gitu. Nggak bakalan ilang, kok.”

Menoleh ke belakang. Ferani tersenyum salah tingkah menyadari dirinya masih memegangi sepedanya. “Gue lupa.”

“Kebiasaan, cewek.” Genan menggeleng-gelengkan kepalanya seraya terkekeh, gemas.

Keduanya sama-sama duduk di kursi panjang yang sama. Genan menoleh ke arah Ferani, begitupun Ferani yang menoleh ke arahnya. Menyadari tatapannya semakin lama semakin berbeda. Ferani memutuskannya secara sepihak.

“Tadi siang. Lo kenapa?” tanya Genan penasaran.

Ferani menggeleng-gelengkan kepalanya. “Gue, nggak papa.”

“Nggak papa, pasti ada apa-apa. Jujur aja kenapa sih? Lagian dari gerak-gerik lo juga udah keliatan. Lo nyembunyiin sesuatu.”

Ferani terdiam membisu. Gadis itu membuang wajahnya ke arah lain, menghindari tatapan Genan yang mencari kebohongan dari mata teduhnya.

Gimana gue bisa jujur ke lo, kak. Kalo objek dari kegalauan gue itu, lo sendiri. Batin Ferani.

“Gue serius, nggak papa. Cuma emang akhir-akhir ini gue sering badmood aja.” Setelah mendengar jawaban singkat dari Ferani. Genan menganggukkan kepalanya, mengiyakan.

Tanpa disadari oleh keduanya, Vegalta menatap keduanya dengan kedua tangan mengepal, menahan amarah.

Di bawah derasnya air hujan, Vegalta berlari ke arah kedai kopi. Menghampiri Ferani dan Genan yang terlihat kaget melihatnya.

“Fer, pulang!” sentak Vegalta mencengkram erat tangan kanan Ferani.

Genan yang melihat perlakuan kasar Vegalta, menepis tangannya. Menatap mata tajam lelaki itu dengan tatapannya yang tak kalah tajam nan menusuk.

“Lo santai aja, boy. Nggak usah kasar gitu pake sama cewek,” ucap Genan meraih pergelangan tangan Ferani.

Vegalta menarik kembali tangan Ferani agar ikut dengannya. “Ini urusan gue sama dia, lo nggak usah ikut campur!”

“Kak! Apa-apaan sih!” Ferani menepis tangan Vegalta tidak terima

Genan yang melihat interaksi tersebut pun mengernyitkan dahinya ke arah Vegalta, menantang. Membalas ucapan Vegalta sebelum Ferani melontarkan ucapannya.

“Gue nggak ikut campur urusan kalian. Tapi apa yang lo lakuin itu ngebuat Ferani takut. Lo lihat, tangan dia sampe merah, kayak gitu.”

Vegalta seakan tidak peduli. Laki-laki itu menarik tangan Ferani secara paksa, membuat gadis itu pasrah akan perlakuan Vegalta kepadanya.

Beruntung hujan mulai reda, Vegalta menyuruh Ferani untuk menaiki jok motornya. “Naik!”

“Gue bawa sepeda, kak.” Ferani memundurkan tubuhnya, memegangi sepedanya yang basah akibat air hujan.

Vegalta menatap sepeda Ferani dengan tatapan sinisnya. “Ban nya kempes, biarin aja disitu. Nanti gue suruh Hinton bawain sepedanya ke rumah.”

Ferani menghela napas gusar. Melirik ke arah Genan yang kini terdiam membisu. “Kak, Gen. Gue duluan.”

“Oke ... Hati-hati.”

Ferani sudah berada di jok motor Vegalta, bersiap untuk pulang. Akan tetapi Vegalta belum menghidupkan mesin motornya. “Kenapa lagi, kak?!”

“Buka jaketnya, balikin!” titah Vegalta menyadari Ferani memakai jaket hitam milik Genan.

“Nggak usah, pake aja. Nanti lo kedinginan,” ucap Genan membuat tangan Vegalta mengepal kuat di genggaman stang motor.

“Kembaliin Ferani!”

Mendengar ucapan halus dari Vegalta membuat bulu kuduknya merinding. Dengan cepat Ferani membuka jaketnya, lalu menyerahkannya kepada sang pemilik.

“Ini, Kak. Makasih udah minjemin, maaf jaketnya basah karena badan gue yang tadinya basah kuyup,” ucap Ferani tidak enak hati.

“Nggak papa, kok, Fer. Padahal masih dingin, loh.” Genan melirik Vegalta. “Lo juga, Vegalta. Ngertiin kondisi dia, kek. Cuaca dingin gini lo suruh buka jaketnya. Ck, nggak ngotak!”

“U-udah kak, nggak papa hehe ...”

Vegalta tersenyum sinis dibalik helm full face nya. Menancapkan gas, meninggalkan kedai kopi tersebut. Genan meremas sebuah jaket yang berada di genggaman tangannya.

Sedeket apa sih mereka berdua? Kok gue kayak ngerasa Vegalta khawatir banget liat gue sama Ferani? Apa dia cemburu, ya?

24:01:23

Gelombang Rasa [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang