"Bukannya tidak ingin terikat, apalagi mengikat. Akan tetapi hubungan kita memang tidak terlalu dekat."
-
"Kak Vegal!" Ferani tersentak kaget melihat kehadiran kakaknya yang sudah berada di hadapannya. Laki-laki itu bersedekap dada seraya menyandarkan kepalanya, di ambang pintu kamar.
Gadis itu mengelus dada, merapikan segaram sekolahnya yang belum memakai dasi. Gadis itu membenarkan letak dasinya, lalu berjalan mendekati pintu kamarnya.
"Kak Vegalta ngapain disini? Biasanya udah di meja makan." Ferani memperhatikan gerak-gerik kakaknya yang kini menatapnya dengan tatapan lurus ke depan.
"Lo berangkat bareng gue," ucap Vegalta menarik pergelangan tangan Ferani, berjalan menuruni tangga bersamaan.
"Eh—"
Kini mereka sudah sampai di meja makan. Naima mengecek suhu tubuh Ferani sebelum bertanya. "Udah mendingan, Fer?"
Ferani menganggukkan kepalanya, pertanda dirinya saat ini tengah baik-baik saja. "Semalem masih gatel-gatel. Tapi tadi subuh udah nggak, Mah."
"Alhamdulillah. Kalau masih sakit mending kamu izin dulu, takutnya alergi kamu kambuh lagi," ucap Naima mengelus puncak kepala Ferani penuh perhatian.
"Nggak, kok. Ferani udah baikan, Mah."
Naima lagi-lagi tersenyum. "Ya sudah, Mamah tidak akan memaksa ... ayo kalian berdua sarapan dulu, ya. Mamah mau manggil Papah dulu di kamar."
Ferani menganggukkan kepalanya, mengiyakan. Sedangkan Vegalta hanya berdehem sebagai jawaban.
Sepeninggalan Naima keduanya saling menatap satu sama lain. Ferani menundukkan kepalanya, takut dengan tatapan tajam yang dilayangkan kakaknya kepadanya.
"Nih, lo harus banyak makan sayur. Ingat! Kalau Genan kasih lo makan lagi, tolak aja. Gue nggak suka," ucap Vegalta menyodorkan kuah sayur kepada nampan milik Ferani, diiringi dengan nada peringatan yang membuatnya terdiam bungkam.
Vegalta melanjutkan makannya, tanpa berniat menanyai apapun lagi. Setelahnya mereka bangkit berniat untuk berangkat sekolah.
Menyalami kedua tangan orang tuanya lalu berhamburan keluar rumah. Memasuki bagasi, berniat mencari kendaraannya masing-masing.
"Loh, sepeda gue kemana nih?!"
Ferani memegangi kepalanya, pusing mencari keberadaan sepeda miliknya. Tatapannya tertuju kepada Vegalta yang kini memperhatikan tingkah adiknya.
"Kak Vegalta lihat sepeda gue nggak? Kemaren perasaan masih ada," ucap Ferani masih sibuk mencari kesana-kemari.
"Gue jual," celetuk Vegalta dengan santainya.
Ferani membalikkan badannya. Matanya membulat sempurna, ia menatap Vegalta dengan tatapan yang sulit di artikan.
"K-kak! Ko lo jual sih! Itu 'kan sepeda gue, banyak kenangan gue sama tuh sepeda! Kenapa segampang itu lo jual!" bentak Ferani menahan tangis.
Vegalta menghela napas berat. Laki-laki itu memakaikan helm hitam miliknya, tepat di kepala Ferani. "Sepeda itu udah gue kirim ke Bogor. Tenang, Fer. Gue jual sama Om Ucep, anggap aja sepedanya di sewain untuk sementara waktu."
Ferani mendesah lesu. "Terus gue gimana?"
"Berangkat sama pulang sekolah bareng gue. Sepeda lo di pake Cici, keponakan kita nggak bakal ngerusak barang berharga saudaranya, bukan?"
Ferani mengerucutkan bibirnya. "Ih kak Vegalta, mah. Sebel deh!"
Vegalta tersenyum tipis melihat tingkah Ferani yang terlihat kesal karena ulahnya. Dengan amat terpaksa Ferani menaiki motor Vegalta, berangkat sekolah dengan kecepatan sedang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gelombang Rasa [SELESAI]
Teen Fiction14/01/23. Hidup dalam rengkuhan badai diselimuti ombak mengerikan bukanlah keinginannya, namun itu sebuah takdir yang Tuhan tetapkan untuk Ferani. Bagaimana rasanya jika mempunyai kakak yang sama sekali tidak menganggap Adiknya ada? Sakit? Tentu. Da...