“Kiranya aku salah untuk membuatmu merasa nyaman, karena faktanya kehadiranku membuatmu seolah-olah hidup terancam.”
-
Ferani berjalan ke arah ruang kerja Hendra yang selalu tertutup rapat. Niatnya ingin mengambil boneka yang dulu ia simpan di ruang kerja Papahnya. Namun setelah melihat sebuah buku diary seseorang terbuka sia atas meja, ia pun tidak sengaja membacanya sampai akhir.
Fakta mengejutkan dari buku tersebut bahwa orang yang menulisnya sudah tiada, buku tersebut milik Anindya. Adik dari Hendra yang menjalin hubungan dengan Ayah Hinton. Andika Sujaya, yang dulunya sahabat terdekat Hendra.
Cinta keduanya tidak berjalan dengan mulus karena Andika yang sudah menikah dan mempunyai anak yang berjenis kelamin laki-laki. Kedua nama anak tersebut di tulis dalam buku oleh Anindya dengan tinta berwarna merah.
“Hirandika Sujaya, kakaknya. Hinton Sujaya, Adiknya.” gumam Ferani menyatukan kedua alisnya keheranan.
Mengapa Anindya menuliskan nama anak dari mantan kekasihnya itu? Apa yang sebenarnya terjadi? Kini di dalam otak Ferani bekerja simpang siur, mengalir tak tentu arah. Ia berpikir keras apa yang di maksud dalam buku diary Tante nya itu, sehingga di akhir kalimat terdapat sebuah coretan senyuman dengan emoji menyeramkan.
“Kamu sedang apa, Fer?” tanya Hendra tiba-tiba membuat Ferani terkejut bukan main.
“Astagfirullah ... Papah! Ngagetin aja,” ujar Ferani mengelus dadanya kaget.
Hendra tersenyum tipis, berjalan mendekati Ferani yang kini membereskan kotak mainannya sewaktu kecil, dan jangan lupakan buku diary yang masih terbuka lebar di atas mejanya.
“Kamu membacanya?” tanya Hendra menutup buku diary Anindya.
“Nggak sengaja sih, Pah. Awalnya sih baca yang bagian tengahnya aja, eh lama-kelamaan penasaran jadi tamat dari awal sampai akhir,” ucap Ferani jujur.
Hendra meringis mendengar ucapan polos dari Ferani. Tangannya mengacak-acak rambut gadis itu dengan gemas. “Apa yang kamu ketahui tentang kisah Tante mu ini?”
“Banyak,” jawab Ferani antusias. “Tapi kebanyakan mellow nya sih, jadi sedih gitu. Apalagi pas nyeritain awal pertemuannya sama Om Andika, sedih tapi baper huaaaa ...”
Hendra tertawa melihat ekspresi Ferani yang terlihat geregetan dengan kisah Anindya. “Kamu ini bisa aja, mau denger cerita lengkapnya?”
“Mau-mau!” Ferani mendekati Hendra yang duduk di kursi ruang kerjanya.
Sebelum bercerita Hendra melirik Ferani dari atas sampai bawah. “Pakaian kamu aneh, mau ngapain malem-malem gini pake baju cinderella? Konser?”
Ferani mengerucutkan bibirnya kesal. “Ih Papah! Bukan mau konser, ini tuh vision. Ferani tadinya mau foto shoot buat tugas sekolah, eh bonekanya nggak ada, kuras estetik foto nya. Terus keinget ruangan Papah, 'kan dulu mainnya di sini, jadi aku ambil kesini. Malah nggak sengaja baca buku, dan sekarang mau dengerin Papah bercerita deh.”
Hendra menggeleng-gelengkan kepalanya. “Ouh jadi begitu ...”
“He'em.” Kepalanya mengangguk, mengiyakan.
“Jadi cerita nggak sih, Pah?”
Hendra terkekeh geli. “Sabar sayang.”
Ferani memanyunkan bibirnya kesal. Terlihat Hendra mengubah ekspresi wajahnya menjadi serius, membuat Ferani memudarkan kekesalannya.
“Jadi dulu Anindya adalah kekasih Andika, seperti yang di ceritakannya di dalam buku tersebut. Ia sangat mengagumi Andika dari mulai dia bekerja di kantor Papah, seiring berjalannya waktu Anindya meminta restu sama Papah untuk menikah dengan Andika, namun Andika menolaknya karena ia sudah menikah dan kini istrinya sedang mengandung. Anindya jatuh sakit saat itu juga, dan dokter kewalahan untuk memberikannya obat hingga suatu hari Papah mendapat kabar jika istri Andika telah melahirkan dengan anak kembar laki-laki. Anindya mengetahuinya dan ia merasa sakit hati, tidak makan tidak minum selama beberapa hari hingga akhirnya dia meninggal dengan buku diary ini di genggaman tangannya.”
Ferani menangis sesenggukan di dalam pelukan Hendra, ia seperti merasakan rasa sakit yang Anindya rasakan sewaktu dirinya terpuruk. Hendra mencium puncak kepala Ferani penuh keharuan.
“Jangan nangis sayang, Tante Anindya sudah bahagia di alam sana. Kamu cukup do'akan yang terbaik untuknya,” ucap Hendra yang di angguki oleh Ferani.
“F-ferani akan selalu mendo'akan, Tante. Oh iya, Pah. Boleh 'kan buku diary Tante aku simpen?” izin Ferani yang di balas oleh senyuman hangat dari Papahnya.
“Boleh, nak. Asal kamu bisa menjaganya dengan baik. Karena buku itu peninggalan dari Tante mu, dan tentunya sangat berarti untuknya dan untuk Papah.”
Ferani menganggukkan kepalanya, memberikan hormat kepada Papahnya seraya berkata. “Siap komandan!”
Keduanya tertawa lepas hingga akhirnya Ferani memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Namun sebelum kakinya melangkah, Hendra mencekal pergelangan tangannya.
“Tunggu, Fer.”
“Iya, Pah. Ada apa?”
Hendra menarik napas dalam-dalam, menatap Ferani dengan tatapan serius. “Papah mau minta bantuan sama kamu, boleh?”
“Boleh, Pah. Bantuan apa emangnya?” tanya Ferani penasaran.
“Bantu selidiki kedua anak Andika, Hirandika dan Hinton. Setau Papah Hirandika sudah meninggal tapi tidak tau kenapa, karena dalam laporan yang Papah dapat kematiannya tidak jauh dengan kematian Agnes, kasus Vegalta yang membunuhnya saat itu. Papah yakin ini ada sangkut pautnya dengan keluarga mereka.”
Ferani tercengang mendengarnya. “Apa Papah yakin dengan semua yang Papah katakan? Mungkin saja kejadian itu hanya kebetulan saja.”
“Papah tidak tahu, makanya Papah meminta bantuan sama kamu, agar Papah bisa tenang. Bukan hanya Vegalta yang merasa takut, Papah juga merasa was-was. Apalagi akhir-akhir ini sering terjadi penipuan kontrak di perusahaan Papah. Dan Papah yakin ada sesuatu yang aneh saat Papah melihat gerak-gerik Andika yang selalu membolos saat bekerja.”
“Kenapa Papah nggak pecat dia aja? Kan Papah bos nya?” ucapan Ferani terdengar sangat polos tanpa beban.
Hendra memijit pelipisnya. “Papah belum mempunyai bukti yang akurat untuk memecatnya begitu saja. Apalagi jabatan Andika di kantor Papah saat ini sedang berpengaruh besar untuk bisnis Papah yang di ada di Australia. Dia cukup pintar dalam hal berbisnis.”
Ferani menggaruk-garuk kepalanya bingung. “Ya terus Ferani harus gimana? Pah.”
“Kamu dekati Hinton, dan cari informasi tentang keluarganya. Papah tidak bisa mengerjakan orang luar, Papah butuh orang dalam untuk bisa di percayai. Dan Papah sangat percaya sama kamu, karena melihat riwayat pencarian di laptop kamu yang menyelidiki kasus-kasus Vegalta satu tahun yang lalu. Kamu penasaran dengan semua kejadian ini bukan?”
Ferani tampak terkejut karena Papahnya mengetahui tindakannya yang selama ini mencari-cari berita atas pembunuhan Agnes.
“K-kenapa Papah bisa tau?”
“Kamu lupa Papah siapa? Papah yang selalu mengecek kamar anaknya saat tertidur pulas. Membereskan semua laptop, buku, serta makanan ringan yang berada di kamar anak gadisnya yang selalu saja seperti kapal pecah.”
Ferani menutup wajahnya menggunakan buku diary milik Anindya, menahan malu. “Ish Papah!”
“Sudah malam. Saatnya tidur sayang, Papah mau mengerjakan pekerjaan Papah yang sempat tertunda. Kamu boleh membatu Papah, tidak pun nggak masalah. Papah bisa menyelidikinya sendiri, tapi mungkin membutuhkan waktu yang lama.”
Ferani tidak mau Hendra kecewa, dengan senyuman manisnya ia menjawab. “Aku mau kok bantu Papah, aku juga nggak mau diselimuti rasa bersalah seperti ini. Aku sayang Papah, Mamah, dan kak Vegalta. Aku nggak mau lihat kalian menderita dengan kasus yang belum tuntas ini.”
Hendra tersenyum puas atas jawaban yang Ferani berikan kepadanya. Ia sudah yakin jika Ferani akan siap dengan segala tantangan yang ada, ia cukup mengetahui dengan luas isi pemikiran gadis cantik itu, sangat cerdik dan bijak.
“Papah selalu bangga padamu, sayang. Tidurlah, ini sudah malam.” Hendra mencium puncak kepala Ferani dan membiarkan gadis itu berjalan ke arah kamarnya.
Meninggalkan Hendra seorang diri di ruangan kerjanya. Sesudah sampai di kamarnya Ferani menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan kosong.
Bagaimana caranya gue deketin Kak Hinton, sedangkan gue sama dia aja nggak deket? Batin Ferani.
19-02-23
KAMU SEDANG MEMBACA
Gelombang Rasa [SELESAI]
Teen Fiction14/01/23. Hidup dalam rengkuhan badai diselimuti ombak mengerikan bukanlah keinginannya, namun itu sebuah takdir yang Tuhan tetapkan untuk Ferani. Bagaimana rasanya jika mempunyai kakak yang sama sekali tidak menganggap Adiknya ada? Sakit? Tentu. Da...