35. Bukti Yang Nyata

128 10 0
                                    

"Langkahku memang bukan untuk kesenangan semata, tapi langkah ini lah yang membawaku apa arti dari kata dewasa."

-

Ferani membekap mulutnya tak percaya. Matanya sudah memerah akibat air matanya yang keluar tanpa bisa di tahan. Hidungnya kembang kempis, dengan kepala menggeleng beberapa kali berharap jika apa yang ia lihat hanya mimpi, bibirnya tertutup rapat sampai akhirnya ia terduduk lemas di lantai.

Meja kerja milik Andika berserakan ulah dirinya yang menggeledah rumahnya tanpa tersisa. Mencari bukti-bukti yang di arahkan oleh Hendra beberapa menit yang lalu.

Sebuah fakta yang mengejutkan membuat dadanya sesak, napasnya pun tiba-tiba bergemuruh tak terkendali, tangannya mengepal, menahan api amarah. Kedua jejak air matanya sulit di hentikan sampai akhirnya Ferani menggeleng untuk ke sekian kalinya.

"G-gue nggak percaya, orang yang udah ngebunuh Agnes waktu itu ternyata Kak Hirandika, bukan Kak Vegalta."

Rasa kesal, khawatir, takut, gelisah. Semua itu menjadi satu. Entah apa yang harus Ferani lakukan saat ini, yang jelas ia akan membongkar semua kebusukan Andika yang selama ini ia tutup-tutupi.

Apalagi mengenai penggelapan uang yang menyita banyak perusahaan dan gagal dalam menjalankan bisnis. Ferani menggeleng, membaca semua data-data pengalihan kekuasaan yang dapat merugikan beberapa pihak tertentu. Termasuk perusahaan Papahnya - Hendra. Aglanarta Group's.

Sebuah perusahaan yang dirintis pada awal pernikahan, lebih tepatnya Hendra mendirikan perusahaan tersebut berbarengan dengan kelahiran anak pertamanya, Vegalta. Terlihat dari belakang namanya serta kegigihannya dalam berbisnis dan berkembang begitu luas hingga sekarang mendapatkan beberapa cabang perusahaan dengan nama yang berbeda.

Namun yang membuat Ferani tidak habis pikir. Andika menipulasi data-data yang sebenarnya, hingga membalikkan yang tadinya tidak ada menjadi ada. Menambah-nambahkan anggaran hingga perusahaan cabang Aglanarta Group's nyaris bangkrut.

"Benar-benar gila harta," gumam Ferani mengumpulkan semua bukti seperti dokumen yang ia dapat di dalam laci ruang kerja Andika, hingga beberapa flashdisk tentang kasus satu tahun yang lalu.

Ferani tersenyum bangga, melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 21:30 malam. "Hah ... nggak sia-sia gue beres-beres di ruang kerja Om Andika, kalau hasilnya memuaskan kayak gini."

Dengan cepat Ferani keluar dari ruang kerja tersebut, memasukkan semua buktinya ke dalam tas mini yang selalu ia bawa ke sekolahnya untuk menimba ilmu.

Berpura-pura menonton televisi sampai Hinton membuka matanya, menyadari jika kini sudah larut malam. Ferani yang berada di sampingnya tersenyum tipis, cerdik. Ia menyembunyikan ekspresi keterkejutannya saat melihat Hinton membuka kedua kelopak matanya sempurna.

"Eugh ... jam berapa sekarang?" tanya Hinton mengumpulkan kesadarannya.

"Jam sepuluh malem." Ferani melirik ke arah jarum jam yang kini menunjukkan pukul 22.00 malam.

Setelah kesadarannya terkumpul penuh, Hinton tampak kebingungan melihat mata Ferani yang sembab. "Lo habis nangis?"

Ferani menggigit bibir bawahnya gugup. "G-gue ... Nggak, kok. Gue nggak nangis."

"Terus itu apa? Mukanya merah, hidung nya juga merah-merah gitu, mata lo juga berkaca-kaca. Lo nggak usah bohong sama gue, deh. Lo kenapa?"

Ferani menghela napas panjang sebelum akhirnya ia berucap. "Gue habis nonton drakor huaa ... pemeran utamanya mati, liat deh. Sedih banget chal isseo Oppa!"

Bibir Hinton menganga lebar, mengikuti arah pandang Ferani yang fokus kepada layar televisi yang terbuka lebar di hadapannya.

"Ck, gue kirain nangis kenapa. Ternyata gara-gara si gayung," celetuk Hinton mendapatkan lemparan bantal dari samping tubuhnya.

"Ish, bukan gayung! Tapi Taehyung! You know Taehyung?!" Napas Ferani bergemuruh. Ia siap memainkan perannya sebagai pencinta K-Popers. Terutama army BTS.

Hinton memutar bola matanya malas. "Terserah lo deh, gue pusing."

Laki-laki itu mulai bangkit dari duduknya berniat meninggalkan Ferani sendirian. Namun dengan pergerakan cepat, gadis itu menahannya.

"Lo mau kemana? Anterin gue pulang. Ya kali gue jalan sendiri malem-malem gini," ucap Ferani memeluk tubuhnya merinding, membayangkan dirinya berjalan dari rumah Hinton ke rumahnya.

Hinton menepuk jidatnya. "Astagfirullah, gue hampir lupa. Kalau ini udah malem."

Tampak Hinton berpikir sejenak. "Bentar, gue ambil kunci motor dulu. Sekalian pamit sama Bi Inah."

Ferani menganggukkan kepalanya, mengeluarkan ponselnya dari saku celananya, untuk mengabari Papahnya jika ia akan pulang dengan segera.

Sedangkan Hinton yang baru saja menaiki anak tangga menoleh ke arah dapur, karena penasaran dengan kegiatan Bi Inah malam ini.

"Bi Inah!" panggil Hinton kaget melihat Bi Inah yang tidur di meja makan.

Bi Inah yang tersadar pun langsung membuka matanya, kaget. Apalagi dengan suara Hinton yang terkesan panik, membuat seluruh tubuhnya menegang sempurna.

"Eh, Den Hinton. Ngapain di sini?" tanya Bi Inah kebingungan.

"Seharusnya Hinton yang nanya kayak gitu, kenapa Bi Inah jam segini masih di dapur? Biasanya 'kan udah di kamar, istirahat. Ouh apa jangan-jangan ketiduran juga?"

Bi Inah mengetuk-ngetukkan dagunya berpikir. "A-ah iya, Den. Kayaknya Bibi ngantuk, jadi nggak sadar udah tidur di meja makan."

Hinton tersenyum tipis. Aneh sekali, pikirannya. "Ya udah Bi, Hinton mau ke atas dulu. Mau ngambil kunci motor."

"Mau kemana? Ini kan udah malem. Tuan sebentar lagi pulang," ucap Bi Inah membereskan bahan-bahan masakannya yang berserakan di atas meja.

"Mau nganterin Ferani, Bi. Tadi Hinton juga ketiduran di ruang tamu, jadi nggak sempet nganterin Ferani pas hujannya udah reda." Penjelasan Hinton membuat Bi Inah mengernyitkan keningnya bingung.

Tanpa memperdulikan ekspresi Bi Inah saat ini, Hinton bergegas mengambil kunci motornya, menyalami punggung tangan Bi Inah yang sudah ia anggap sebagai Ibunya.

Tanpa di duga Ferani pun ikut ke dapur, berniat pamit kepada Bi Inah.

"Ferani, pamit pulang dulu ya, Bi." Ferani menyalami punggung tangan Bi Inah, mengikuti apa yang dilakukan Hinton beberapa detik yang lalu.

"Iya, hati-hati, Non, Den. Padahal belum sempat Bibi masak buat kalian, eh udah pulang aja. Gara-gara Bibi ketiduran nih, jadi nggak sempet makan bareng."

"Nggak papa, lain kali aja. Ya udah ya Bi, Ferani pulang dulu. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," jawab Bi Inah menatap kepergian Ferani dan Hinton yang berjalan berbarengan menuju ruang tamu.

Bi Inah hanya mengantarkannya sampai depan gerbang. Menatap kepergian Ferani yang melambaikan tangannya, sebagai perpisahan, dengan Hinton yang kini memboncengnya.

Gadis itu berbeda dari yang lain, entah dari sikap atau tatapan mata teduhnya. Yang aku lihat dia bukan gadis sembarangan, atau lebih tepatnya. Gadis itu menyembunyikan kepribadian yang orang lain tidak ketahui. Batin Bi Inah menatap gerbang majikannya dengan tatapan kosong.

22-02-23

Gelombang Rasa [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang