38. Kecelakaan

152 10 0
                                    

"Jika perjuanganmu berakhir sia-sia, setidaknya kamu hebat bisa bertahan dalam posisi terakhir, walau bukan sebagai pemenang. Setidaknya kamu sudah berusaha untuk melakukannya hingga mencapai garis finish."

-

Hari Selasa. Dimana jadwal kumpulan rapat OSIS di laksanakan setiap hari-hari yang telah ditentukan. Ferani dan ketiga temannya sudah hampir bosan berada di ruangan OSIS mendengarkan penjelasan serta arahan sang ketua untuk melaksanakan program organisasi bulanan.

Mereka saling berdiskusi satu sama lain hingga pada akhirnya kegiatan rapat pun selesai. Seluruh anggota OSIS telah berhamburan keluar ruangan, pulang ke rumahnya masing-masing.

Sedangkan Ferani hanya berdiam diri di bawah tihang bendera, melihat ke arah parkiran yang sudah terlihat sepi.

Ting!

Sebuah notifikasi whatsapp menyadarkan lamunannya. Gadis itu memperongoh saku bajunya, melihat benda pipih yang berada di dalam genggaman tangannya.

Kak Vegalta.
Lo bisa pulang sendiri 'kan, Fer? Maaf gue ada latihan basket di lapangan. Kayaknya bakal pulang sore banget, terserah mau nunggu apa nggak.

Ferani menghela napas panjang. "Selalu aja kayak gini, kapan sih kak Vegalta ngeutamain gue? Selalu aja bola basket yang jadi prioritas utamanya."

Dengan rasa kesal Ferani hanya menjawab oke! Itu pun bukan melalui balasan pesan darinya, melainkan dari isi hatinya yang merasa di kecewakan oleh kakaknya.

"Kak Gen!" panggil Ferani ketika ekor matanya tidak sengaja melihat Genan yang sedang bersih-bersih di lantai atas. Tepatnya di ruangan literasi.

Ferani yang berada di bawah langsung berlari menaiki tangga. Melihat Genan yang kini berdiri di hadapannya.

"Belum pulang?" tanya Genan memperhatikan gerak gerik Ferani.

"Belum, lo juga ngapain masih di sini? Bukannya kak Seto sama anggota OSIS yang lain udah pada pulang ya?"

Genan menatap wajah Ferani datar. "Besok ada seminar literasi bedah buku, harusnya sih anak-anak literasi yang ikut ekskul Aloer tapi nggak tau kemana. Sedangkan ruangan ini besok mau di pakai tapi kelihatan berantakan, banyak sampah-sampah berserakan lagi. Pas gue mau balikin buku materi pelajaran. Sekalian aja gue bersihin ruangannya biar bersih."

Mendengar penjelasan dari Genan membuat Ferani mengerjapkan matanya, kagum. "Owh gitu."

Genan menganggukkan kepalanya singkat. Berjalan melewati Ferani yang masih berdiam diri di atas tangga. Melihat Genan yang mau meninggalkannya, ia pun mengekorinya dari belakang.

Genan merasa risih dengan tindakan Ferani hari ini, ia membalikkan badannya membuat seseorang yang berada di belakang, tak sengaja menubruk dada bidangnya.

"Lo ngapain ngikutin gue?" kedua alis Genan berkerut kebingungan.

Ferani menggaruk-garuk tengkuk lehernya salah tingkah. "G-gue ... boleh nebeng nggak, hehe ... Soalnya kak Vegalta ada latihan basket. Gue males nungguin dia, lama."

Dengan tatapan sendu Ferani menyatukan kedua telapak tangannya, memohon. "Please!"

Genan menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. "Tapi gue nggak bawa helm dua."

"Nggak papa, tanpa helm pun kepala gue aman." Ferani menyengir kuda membuat Genan gemas untuk mengacak rambutnya.

"Bukan soal aman atau nggak aman. Kalo nanti di jalan gue di tilang gimana? Bahaya," ketus Genan mendengkus sebal.

"Bismillah aja kak, nggak bakalan kena tilang kok, gue yang jamin. Polisi sama gue aja udah bestie-an, mana mungkin dia berani buat tilang kita," ujar Ferani tersenyum bangga.

Genan menggelengkan kepalanya, hingga akhirnya keduanya pun meninggalkan area parkiran untuk pulang.

"Kak berhenti dulu disini!" sentak Ferani menepuk bahu Genan lumayan keras.

Spontan Genan pun berhenti di hadapan tukang rujak, tepatnya di pinggir jalan. "Buset, Fer. Kenapa nggak dari jauh aja bilangnya, kenapa mesti ngedadak sih? Bikin anak orang jantungan aja."

Ferani terkekeh kecil. "Hehe ... Maaf, kak. Soalnya gue lihat tukang dagang rujaknya juga ngedadak."

Laki-laki itu tidak menanggapi ucapan Ferani, ia hanya bersedekap dada seraya menatap Ferani yang melangkah mendekati penjual rujak.

"Bang rujaknya satu ya," pesan Ferani kepada sang pedagang rujak.

Mendengar pesanan Ferani yang membeli rujak satu porsi, Genan pun turun dari motornya. "Eh apa-apaan nih, kok cuma satu?"

"Lah, lo mau juga 'kak? Kirain nggak doyan rujak. Soalnya rata-rata cowok nggak suka yang pedas-pedas."

Genan terdiam sejenak. Jika dipikir-pikir benar juga apa yang dikatakan Ferani kepadanya, tetapi bisa kah Ferani peka sedikit saja untuk menawari jajanannya?

Genan mendengkus sebal. "Lo jadi cewek nggak peka banget sih, ini gue di sini lo anggap apa?"

"Orang," jawab Ferani tanpa beban.

Genan dibuat geram dengan jawaban singkat Ferani. Akan tetapi ia tidak bisa meluapkan emosinya saat ini. Laki-laki itu hanya membuang wajahnya ke samping, tanpa berminat untuk melanjutkan ucapannya.

"Terserah," ketusnya.

Ferani menahan tawanya agar tidak pecah. Namun melihat wajah Genan yang merah padam menahan emosi membuat dirinya terbahak-bahak.

"Lo kenapa ketawa? Gila lo!"

"Haha ... Muka lo, kak. Merah-merah gitu kayak lagi nahan berak wkwk ..."

"Sial-."

"Neng, Den. Jadi beli rujaknya berapa porsi?" tanya sang pedagang rujak yang sudah lelah menanggapi dua pelanggan yang asik dengan dunianya masing-masing.

Seakan tersadar Ferani pun mengangkat kedua jarinya dengan mengucap. "Dua."

Kedua alis Genan berkerut. "Lo bilang tadi pesennya satu?"

"Buat lo."

Genan memicingkan matanya curiga. "Lo yang traktir?"

Dengan singkat Ferani menggeleng. "Nggak. Ngapain traktir cowok kayak lo, sayang uang gue, buat jajan besok."

"Bangsul!"

Ferani terkekeh melihat ekspresi Genan yang kesal karenanya. "Oke-oke ... Sebagai tanda terima kasih karena gue ikut nebeng sama lo. Sekarang gue traktir."

Genan menganggukkan kepalanya, mengacungkan jempolnya di hadapan Ferani. "Sip!"

Gadis itu hanya tersenyum sebagai jawaban atas tanggapan Genan kepadanya. Laki-laki itu melangkah, menuju sebrang jalan.

"Mau kemana?" tanya Ferani melihat Genan yang mulai melangkah menjauhinya.

"Beli minum, di warung sebrang!" teriaknya dari yang sudah menyebrang jalan raya.

Ferani menganggukkan kepalanya, mengerti. Benar juga, tidak mungkin 'kan ia beli rujak tanpa air minum? Bisa-bisa mereka tersedak saat memakannya. Melihat Genan yang sudah mendapatkan air minum Ferani melengkungkan sudut bibirnya membentuk senyuman.

"Emang perhatian dah, kak Gen. Belum juga gue minta titip beli minum, udah di beliin dua aja," gumam Ferani menatap Genan yang mengangkat kedua botolnya ke atas.

"KAK BURUAN!! UDAH MAU UJAN NIH!!" teriak Ferani dari sebrang sana.

Genan tersenyum tipis mendengar teriakan Ferani yang menyuruhnya agar buru-buru menyebrang karena hujan akan segera turun. Tanpa melihat ke kanan dan ke kiri laki-laki itu berlari hingga suara klakson mobil mengagetkan langkahnya.

Tind ...

"KAK GENAN! AWAASS!!"

Brugh.

15:03:23

Gelombang Rasa [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang