Desember 2014
Los Angeles, Universitas LympusTernyata aku salah. Pertemuanku dan Kaigan yang kemarin bukanlah pertemuan yang terakhir. Dia yang lebih dulu menemuiku, bergabung ke mejaku ketika makan di cafe depan kampus. Dia juga yang lebih dulu mengajak aku untuk mampir ke unitnya.
Jelas-jelas aku paham apa yang dia inginkan. Merayakan natal bersama itu hanya alasan atau malah dalam makna yang berbeda. Walaupun begitu aku setuju mengikutinya. Tidak ada alasan bagiku untuk menolak ditemani olehnya di malam natal. Semua orang berkumpul dengan siapapun yang mereka sayangi. Bahkan jika tidak pun, mereka memiliki kelompok untuk merayakan natal.
Aku pikir ada begitu banyak manusia yang hidup seperti itu. Berkoloni tanpa dasar perasaan suka dan hanya sekedar memenuhi kebutuhan untuk bersosialisasi. Aku terlalu berpikiran tertutup. Berpikir bahwa untuk bersama manusia harus disadari oleh perasaan suci seperti saling menyukai. Karenanya tidak heran jika aku sendirian. Aku satu-satunya atau mungkin sebagian kecil manusia yang hidup dengan pemikiran tersebut.
"Kau tidak benar-benar merayakan natal, kan?" Aku berkata begitu, karena menemukan kamarnya tampak seperti sarang sampah. Seprai yang terlepas dari tempatnya. Bantal-bantal yang terjauh, pakaian yang berserakan, dan kaleng-kaleng bekas di pantry.
"Aku merayakannya."
"Aku serius."
"Tidak."
"Oh, kau tidak memiliki teman sekamar?" Hanya ada satu ranjang cukup besar. Padahal aku pikir setidaknya dia bersama seorang perempuan atau mungkin salah satu kelompoknya.
"Aku tidak suka berbagai ruangan dengan orang lain."
"Jadi, wanita-wanitamu hanya menumpang tidur di sini?"
"Begitulah. Apa kau mau pengecualian?"
"Tidak." Aku meletakkan tasku di meja kopi. Ada pil-pil aneh yang keluar dari tempatnya, bungkus rokok rokok dan kaleng bir.
"Aku pikir setidaknya mereka akan mengajakmu merayakan natal bersama. Meskipun kau bukan bagian dari mereka, kau memakai nama belakang yang sama."
"Aku tidak akan berbohong padamu bahwa aku merasa malu. Kata-katamu kemarin benar. Aku bukan bagian dari mereka. Orang-orang menyebut mereka keluarga, tapi mungkin mereka hanyalah orang yang kebetulan menjadi Ayah dan saudaraku saja. Jadi mengapa aku harus muncul di sana?"
"Maksudmu kau hidup dengan mendengarkan apa yang aku katakan ataukah semua perkataan dari orang-orang, begitu?"
"Tidak juga, tetapi kau memang benar."
Kaigan melepaskan kaosnya. Aku sudah terbiasa sehingga tidak lagi mengalihkan pandangan dari tubuhnya.
"Sejujurnya aku belum pernah merayakan natal secara benar," kataku lagi.
"Bagus, karena kita akan merayakannya bersama."
"Kau tahu perayaan apa yang aku maksud. Apa kau serius bahkan tidak membeli pohon natal atau semacamnya?"
"Mengapa aku harus membelinya? Benda-benda yang tidak berguna. Kehilangan makna ketika hari berganti. Lebih baik kita saling meluapkan gairah. Itu menyenangkan."
"Pemikiranmu dangkal sekali." Aku cemberut. Meskipun aku tahu kami bersama di sini untuk bercinta. Tetap saja aku mengharapkan perayaan natal yang seharusnya.
Kaigan meninggalkanku. Aku pikir dia mencari-cari pengaman atau apapun yang berguna untuk kegiatan kami. Dia malah kembali dengan kardus besar yang sudah berdebu.
"Ini milik Axe." Kaigan menarik penutup kardus. Itu pohon natal buatan.
"Kalian pernah sekamar?"
"Dulunya, tapi aku benci bersama siapapun dalam ruangan yang sama."
KAMU SEDANG MEMBACA
Desire |18+
RomanceJoana Richard seharusnya tidak jatuh cinta kepada Kaigan Wilson. Pria itu tidak segan menenggelamkan kepala Joana di kloset toilet yang kotor, karena tidak menyukai kehadirannya. Kaigan adalah laki-laki yang selalu mendapat apapun yang ia inginkan...