Malam itu kuhabiskan waktu dengan maratap. Pada Tuhan yang entah mengapa membiarkan kami bertemu jika memang ini sungguh berat untuk satu sama lain.
Tapi, adakah penyesalan itu hadir meski hanya secuil?
Tidak. Bahkan jika aku bisa kembali ke masa lalu, aku tak akan mengambil jalan yang berbeda.
Setengah limbung, aku keluar dari ruang kerja ibu mertuaku dengan perasaan jauh lebih hancur dibanding ketika memasukinya. Menuruni tangga dengan pijakan goyah yang membuat beberapa asisten memerhatikanku resah, takut aku terjatuh tiba-tiba. Aku melambaikan tangan pertanda tak ada yang perlu dikhawatirkan.
Aku menghambur ke tempat tidur sedetik setelah mengunci pintu kamar. Lalu menangis sejadinya di sana. Entah sampai jam berapa hingga aku tertidur dan kembali terbangun ... lalu menangis lagi. Begitu seterusnya. Hingga mataku sakit akibat terlalu sembab.
Kuambil peralatan ibadah, lalu mengkhusyukkan diri pada sepertiga malam. Menumpahkan semua di hadapan Tuhan. Meminta jika memang memungkinkan, buatlah ini semua hanyalah mimpi buruk yang akan berakhir di pagi hari. Dan seperti biasa, aku akan menemukan Deva terbangun di sofa dengan senyum khasnya yang terbit di wajah, seiring kemunculan sang matahari dari timur.
Senyum yang kusadari betul, telah mampu memikatku semenjak pertama kali bertemu.
Namun hingga hari beranjak terang, tak ada tanda-tanda jika ini semua hanya bunga tidur. Lebih parahnya lagi, Deva tak kunjung pulang.
Kegelapan pun kembali mengambil alih alam semesta, malam yang panjang seolah tak berujung. Sementara hari-hari terus berjalan, siang dan malam tetap berputar. Namun masih tanpa kabar. Aku begitu payah bagai pesakitan yang menanti datangnya obat penawar.
"Bu, ini sudah 3 hari, Deva belum juga pulang." Aku duduk di sebelah ibu mertuaku yang pagi ini tengah menyeruput kopi di kursi taman belakang rumah. Sabtu pagi yang sebenarnya cerah. Sayangnya bertolak belakang dengan suasana hatiku yang pekat dan suram. Siraman cahaya matahari justru membuat mataku linu. Dan aku baru sadar kalau sudah terlalu banyak menangis. Entah seperti apa rupaku kini.
"Tunggu sebentar lagi," katanya sambil meletakkan cangkir di atas meja.
"Kalau Deva tidak pulang juga bagaimana, Bu? Ia marah sekali padaku. Pasti ia tidak pulang karena tahu aku masih di rumah ini."
"Jika besok dia belum pulang, kamu akan menyusulnya. Kita memang tidak bisa berlama-lama lagi. Deva harus berobat secepat mungkin. Seharusnya saya sudah harus membawanya berobat sebulan lalu. Namun saya tahu, ia tidak akan mau menikahi siapapun jika saya memberitahunya. Saya hanya mengancamnya dan mengultimatum agar ia secepatnya menikah atau saya akan mengirimnya ke London untuk kuliah lagi."
Ia mengakhiri kalimatnya dengan menoleh padaku, menatapku sendu."Maafkan saya, Hani," katanya dengan penuh rasa bersalah.
Aku mengerti apa yang ibu mertuaku maksud dengan permintaan maaf itu. Ia sudah mengorbankanku. Mengorbankan orang lain demi kepentingannya dan putranya. Tapi aku sungguh tak merasa ia patut meminta maaf.
"Ibu tidak perlu meminta maaf. Aku juga bersalah. Sudah banyak sekali menyakitinya." Tertunduk, aku memilin ujung baju. Ingatan tentang bulan madu kami di Paris berputar-putar di kepala.
Di sanalah bibit cinta itu tumbuh. Semakin aku berlari dari perasaan ini, terasa ia mengejar semakin gigih.
"Sudahlah, jangan terlalu banyak menangis. Kita harus kuat. Jangan buang energimu bahkan sebelum mulai bertarung melawan penyakit laknat itu." Ia kembali menyeruput kopi yang segera tandas.
Diam-diam, dan untuk ke-sekian kalinya, aku memerhatikannya. Ia adalah wanita luar biasa. Tuhan memercayakannya untuk mengelola sebuah perusahaan raksasa. Jutaan orang mendapat lapangan kerja. Ibu mertuaku adalah salah satu orang paling berpengaruh terhadap kebangkitan ekonomi di negeri ini. Selain ibu kandungku, inilah wanita terhebat yang pernah kukenal. Seorang wanita dengan naluri bisnis luar biasa, dan seorang ibu dengan hati yang perkasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Pernikahan Cinderella
RomanceRahania Calandra, terpaksa menjajakan ginjalnya dengan harga 150juta kepada para pengusaha, untuk membayar kehilangan mobil perusahaan ekspedisi di mana ia bekerja dan bertanggungjawab. Namun, alih-alih membeli ginjalnya, seorang pengusaha muda bern...