11 | Menemani Sepinya

26 3 1
                                    

"Van, kamu nggak bangun?"

Suara Alicia yang mengintrupsi itu membuat Devan mengumpulkan nyawa. Dilihat ponselnya memiliki notif sebanyak 5x alarm yang terabaikan.

Devan menoleh ke arah Alicia yang terlihat duduk bersandar sembari fokus dengan ponselnya. "Kamu ngerasa berisik ya daritadi? Sampai kebangun."

"Nggak kok, aku kebangun dari jam 1 tadi. Aku nggak ngantuk."

Devan mengerutkan dahi, memperhatikan apa yang sedang dikerjakan Alicia. Dia terkejut melihat layar itu menampilkan kolom kolom dengan beragam angka. "Kamu ngapain sepagi ini berkelahi dengan spreadsheet?"

"Aku nggak suka kalau tugas numpuk. Makanya aku cicil." Alicia nyegir dengan tetap melanjutkan tugasnya itu.

"Makanya dijajar biar nggak numpuk." Devan menghela nafas kesal. "Minimal sembuh dulu, baru nugas. Tidur gih, masih kepagian ini."

Alicia bingung. Tubuhnya terasa semakin capek jika dia memaksakan tidur lama. Ya, katanya sih recovery biar cepat pulih. Tetapi ya, nggak perlu selama itu menurutnya.

"Nanti deh kalau ngantuk. Nggak disuruh juga bakalan molor. Oh ya, sekarang boleh temani aku jalan-jalan ke koridor depan?"

Devan hanya terdiam tanpa ekspresi.

"Van? Bantu ya?"

"Gak."

"Yaudah deh, aku mau turun untuk cuci muka aja." Alicia mulai menurunkan taking dari brankar.

"Eits, gak usah." Devan malah berlari kecil menuju toilet yang tersedia di ruang inap itu.

"Ngapain? Kamu mau mengulur selang air ya Van?" tanya Alicia polos.

"Nih." Devan memberikan air setengah gayung. Menyodorkan ke dagu Alicia. "Biar cepat."

Alicia meringis. Devan terlihat cukup aneh jika mengatur begini. "Van tolonglah, yang ada malah ketumpahan, basah semua."

"Membasuh sama cuci muka beda. Kamu mau cuci muka juga nggak bawa sabunnya. Mending basuh dikit-dikit."

"Iya iya, sini. Makasih ya." Alicia segera melakukannya sendiri, sebelum Devan membantunya. Tadinya, tangan besar lelaki itu ikut tercelup ke dalam gayung. Berlebihan. Lagi pula, Alicia ragu jika tindakan lelaki itu terlalu sarkas.

"Aku mintain duluan ya, makan paginya. Habis itu aku mau berangkat," ujar Devan setelah mengembalikan gayung tadi.

"Kenapa nggak nunggu diantar aja?"

"Kelamaan."

"Oh, kamu keburu mau berangkat kerja ya? Kamu siap-siap dulu aja Van. Masalah makanan nanti aja, biar diantar kesini."

Devan sama sekali tak menggubris dan langsung keluar dari ruangan inap itu. Alicia hanya menggeleng heran melihat kelakuannya. Dia tiba-tiba khawatir akan keadaan Devan.

"Van, kondisi kamu nggak papa kan?" tanya Alicia langsung ketika Devan baru meletakkan nampan di atas nakas.

"Nggak papa gimana? Aku kelihatan kurang waras gitu?"

"Bukan. Kamu nggak lagi kecapekan kan?" Alicia menyadari semenjak Devan kesini, kantung matanya terlihat jelas dan semakin terlihat jelas lagi di pagi ini. Apalagi, tadi malam Alicia sempat menyadari Devan sedang memegangi kepalanya saat lelaki itu rebahan di sofa. Ya, seperti orang sedang sakit kepala.

Devan menatap heran. "Nggak. Lagi pula kalau kecapekan pun, nggak bikin aku pingsan di jalan."

Namun, entah kenapa jawaban itu membuat Alicia terdiam sejenak.

"Dah, nggak perlu melamun. Kayak mikirin negara aja. Mending kamu makan itu. Tapi aku gak bisa suapin, soalnya aku kan bukan bapakmu."

"Idih, siapa juga yang pengen disuapin?"

"Ya, biasanya orang sakit kan ada ngalem-ngalem manjanya."

"Ih kamu kali. Oh ya Van, kamu nggak dicari sama mama kamu?"

"Mama juga sudah nyadar kok, kalau aku sebesar gini. Lagian aku sudah pamit kok."

"Gimana?"

Devan yang sedang memunguti kaos kakinya itu sontak berbalik badan. "Ya aku bilang, lagi ada urusan. Lalu mama kasih reaction jari jempol hitam. Kenapa sih?"

"Ya, meskipun kita sudah bukan anak sekolah lagi, namanya orangtua kan sayang anaknya, pasti dicariin kalau gak pulang. Aku jadi sungkan ke mamamu, aku ngerepotin anaknya sekarang."

"Dih, santai, kayak apa aja."

Alicia mengira, mamanya Devan adalah contoh ibu yang lumayan protektif. Dia ingat, Yoga beberapa kali menceritakan bahwa ibunya biasa melakukan spam chat hingga spam telpon, ketika Yoga belum berada di rumah disaat seharusnya dia selesai dari aktivitas. Semisal, pernah kala itu Yoga sedang tdiak kuliah karena libur semester, dia memutuskan ikut teman-temannya ke warung kopi setelah selesai shift pagi. Dia mendadak menjadi bahan jokes mereka, ketika spam chat dari mamanya tak sengaja terbaca oleh mereka. Apalagi dengan kata-kata legendarisnya "ndang mulih, wes maghrib."

Alicia jadi kepikiran sedetail itu, gara-gara Devan disini. Sebenarnya, tidak masalah juga, karena Devan sendiri dengan gabutnya tidak ingin pulang.

"Aku berangkat kerja dulu, Al."

"Eh iya, hati-hati Van. Jangan melamun di perjalanan."

***
Devan mulai merasakan pegal linu di tubuhnya, cukup lama Dia menanggapi obrolan Alicia membuat dirinya susah untuk rebahan. Padahal, Devan daritadi berharap agar dirinya hanya menjadi pendengar yang baik. Malahan, Alicia yang membuat perbincangan random ini semakin interaktif. Kali ini, Devan sama sekali tidak tega untuk tak menggubris perempuan ini.

"Terus, kalau ibukota pindah, kamu ada rencana nggak untuk tinggal atau bekerja di daerah sana, Van?"

"Kalau kiranya ada kesempatan bagus mau. Tapi gak dalam waktu dekat. Lagian ya, itupun kalau besok diizinkan sama si nyonya, misal dia gak setuju ya gak jadi."

"Tetapi kamu lebih betah di kota ini berarti?"

"Ya iya, orang dari kecil di sini. Adaptasi lagi dong kalau di sana."

"Oh, GP tayang Al." Devan merogoh saku jeansnya, mengambil ponselnya yang bergetar itu. Dia telah melakukan set alarm beberapa waktu lalu, supaya tidak ketinggalan tayangan favoritnya ini. "Kamu suka nggak?"

"Iya dong, ada Om Alex Marquez. Aku juga biasa nonton kok."

Devan tersenyum kecil, ternyata tayangan kesukaan mereka masih satu frekuensi. Devan pun ada kesempatan untuk berhenti menanggapi Alicia itu. Mana energi sosialnya seakan minus baru-baru ini.

"Nih, kita nonton dulu aja." Devan senang Alicia menyetujui itu. Dia memiringkan ponselnya agar dapat tayangan itu dapat dijangkau sama-sama.

"Keren ya orang-orang. Pasti kamu pernah nyoba adegan motoran kayak gitu." Alicia tertawa kecil melihat sisi excited Devan ketika Alex Marquez bisa lebih unggul daripada lawanya.

"Pernah di belokan. Tapi karena terlalu miring, akhirnya malah diketawain mas-mas tambal ban. Soalnya jatuh ke tepi jalan berpasir."

Alicia sontak tertawa. "Kamu sih aneh, mana nyobanya di jalan umum. Kan jadi malu kalau mleset."

"Jadi malu, ngapain juga ya aku cerita."

"Ih biasa aja kali. Emh, aku istirahat dulu ya Van."

Devan pun melanjutkan tontonan yang lagi seru-serunya. Pertandingan yang hampir usai ketika peserta sedikit lagi menuju finish.

"Goks nih orang."

Usai fokusnya terhadap balap motor itu selesai, Devan baru menyadari ternyata Alicia belum terlelap ketika jemari Alicia bergerak bergantian di atas perutnya sendiri.

"Al?" Devan memastikan.

"Ada apa?" jawabnya pelan, masih dengan mata tertutup.

"Istirahat."

"Van, aku gak kuat, perut aku tiba-tiba sakit."






































Kelas Sore ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang