14. Derana kapankah akan sirna

0 0 0
                                    

Dua hari kemudian, datang kabar mengejutkan yang dibawa oleh Abah Mardi, awalnya ia tak ingin memberitahu Kenanga karena takut jika cucu pertamanya itu syok dan jatuh sakit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dua hari kemudian, datang kabar mengejutkan yang dibawa oleh Abah Mardi, awalnya ia tak ingin memberitahu Kenanga karena takut jika cucu pertamanya itu syok dan jatuh sakit. Namun Emak terus membujuk Abah supaya menjemput Kenanga karena bagaimana pun gadis itu berhak tahu tentang apa yang tengah terjadi di rumah Wisnu.

Abah menghentikan langkah kaki nya saat melihat Kenanga tengah menyapu halaman rumah, badannya membungkuk karena sapu lidi sudah memendek. Garis usia di wajah Abah semakin terlihat jelas kala menatap cucu nya, melapangkan dada dengan harap Kenanga akan mengerti akan apa yang disampaikan.

"Neng?" Lirih Abah, mendekat ke arah Kenanga yang sedang menyimpan pengki.

"Abah? Kok pulang sendiri, Emak mana?" tanya Kenanga, mengelap telapak tangan nya ke kain rok sebelum menyalami Abah.

"Emak masih di rumah Mang Wisnu, kamu dicari Emak, kita kesana sekarang ya, Bapak mu nanti Abah titipkan sebentar ke Bi Esih.." Ajak Abah pelan.

Perasaan gadis itu kembali gundah, mengapa ia harus ikut ke rumah Wisnu, ada yang terjadi disana, karena Emak dan Abah hanya berkata ada keperluan mendadak sebelum berangkat pada pukul 7 pagi.

"Tapi Kenanga ganti baju dulu ya, yang ini kotor nanti tidak enak dilihat sama orang-orang.." Ujar Kenanga berusaha berpikir jernih.

"Iya, Abah tunggu di bale.."

Abah duduk termenung di bale dekat pohon bunga melati, cemas, hanya itu yang Abah rasakan selama menunggu Kenanga selesai berganti pakaian.

Kenanga membuka lemari kayu yang sudah lapuk dimakan usia, memilah baju mana yang layak dipakai. Bening matanya tertuju pada sebuah set gamis cantik berwarna coklat tua, pemberian Aisyah tempo itu. Karena tak ingin membuat Abah menunggu lama, Kenanga langsung mengenakan gamis tersebut setelah mencuci wajah. Ia mendekat ke arah cermin gantung berbentuk oval, menutupi setiap helaian rambutnya dengan hijab instan.

Garis senyum nya melebar disaat ia melihat refleksi dirinya di depan cermin, ternyata seperti ini rasanya memakai hijab syar'i, batin Kenanga. Sejujurnya dari dulu ia ingin mencoba mengenakan kerudung, namun lagi-lagi keadaan ekonomi tak berpihak karena pakai muslimah di desa masih mahal sedangkan kebutuhan sehari-hari kian melonjak setiap saat, Kenanga juga harus menabung untuk bekal mencari ibunya ke Jakarta, di sisi lain ia harus sedia uang setidaknya 300 ribu perbulan untuk membelikan obat untuk Bapak.

Dulu saat dua tahun pertama menjadi pemetik teh upah nya hanya sebesar lima ratus ribu, dua tahun setelah nya ia baru mendapatkan kenaikan gaji karena jam kerja nya bertambah pula yang semula hanya 6 jam kini menjadi 8 jam, jika mengambil lemburan di gudang akan menjadi 12 jam selama satu hari.

"Abah? Mari berangkat sekarang, Kenanga sudah pamitan pada Bapak.." Ucap Kenanga, keluar dengan penampilan baru, membuat Abah berbinar bahagia.

"Masya Allah cucu abah geulis pisan, baju nya bagus neng.."

Dua Arah (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang