Chapter 41 [END]

2.1K 235 82
                                    

Panas negara ini tidak pernah berubah. Selalu bersinar terik di atas para manusia yang sangat pekerja keras karena paksaan kejam. Hangat sekali hari ini, bukan? Karena cuaca terlihat bagus setelah 3 hari berlalu.

Mungkin bagi Rin matahari tidak menyimpan kehangatan satupun tanpa ada matahari yang selalu berada di sisinya. Dia hanyalah bulan tanpa matahari lagi.

Dalam pagi yang cerah dia tenggelam pada pikirannya. Tangan kanan yang sibuk menggenggam sebuah alat tulis dan tinta di sebelahnya. Menatap ke arah kertas kuno di hadapannya.

Dia mulai menulis tentang seseorang yang penting dalam hidupnya. Tanpa sebuah ekspresi di wajahnya seperti biasa. Tatapan kosong dengan wajah putus asa.

Kenangan tentangmu selalu menghantui.

Dia melanjutkan tulisannya.

Kau pergi, meninggalkan luka yang tak tersembuhkan.

Rindu yang tak terucapkan hanya terasa dalam sunyi. Kehilanganmu, seperti kehilangan bagian dari tubuhku. Seiring waktu berlalu, kesedihanku tak pernah mereda.

Rin menghentikan tangannya. Dia menatap tulisan yang baru saja ia tulis sedemikian rupa. Tanpa di sadari air matanya menetes kecil. Mendarat di atas kertas yang baru saja ia ukir.

"Aku tidak bisa tanpamu, sungguh."

Rin mulai membaringkan kepalanya di atas meja. Memeluk kertas dengan perasaan sendu. Tatapan kosong dengan air mata mengalir. Sakit.

Dia juga perlahan mengambil sebuah foto pajangan kecil dari mejanya. Wajah pribumi yang selalu ia rindukan hanyalah sebatas foto, bukan wujud.

Mungkin akan sedikit gila jika dia melakukan ini. Tidak tahu apakah ini jalan terbaik untuknya dan untuk apa yang [Name] katakan padanya. Di kehidupan selanjutnya...

Sebuah pikiran yang tidak pernah Rin pikirkan sebelummya tiba-tiba hadir dalam benaknya

Rin segera bangkit dari posisi duduknya. Bergerak mendekati sebuah lemari pakaian kayu dan membuka kedua pintunya. Dia mencari sebuah sebuah benda yang ntah untuk apa. Tangannya cukup terburu-buru bergerak.

Sembari menggenggam foto pajangan di salah satu tangannya, dia kembali menutup kedua pintu lemarinya. Menggenggam sebuah senjata yang masih tersisa dua peluru.

Dia tidak banyak berpikir. Menempatkan jemari di antara pelatuk dan ujung pistol di keningnya. Menatap kosong tanpa arah. Hanya ada bayangan kabur dalam kepalanya. Saat salah satu tangannya menggenggam erat sebuah foto [Name] dalam frame. Kedua kakinya berdiri tak bersemangat.

"Aku dan kau akan membuat akhir bahagia di kehidupan selanjutnya..."

"Kehidupan... Selanjutnya..."

***


Keesokan harinya, Karasu di perintahkan untuk datang ke dalam rapat dalam mengurusi rencana Hindia-Belanda yang akan melawan perintah mereka.

Dalam membuat negara ini menuju kemerdekaan.

"Karasu!" Panggil Nakamoto dari posisinya yang tengah duduk di atas kursi rapat.

"Ya, jendral?"

"Ingatkan Rin untuk segera datang ke dalam rapat hari ini. Cepat," tegasnya tak berbasa-basi. "Dia pasti tidak akan menghadiri rapat jika kau tidak memberitahunya."

Karasu langsung mengangguk mantap. "Baiklah, Jendral." Dia menundukkan kepalanya sebagai penghormatan atas kerendahannya dan pergi keluar dari ruangan.

Berjalan lah kedua langkah kakinya menuju kamar asrama yang berjejer setiap lorong.

Dalam salah satu ruangan, lebih tepatnya ruangan Rin untuk beristirahat, Karasu segera berhenti tepat di depan pintu kayu itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 05 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pribumi Dan Nippon (Itoshi Rin x Readers au) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang