Putih bertarung habis-habisan melawan burung api. Keduanya sama saja. Brutal, tidak ingin kalah, dan menakjubkan. Api dan es beradu. Langit seperti dihiasi percikan kembang api. Tentu saja kejadian semacam ini bisa terlihat sangat indah andai tidak memikirkan kemungkinan mati gara-gara kena api atau es tajam.
“Aku curiga bahwa selama ini kamu mendapat pertolongan dari makhluk suci,” kata Riu. “Ternyata tebakanku benar.”
Tidak perlu menanggapi Riu karena Jane membuat cambuk api yang berkali-kali dilecutkan ke arahku. Terpaksa aku berpisah dari Riu.
Di sisi Riu pun tidak bagus. Dia diburu oleh tiga orang lelaki. Bukan manusia biasa, melainkan kaum yang sama denganku. Punya kekuatan. Dari mana asal kekuatan mereka? Aku tidak tahu. Jelas bukan dari batu darah maupun berjanji dengan makhluk suci. Barangkali itu hasil sumbangan dari iblis.
Sekuat apa pun Riu, kalau dikeroyok berandalan sinting ... lupakan saja. Aku juga punya masalah!
Letupan api terus mengincarku. Tidak ada waktu berleha-leha maupun mengagumi serangan Jane! Aku bisa mati! Rasanya seolah sabit milik shinigami tengah diarahkan ke leherku.
“Kupikir kamu tangguh,” ejek Jane. “Ternyata biasa saja.”
Ke mana perginya tokoh utama perempuan menggoda yang membuat para lelaki ingin menindihnya di ranjang? Mengapa Jane yang ada di hadapanku justru versi ABG labil?
“Karena aku nggak suka membuang energi,” balasku sembari meluncurkan panah yang dengan mudah dihancurkan Jane. “Luar biasa, ‘kan?”
Aku berusaha berlindung di balik rongsokan mobil. Keputusan bodoh. Mobil itu meledak dan andai saja aku tidak membuat tameng dari es, sudah pasti luka bakar tingkat tinggi akan menjadi akhir bagiku.
Malam dingin, tapi udara di sekelilingku terasa panas.
Barangkali neraka tempat iblis berekor lancip tinggal di tempat semacam ini. Tanah gersang, api menyala sepanjang waktu, dan hanya ada kekacauan. Dengan tenaga yang sedikit payah, aku berusaha bertahan. Ingin menyerang, tapi kesempatan belum datang. Lagi pula, di sekitarku masih ada manusia yang belum sempat menyelamatkan diri.
“Seperti tikus,” sindir Jane. Dia dengan bangga melempar cambuk api ke aspal. Senjata itu menguap, lenyap. “Kamu suka bertarung satu lawan satu dari jarak dekat?”
“Aku suka menuang racun ke minuman musuhku.” Siapa juga yang butuh moral kesatria? Moral pendekar putih tidak akan menyelamatkanku dari berondong peluru milik penjahat edan. Mereka tidak mematuhi hukum. Merekalah yang membuat hukum!
Salah satu bola api berhasil menghantam sisi tubuhku. Panas menyengat. Sekalupun telah kupadamkan api itu dengan es, rasa sakitnya masih tertinggal. Aku mundur, terpaksa!
“Lihatlah apa yang bisa mereka lakukan kepadaku?”
Terdengar raungan serine. Mobil pemadam kebakaran, ambulans, dan ... aku tidak tahu. Mungkin itu kendaraan milik tentara maupun anggota gegana dan semacamnya. Pokoknya pasukan berseragam serbahitam meluncur keluar dari kendaraan besar. Masing-masing keluar dari dalam mobil dan mulai bekerja sesuai porsi mereka. Jauh dalam hatiku yang kotor ini, aku tahu tidak ada kesempatan menang melawan Jane versi sinting.
Kupikir akan ada teriakan peringatan: “Jangan bergerak! Angkat tangan! Turunkan senjata!” Hah aku berharap terlalu besar. Dunia ini tidak berjalan sesuai sistem yang berlaku di duniaku dulu.
Peluru ditembakkan dari senapan. Aku yang seharusnya menjadi prioritas justru bisa-bisa kena salah tembak!
Jane tidak memedulikan berondong tembakan. Dia hanya membuat lebih banyak panah api dan menenmbakkannya kepada siapa pun yang ia anggap sebagai musuh.
Saat terjadi hal semacam itu, aku berusaha melarikan diri. Nanti saja urusan integritas apalah! Aku perlu menyelamatkan Riu.
“...”
... yang ternyata tidak perlu kuselamatkan karena dia berhasil membantai musuh.
“Putih!” teriakku mencoba memberi arahan kepada ATM berjalanku. “Habisi dia!”
Kedua makhluk purba itu sama sekali tidak peduli dengan sekitar. Mereka saling bantai dan serang. Aku ingin kabur dan menyeret Riu ke tempat aman, tapi Jane muncul lagi!
“Mau kabur dengan kekasihmu?”
“Dia mentorku,” koreksiku, tidak sudi dituduh punya pacar kere.
Riu melecutkan petir, yang tentu saja bisa dihindari Jane. Ada berapa banyak nyawa yang ia miliki, sih?
Aku ingin memulihkan diri. Luka bakar yang Jane hadiahkan kepadaku amat perih dan sepertinya tubuhku sudah mencapai batas.
“Riu,” panggilku, “sepertinya aku akan mati.”
“Jangan bicara buruk seperti itu.”
Neraka.
Neraka di mana-mana.
Jane membantai sepasukan pria gagah hanya dalam sekali libas. Dalam dirinya tidak tersisa sifat kasih yang seharusnya dimiliki tokoh utama. Oh lupakan saja, dunia ini memang sinting. Semua orang punya borok dan aku tidak ingin mati di sini.
Tidak sepertiku yang mulai berubah jadi monster kadal gosong, Riu masih bersemangat melancarkan serangan. Kulihat wajah Riu pucat sekali. Dia pasti juga sudah mencapai batas. Kami berdua sama-sama letih.
“Aku selesaikan saja sekarang.” Jane membuat bola api besar. Amat besar hingga rasanya bisa menelanku. Aku tidak mau jadi satai! Kukerahkan energi yang masih kumiliki untuk membuat kubah pelindung. Setidaknya andai aku mati, Riu bisa kabur dan mencari korban lain untuk diajak perang. Biasa, ‘kan? Pembalasan.
Akan tetapi, sesuatu terjadi. Langit bergemuruh. Dari dalam sana turunlah puluhan makhluk menyerupai manusia bersayap. Hanya saja mereka tidak elok. Seperti tulang yang diselimuti kulit. Telinga lancip, mata hitam, gigi tajam, dan sayap kelelawar.
Makhluk-makhluk itu turun ke jalanan. Neraka kedua. Neraka iblis. Aku menduga mereka akan mengincar manusia, tapi pasukan iblis itu justru memburu Jane.
“Enyah!” Jane berusaha membakar semua pasukan setan. Satu terbekar, yang lain menggantikan. Mereka turun dari langit. Tiada habisnya. “Enyah!”
Salah satu dari setan bersayap menyambar Jane. Kemudian yang lain menyambar tangan. Diikuti oleh kawan lain yang mencengkeram kaki. Jane berontak, tapi tidak ada artinya. Dia dibawa terbang ... tinggi, amat tinggi. Aku bisa mendengar pekikan horor, penuh teror. Setiap iblis mencabik Jane. Seolah Jane terbuat dari kain rombeng.
Mulutku menganga. Aku tidak mungkin sanggup menghadapi yang seperti itu. “Putih, kabur saja! Kita kabur!”
Burung api yang menyadari keadaan Jane pun langsung meninggalkan Putih. Namun, ketika dia sampai di pesta pembantaian itu....
Sudah terlambat.
Jane tinggal potongan ... aku bahkan tidak tahu harus menyebut itu semua dengan apa? Sisa Jane? Bekas Jane?
Burung api memekik. Suara teriakan yang ia keluarkan teramat menyayat hati. Serpih-serpih api berjatuhan dari bulu-bulunya yang cemerlang.
“Putih, kemari!” Aku tidak mau ambil risiko. ATM-ku! Uangku!
[Aku bisa mendengar prioritasmu.]
“Aaaa uangku!”
[Dan kamu nggak perlu menyuarakan sakit hatimu.]
Putih terbang, menghindari serpihan api, dan mencairkan tabirku. Dia merapat kepadaku dan sepertinya tidak suka pada luka yang kuperoleh.
“Jadi, bagaimana bisa kamu berteman dengan makhluk suci?”
“Riu, dia ini bank!” seruku tidak terima.
***
Selesai ditulis pada 12 Maret 2024.***
Yuhuuuuuuu saya ingin fokus namatin ini dulu. Tinggal sedikit.Setelah ini tamat, baru Clea.
Hahahahahahahahahaha!
KAMU SEDANG MEMBACA
ALL OF THEM WANT TO KILL HER (Tamat)
FantasyKenapa sih orang-orang tertarik isekai ke novel, film, komik, atau dimensi mana pun? Seolah pindah dunia itu semudah pindah kontrakan yang kalau tidak cocok bisa mengajukan keluhan ke empunya indekos. Berharap bisa disukai oleh semua tokoh ganteng d...