Aghamora merasakan kesadarannya telah kembali, namun aroma pertama yang masuk ke indera penciuman membuatnya enggan untuk segera beranjak. Meski tak tahu pasti pukul berapa sekarang, tapi Aghamora yakin senja belum menyapa. Terasa dari hangat yang dipendarkan oleh hawa itu sendiri.
Hari itu, untuk yang kedua kalinya di bulan ini, Aghamora lagi-lagi harus absen dari kelas. Ia memang berniat untuk kembali ke sekolah hari itu, tapi perlu dicatat bahwa itu hanyalah niatnya. Keenam kakaknya belum tentu setuju dengan rencana itu, dan memang tidak. Bahkan, malam sebelumnya Sorin sudah memberi tahu sang wali kelas bahwa Aghamora masih harus menjalani masa pemulihan.
Tak cukup sampai disitu, Aghamora lagi-lagi dibuat menghadapi kekalahan dengan posesifitas Sorin yang tanpa ragu meminta cuti dari kantornya. Noah menyetujui pengajuan Sorin dengan alasan putranya itu memerlukan waktu istirahat setelah kemarin akhir pekan ia harus merelakan jam istirahat untuk menemani Elysa pergi ke festival. Lagipula, ia sudah menyelesaikan seluruh pekerjaan penting minggu itu. Kalaupun ia datang hari ini, yang akan dilakukannya adalah pengawasan dan kontrol saja. Ia masih bisa mengerahkan asistennya untuk itu.
Jangan heran mengapa nama Aghamora tidak sama sekali dibawa Sorin atau disebut Noah. Gadis itu juga tahu kalau namanya tidak mungkin tercatat dalam proposal. Menyakitkan sebetulnya, tapi tekad sang kakak untuk bisa menemaninya seharian penuh membuat gadis itu tak sempat memikirkan apapun lagi.
Aghamora menggosokkan wajahnya yang terbenam, mencari kenyamanan lebih dalam. Sosok diatasnya terusik karena itu, tapi tak berusaha mengelak. Sebuah tangan besar nan kekar terangkat menyentuh belakang kepala Aghamora, menahan pergerakan gadis yang sudah membuatnya terlonjak dari dunia mimpi.
Gadis itu mendongak, tidak lagi bergerak tapi melesat. Tangannya terangkat untuk menyentuh pipi sang kakak. Omong-omong, mereka memang sedang tidur siang setelah bosan mendekam didepan televisi selama dua jam. Bukan karena tidak memiliki kegiatan lain, tapi memang karena yang lebih tua merasa lelah.
Semalam, Sorin tidak benar-benar memanfaatkan waktunya berdua dengan kasur, melainkan berjalan mengelilingi lorong lantai dua. Ia mempercepat pengerjaan tugas sekolah Nathan, membantu Tristan dengan lag laptop, bahkan menemani Hunter menonton drama series. Sebelum satu per satu ia naikkan selimut dan mengelus pelan surainya.
Sorin menahan tangan sang adik yang masih asyik bermain di pipinya, menatap Aghamora meski kantuk masih kentara jelas di sorot matanya.
"Mau apa?"
"Gak laper gitu, bang?"
"Kagak, gue ngantuk"
"Tapi gue laper"
Aghamora mengerucutkan bibirnya meski tak yakin Sorin akan melihat jelas dengan mata yang setengah tertutup begitu. Terbukti dengan tidak adanya jawaban setelah gadis itu menghitung sampai lima. Ketika kembali mendongak, ia mendapati Sorin sudah kembali memasuki bunga tidurnya.
"Dasar kebo! Turunya cepet banget!"
Bukannya perut melar, tapi terakhir mereka bertemu makanan adalah ketika sarapan pukul setengah tujuh lalu, dan kini jarum pendek jam dinding sudah menunjuk angka dua. Aghamora bisa saja turun sendiri dan membuat makanan, toh rumah masih sepi dengan penghuni yang menjalani aktivitasnya masing-masing. Tapi gadis itu tidak bisa bergerak sebab lengan Sorin yang membelenggu.
Ketika jiwa posesif Sorin datang tanpa mengasingkan sikap pekanya, Aghamora akan terdeteksi ketika ia merasa dalam kondisi sangat baik tapi sebenarnya tidak. Itulah kenapa Sorin langsung menarik sang adik dalam dekapan begitu mereka memutuskan untuk tidur siang, agar Aghamora tidak nekat keluar dari kamar dan bermain bersama mentari di halaman belakang.
Melihat sang kakak yang menyerah begitu cepat pada rasa kantuk, tanpa memedulikan apapun lagi ia tersenyum dan kembali membenamkan wajah pada bidang nyaman didepannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
House Of Eight
Teen Fiction[Revisi] Lo udah punya apa yang enggak mungkin gue punya, masih juga mau rebut apa yang gue punya? [Aghamora × abangs || Elysa × parents] Menyephobic dan uwuphobic dilarang datang ⛔ Harsh word bertebaran❕❗ 1 chapter = 800-1800 word