Karina
"Lumayan," Jefan tertawa melihat ke arahnya.
Sebab, kini ia telah mengganti dress yang basah, dengan kaos oblong dan celana panjang pemberian Jefan.
Kebesaran? Pastinya. Tapi daripada kedinginan. Ia tentu tak punya pilihan lain bukan?
Dan tanpa seorang pun tahu, ia tak mengenakan apapun di dalamnya.
Hei, dengar dulu.
Ini lebih karena, baju dalamannya basah kuyup hingga bisa diperas. Percuma saja ganti baju. Kalau masih memakai dalaman, yang seperti cucian baru diambil dari ember. Belum diperas langsung dipakai. Alias basah sebasah-basahnya.
Karena, Jefan sebenarnya tak sesolutif yang ia pikirkan. Terbukti, Jefan hanya menyediakan baju pengganti luar, tanpa dalaman. Well the hell done.
"Pakai jaket."
Ia masih sibuk mengencangkan sabuk di pinggang, agar celana yang kebesaran tak terlalu melorot. Ketika Jefan menyampirkan jaket warna navy ke atas bahunya.
Oke, jadi begini. Sebagai cewek mandiri, ia tentu bisa menolak permintaan Jefan untuk bla bla bla. Toh ia bisa langsung pergi dari Cafe, tanpa menghiraukan Jefan. Memesan Taxi Online untuk pulang ke rumah. Dan the end.
Tapi oh tapi, terkhusus malam ini. Ia sedang tak ingin menjadi cewek mandiri.
Ia sedang marah pada diri sendiri, juga seisi dunia.
Jadi, satu hal yang jelas sangat diinginkannya saat ini adalah : pergi kemanapun yang jauh sekalian. Asal bukan pulang ke rumah. Run all night.
Dan semua pemikiran ajaib teranehnya ini, menuntun dirinya untuk memakai jaket navy pemberian Jefan dengan benar, lalu mengancingnya.
Well, this is a very bad idea, but i like bad idea now.
"Masih gerimis," gumam Jefan sambil menengadahkan tangan ke atas. Membuat rintik hujan membasahi tangan lebar dan besar itu.
Hell, persetan dengan ukuran tangan berandal itu. Kenapa ia jadi sebodoh ini sih?
"Hujan-hujanan nggak apa-apa? Gua nggak bawa jas hujan soalnya."
Dengan gelisah ia menelan ludah. Sembari mencengkeram erat kantong kresek, yang berisi dress basah dan baju dalamnya. Lalu dengan leher tercekik berkata, "Gue nggak pulang."
"Hah?"
Ya ya ya, ia sudah tahu pasti. Jefan bukanlah golongan cowok cerdas yang auranya dipenuhi oleh energi positif seperti Dipa.
Oh, no Dipa again.
Tapi ia tak menyangka, kalau selain bodoh, Jefan juga kurang pendengaran.
"Gue nggak pulang! Antar ke mana pun. Asal bukan ke rumah!" ulangnya setengah membentak.
Namun Jefan justru tertawa. "Udah hampir jam sebelas malam lho ini."
"Tahu!"
"Ck!" Jefan mendecak. "Lo kalau patah hati, jangan kayak anak kecil begini dong."
"Siapa patah hati?!?" semburnya marah.
"Elo lah! Siapa lagi?!" Jefan tertawa sumbang.
Saat itu juga, ia ingin memaki sambil memukuli Jefan. Yang mulutnya tak memiliki filter apalagi empati. Namun pada kenyataannya, ia hanya bisa melotot marah.
"Ya udah, kalau lo nggak mau ngantar! Gue bisa pergi sendiri!" ujarnya sengit. Lalu melangkah lebar-lebar. Menembus rintik sisa hujan.
Tuh kan, benar perkiraannya. Kalau Jefan itu sejenis makhluk yang less emphaty.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja dan Pagi | Na Jaemin
RomanceSometimes someone comes into your life so unexpectedly, takes your heart by surprise.