Kamis, 21 September 2023.
Mungkin maksudnya baik, untuk menghibur hati Antonin yang sedang galau karena kematian Sarah, tetapi sebuah acara yang berisik kurasa sudah berlebihan. Alexander, Edmund, dan Carlisle bertandang ke Gazda Mansion dengan banyak sekali makanan cepat saji dan minuman beralkohol. Seolah mabuk-mabukan bisa menghilangkan kesedihan seorang pria yang baru menduda.
Parahnya lagi, Alexander membawa seorang wanita berambut pirang panjang bersamanya. Itu rambut pirang keemasan paling sehat dan paling berkilau yang pernah kulihat seumur hidupku. Belum lagi diikat dengan pita satin berhias pentul-pentul putih yang kuyakini sebagai mutiara. Tentu saja, kalau wanita ini adalah kekasih Alexander Locksmith, pentul-pentul putih yang bertebaran di pita satin itu pasti terbuat dari mutiara.
“How does Moses made his coffee?” Edmund menjadi pelopor sesi candaan ketika semua hadirin sudah setengah mabuk. Aku berada di sekitar mereka untuk membereskan piring kertas bekas kentang goreng yang berceceran di lantai, dan aku bisa mendengar ucapan Edmund dengan jelas.
“Bagaimana?” Alexander bertanya dari tempatnya terbaring di lantai ruang santai.
“Hebrew,” ujar Edmund.
“Nice joke,” sahut Alexander sebelum bersendawa kencang.
Sedangkan kekasih Alexander tertawa nyaring. Wajahnya memerah karena mabuk, dan dia membaringkan kepalanya di pangkuan Antonin alih-alih melekat pada kekasihnya sendiri. Mungkin pesona duda memang lebih kuat bagi wanita paruh baya sepertinya.
“Oh, Francoise, kemarilah!” racau Alexander lantang.
Si wanita pirang mengikik sebelum meninggalkan Antonin dan mendaratkan dirinya di lantai, bergabung dengan Alexander yang mulai mabuk berat.
Nama itu tidak asing di telingaku. Kurasa Sarah pernah menyinggungnya pada suatu waktu di masa lalu, entah kapan. Nama Francoise justru lebih familiar di telingaku dibandingkan nama-nama yang ditulis oleh Sarah di kertas kemarin.
Aku melangkah keluar dari ruang santai dengan sampah piring kertas di tanganku, memilih langkah yang paling cepat, karena Alexander dan Francoise mulai berisik dengan ciuman-ciuman liar mereka, bak kucing di musim kawin. Menjijikkan.
Sesampainya di dapur, kulemparkan sampah-sampah tadi ke tempat sampah, lantas duduk sejenak di salah satu kursi yang menglilingi meja makan besar milik keluarga Gazda. Mejanya berpelitur, benar-benar mengilap, dan aku bisa melihat pantulan wajahku di atasnya. Pesona paripurna yang terdiri atas perpaduan selera Sarah Gazda dan kerajinanku dalam membersihkannya setiap hari.
“Lelah, Avital?” tanya Carlisle, suara berat dan aksen khasnya membuatku menoleh secara spontan ke arah pintu. Dia berjalan menuju dispenser air, mengambil sebuah gelas tinggi, mengisinya hingga penuh, dan meneguknya dengan cepat.
“Anda tidak mabuk?” tanyaku balik, tidak beranjak dari tempatku duduk.
“Untuk apa aku mabuk-mabukan?” Carlisle bergabung denganku, menempati kursi yang berseberangan dengan kursiku.
“Orang bilang menjadi dokter itu melelahkan,” ujarku, “bikin stres.”
“Profesi apa pun sangatlah melelahkan jika kita tidak mencintai profesi itu,” sahut Carlisle.
“Anda mencintai profesi Anda?” tanyaku, menyangga wajahku dengan satu tangan.
“Ya.” Carlisle mengangguk. “Aku senang bisa membantu orang. Aku senang pada akhirnya aku bisa membangun sebuah klinik berbiaya rendah, bahkan gratis jika pasienku memiliki asuransi—baik swasta maupun program pemerintah. Aku senang.”
KAMU SEDANG MEMBACA
The Secret of Inheritance
Mystery / ThrillerSebagai seorang asisten rumah tangga biasa, Avital MacAvram tak pernah mengira dirinya akan mendapatkan warisan dari sang nyonya, Sarah Gazda, yang meninggal dunia akibat mengalami reaksi alergi yang parah. Namun, ketika melihat barang-barang yang d...