Jantung Gavin masih berdetak begitu kencang, bahkan setelah dokter mengatakan Belvin tidak mengalami luka serius karena kejadian itu.
Belvin pingsan karena terlalu shock. Dan dia perlu beristirahat setelah diberikan obat penenang.
Sekarang, mata yang beberapa saat lalu dia lihat begitu kosong seolah tidak ada jiwa yang bersemayam di tubuhnya itu kini tertutup. Tidur di bawah pengaruh obat.
Gavin sama sekali tidak melepaskan pegangannya dari tangan Belvin. Beberapa kali jarinya dia arahkan ke depan hidung Belvin hanya untuk merasakan napasnya yang terembus lembut masih bisa dia rasakan.
Ketika bayangan Belvin yang berjalan ke tengah jalan di antara banyak kendaraan berlalu lalang dalam kecepatan cepat seolah memburu waktu itu kembali melintas, gemetar di kaki dan tangannya masih bisa dia rasakan.
Gavin harus bersyukur meskipun saat itu sekujur tubuhnya rasanya bergetar, namun dia masih bisa berlari kencang untuk mencegah sesuatu yang buruk itu terjadi.
Sesuatu yang jika itu terjadi bisa dipastikan akan kembali membuat Gavin tenggelam dalam kesedihan tanpa ujung. Jurang penyesalan di mana dia tidak akan pernah menemukan cahaya yang bisa membuatnya keluar.
Gavin berharap itu mimpi buruk. Karena itu terlalu buruk untuk terjadi di dunia nyata.
Bayangkan melihat orang yang dicintai, melihat orang yang menjadi salah satu alasannya untuk hidup, tiba-tiba tertangkap dalam pandangannya sedang melakukan percobaan bunuh diri.
Memikirkan seberapa putus asa Belvin sampai memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri itu begitu melukai hati Gavin. Sangat melukainya.
Gavin membawa tangan Belvin dalam genggamannya ke depan mulutnya. Membenamkan mulutnya di sana dengan mata tak lepas mengamati sang perempuan yang berbaring di ranjang rumah sakit.
Wajah pucatnya dia amati. Gavin bertanya-tanya, sejak kapan Belvin menjadi sekurus ini? Sejak kapan sosoknya yang tangguh terlihat serapuh ini?
Di tengah-tengah itu, suara pintu yang terbuka membuat Gavin menolehkan kepala ke belakang.
Salah satu orang yang mungkin menjadi penyebab Belvin memutuskan mengakhiri hidupnya ada di sana.
Ibunya ada di sini.
Jolie. Briana Jolie.
Gavin mengenal ibu Belvin sebagai sosok aktris yang selalu tampil tanpa cela. Dengan penampilan selalu prima setiap waktunya. Tampak selalu memastikan apa yang menempel di tubuhnya sempurna. Tanpa kurang satu pun.
Tidak terbayangkan sosok yang selalu tampil sempurna dan begitu elegan itu muncul di hadapannya dalam balutan daster rumahan dengan rambut digulung asal-asalan.
Jelas sekali beliau buru-buru datang ke sini setelah dihubungi.
Wajahnya pucat. Tanpa polesan make up. Badannya lebih kurus dari terakhir kali Gavin ingat.
Gavin sadari Jolie yang selama ini dia kenal pada dasarnya adalah seorang ibu. Ibu dari seorang anak yang sekarang sedang berbaring setelah sempat melakukan percobaan bunuh diri.
Seorang ibu yang sekarang sedang hidup dalam penyesalan yang entah kapan berakhirnya.
Tidak ada yang Gavin ucapkan, selain memberikan ruang untuk seorang ibu yang sedang dirundung penyesalan itu untuk duduk di samping anaknya yang masih belum sadarkan diri.
Sebelum pintu benar-benar tertutup, telinganya mendengar isak tangis pilu keluar dari seorang ibu yang dulu dengan teganya mengatakan... seharusnya anak yang sedang dia tangisi itu tidak lahir ke dunia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dimana Ujungnya?
Romance[Sequel Letting Go] "I'll kill you." "I love you." "I will make your life a living hell!!" "Do it! My life, everything in me is yours. Always be yours, Bel." © nousephemeral, 2024 all pictures inside, include cover © pinterest.