"Masih ngantuk," ujar Izaz merebahkan badannya di atas lantai dapur. Hal itu membuat Yunita melihat ke arah anaknya itu.
Sambil menata menu sahur pada puasa pertama kemudian Yunita menghampiri sang anak.
"Gak usah gitu, Kak. Lihat itu, adik kamu aja kelihatan seger." Yunita berucap sembari mengusap pucuk kepalanya.
Izaz hanya mengangguk. Mana mungkin ia bisa menolak ucapan Ibunya terlebih lagi saat Yunita berbicara dengan nada lembut.
Kedua Ibu dan anak itu pun duduk di kursi masing-masing seperti biasa. Di sana juga sudah ada Shindu dan Anin. Tidak selang lama Baskara menghampiri istri dan ketiga anaknya dengan mengenakan sarung kebanggaannya.
"Wah anak ayah kelihatan senang banget," ujar Baskara menduduki kursinya. "Ini kamu kenapa? Kaya kurang tidur aja mukanya." Baskara melihat ke arah anak keduanya yang terlihat sangat lesu berbeda dengan yang lain.
"Habis begadang itu makanya mukanya lesu," jawab Shindu membeberkan bahwa adiknya itu memang begadang untuk mengerjakan beberapa tugas sekolah.
Ia tahu karena semalam menumpang tidur di kamar kembarannya itu dikarenakan AC di kamarnya sedang rusak.
"Udah dibilangin jangan begadang, begadang mulu. Emang begadang apa enaknya?" tanya Baskara.
"Enak, Yah. Kalo kerjain apa-apa bisa lebih cepet soalnya tenang."
"Jangan pada tanya, ini bukan lagi sesi tanya jawab. Di makan dulu keburu imsak nanti repot." Yunita memperingati suami serta anaknya lantaran ia memiliki firasat jika tidak di ingatkan maka tidak akan berakhir.
"Siap, Ibu."
***
Menatap siang dalam langit biru yang cerah dalam suasana yang tenang berhias awan-awan putih. Di bawah langit biru itu terdapat dua saudara kembar yang tengah menatap langit.
Jika dilihat dari wajahnya, kedua saudara kembar nampaknya sedang memasuki fase-fase untuk mempertahankan hidup. Keduanya masih belum membuka obrolan sama sekali, mereka masih sibuk dengan pikiran masing-masing.
Terlebih lagi Izaz, dia sedang membayangkan akan membeli berbagai jenis takjil untuk berbuka nanti. Tapi tidak bisa disingkirkan bahwa ia sudah merasakan jika perutnya terus-terusan berbunyi.
"Perut lo bunyi mulu, sampai kedengaran sama gue." Shindu melihat kembarannya itu yang wajahnya sudah sangat lemas.
Izaz mengusap perut yang rata. "Laper, Bang."
"Bukan lo dong, gue juga kali," ujar Shindu.
"Permisi, paket!" Tiba-tiba saja suara itu muncul membuat Shindu dan Izaz bangkit melihat seseorang tersebut.
Tidak lama kemudian Anin melewati mereka dengan wajah bersinar terpancar di sana. Terlebih lagi saat paket itu sudah berada di tangannya. Anin bergegas menghampiri kedua kakaknya yang sedang duduk di gazebo.
"Apa itu?" tanya Izaz penasaran apa isi paket yang dibeli oleh Adiknya itu. Izaz pun melihat Anin yang sedang membuka paket dengan hati-hati.
Bungkusan itu sudah terbuka hingga menampilkan tiga pack lego yang baru beberapa hari ia pesan. Lego tersebut berbentuk kartun yang sangat lucu.
Shindu mengangkat salah satu pack lego tersebut kemudian melihatnya dengan seksama. "Lo ngapain beli kaya gini? Kaya bocah SD aja," ujar Shindu ikut membukanya.
"Kaya anak SD, tapi lo ikutan buka itu mainan," sindir Anin lantaran kakaknya itu sedang membuka bungkus lego.
Izaz di sana hanya terdiam melihat lego kecil yang sudah ia keluarkan dari dalam plastik. Matanya kini mulai tertuju dengan selembar kertas yang isinya adalah langkah-langkah merakit lego itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unspoken Traces (COMPLETED)
Novela JuvenilMenceritakan tentang sebuah keluarga Baskara dan Yunita yang memiliki tiga orang anak. Dua anak kembar laki-laki dan satu anak perempuan. Si kembar Shindu, Izaz, dan Anin sebagai anak bungsu. Keluarga yang harmonis bahkan tidak menjamin adanya konf...