Adelita || 16

38 26 80
                                    

🏡🏡

Kukira kak Zio akan pulang setelah kopinya habis, dia ternyata sempat terlelap di depan televisi. Hampir gelap, aku sudah mulai terbiasa dengan dia yang tidak seperti kebanyakan orang kira. Di awal mungkin dia bisa menuruti apa yang kuminta, tapi belakangan ini kak Zio menegaskan alasan dia tidak bisa menurutiku lagi.

"Sholat itu dari hati, Del. Kalau kamu maksa aku, terus akunya nggak ikhlas. Sama aja bohong."

"Kak, mau nunggu sampai kapan hatinya tergerak kalau nggak dibiasakan? Kamu bakal terus kayak gini aja."

"Ya sampai nanti."

"Nanti kapan?"

"Kapan-kapan."

Tidak jarang setelah debat seperti itu dia jadi mendiamkanku, aku juga memiliki gengsi tinggi untuk mengalah jika menurutku hal itu tidak salah. Akhirnya beberapa waktu aku tidak lagi memintanya, ternyata benar kata orang jangan hanya melihat dari sampul depan tanpa tahu bagaimana dalamnya.

Kak Zio mungkin adalah representasi dari beberapa senior laki-laki di Sekretariat, sangat gemar berdiskusi sampai terlihat begitu hebat di mata sesama manusia. Namun, di baliknya justru enggan berdiskusi dengan Pencipta, padahal dia bisa tampak bernilai hingga detik ini hanya karena izin-Nya.

Sudah hampir maghrib, aku membangunkannya karena meski tidak sholat tetap saja jangan sampai ia tidur saat adzan berkumandang. Wajahnya terlihat sangat terganggu, sedikit terbantu karena dia tampan hingga kerutan di dahinya tidak mengubah visual yang banyak dipuja.

"Bangun dulu, Kak. Aku sholat maghrib di kamar, jangan tidur sebelum orang selesai sholat."

Dia hanya menggumam, kulirik tangannya meraih gawai yang sejak tadi dia charger di samping sofa. Sedikit kesal, harusnya tidak seperti ini yang ada dalam ekspektasiku. Laki-laki yang bersamaku, seburuk-buruknya tidak boleh asing dengan Tuhan.

Selesainya aku pun keluar dari kamar, kak Zio terlihat sudah selesai membasuh muka dan mengambil air minum. Tidak ada tanda-tanda dia ingin mengerjakan kewajiban sama sekali, justru dia tersenyum sembari menepuk sofa di samping tempatnya duduk.

"Kak Zio nggak dicariin orang rumah?" tanyaku sedikit ingin menyinggungnya.

"Kamu ngusir aku?" ujarnya.

"Nggak sih, lagian dari tadi loh ke sini siapa tahu aja orang rumah khawatir Kakak lama-lama di luar."

"Nggak ada yang nyariin aku, Del. Bahkan kalau misalnya aku nginep sini, nggak akan ada yang nanya."

Sedikit ngeri mendengarnya, sebebas itu kah dia sampai bisa saja bermalam di mana pun tempat yang ia suka. Aku duduk di sofa tepat sebelahnya, melihat gawai sementara kak Zio menghidupkan televisi. Aku yakon, benda persegi itu hanya dihidupkan tanpa benar-benar ingin menonton. Kak Zio dan aku sama tidak berminatnya dengan acara televisi sekarang, entah rasanya sudah hambar atau karena secara tidak langsung gawai menggeser keunggulannya.

Aku sadar ada sesuatu yang mulai aneh, tangan kak Zio yang sebelah kanan masih menggulir gawai. Sedang yang kiri teulur di belakangku, meski ada jilbab yang menutup rapat tapi aku bisa merasakan jangkauannya. Benar saja, kutatap tangan yang sudah berada di sisi kiri kepalaku.

Jantung seakan melonjak ketika menengok kembali ke kanan, kak Zio sudah berada sangat dekat denganku. Refleks sedikit mendorongnya, aku pun beranjak seolah tidak terjadi apa-apa dan mengambil gelas di dapur.

Apa yang dia lakukan? batinku heran.

Biasanya aku hanya mendengar hal ini dari cerita orang, setidaknya mungkin pengalaman yang mereka sampaikan. Beberapa mungkin senang, tapi rasanya berbeda denganku karena sudah paham jika diberi kesempatan maka setan akan menghasut lebih.

Dari kata 'pacaran' pun sebenarnya tidak diizinkan, anehnya lingkungan seolah mewajarkan hal tersebut. Kupikir dalam organisasi ini juga melarang dan menjaga, sayangnya ternyata di dalam ada sisi romantisme yang tidak bisa dielakkan.

Kak Zio menyusulku ke dapur, mungkin dia berpikir aku terlalu lama berdiri di samping dispenser. Kuperhatikan langkahnya, entah apa yangs sedang dia alami sekarang karena aku seolah tidak mengenal dirinya.

Kak Zio mengambil gelas di tanganku, meletakkan dengan tangan kirinya sedang yang kanan menggenggam jemariku.

"Maaf," ujarnya lirih.

Aku hanya bisa mengangguk, membalas senyumnya meski pada kenyataan belum paham dengan esensi maaf yang dia katakan. Namun, sepertinya kata maaf itu hanya tameng, dia menarikku dalam pelukan tapi rasanya seperti bukan sebuah pelukan yang tulus. Aku mendengar deru nafasnya, perlahan mulai paham apa yang sebenarnya terjadi saat kak Zio mulai menyentuh kedua pipi.

"Lepas!"

Gemuruh yang sedari tadi tidak ingin kubiarkan menguap, keluar lewar sorot mata yang mungkin juga bisa kak Zio pahami. Dia menatapku sendu, perlahan aku muak dengan raut itu yang entah kenapa terlihat sangat murahan.

"Aku mau dicintai, Kak, tapi bukan dengan cara kayak gini!" pekikku tertahan.

Beruntung aku sudah berhasil mendorongnya, memberi jarak hingga aku bisa bertukar kilat mata yang berbeda. Aku kecewa, tentu saja. Sorot itu yang awalnya begitu lembut, kini berubah seperti milik orang lain.

"Kalau kamu berani kayak gitu atau bahkan lebih, jangan salahin aku kalau nanti semua orang tahu!"

"Apa maksud kamu? Mau ngasih tahu orang-orang, hm? Kasih tahu, asal kamu juga siap hancur dengan informasi itu."

Aku mengernyit. "Hancur? Apa yang kau jadikan alasan untuk menyeretku?"

"Kamu itu korban, Del. Nggak sulit buat aku bilang ke semua orang kalau kamu korban KRS. Kader baru seperti kamu, nggak akan terlalu didengar. Jadi, kalau kamu nggak mau hancur, jangan macam-macam dan nurut ke aku."

"Fine!" Aku berteriak di depannya, sekilas kulihat ada raut takut yang terpancar dari wajahnya. "Silahkan. Kalau Kakak mau ngasih tahu semua orang, aku nggak akam rugi apa-apa. Lagipula, aku nggak kayak perempuan lain yang bakal pergi setelah hubungan ini selesai."

"Del, bu-bukan itu maksud ... "

"Keluar!"

"Del, aku minta maaf--"

"Aku bilang keluar! Pergi dari sini sekarang juga!"

Pengusiran yang sudah sampai pada titiknya, aku tidak lagi peduli saat dia terus memohon agar tidak sekeras ini. Entah bagaimana jadinya jika aku tidak tahu akan hal seperti ini, mungkin aku akan bernasib sama saja seperti yang lain.

Seusai mengunci pintu, aku melihat spam chat dan panggilan yang langsung kublokir. Kontak yang sudah sejak beberapa hari ini terus meyakinkan, akhirnya kupercaya setelah dia mengirim beberapa bukti kelakuan buruk kak Zio yang tidak diketahui orang lain.

"Dasar, senior mesum!"

Belum usai gemuruh emosi yang mengungkung, sebuah panggilan masuk dengan nomer tidak dikenal. Aku bimbang, ingin menerimanya tapi takut jika itu nomer lain kak Zio. Menolaknya pun akan semakin membuatku penasaran, tanpa sengaja jariku menekan ikon hijau yang langsung mengubah display panggilan menjadi hitungan detik suara masuk.

"Hallo. Lita? Kenapa ki?"

Sedetik, aku mengembuskan napas entah lega atau senang mendengar suara ini lagi.

"Syahib~"

°••°••°••°

Hukum dalam RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang