12. Fantastic Four

373 66 4
                                    

Karina

Kian hari, ia makin merasa tak nyaman dengan tubuhnya sendiri. Seperti ada sesuatu yang salah. Namun tak mengerti letak salahnya dimana.

Mood swingnya juga makin parah akhir-akhir ini. Bisa tiba-tiba senang bukan kepalang. Namun sedetik kemudian, ingin menangis tersedu-sedu. Hanya karena hal remeh. Membuatnya frustasi dengan diri sendiri.

"Apa gue kena mental illnes ya?" gumamnya ke arah Hanum dan Bening. Yang sedang asyik melahap awug buatan Bi Enok.

Minggu pagi ini, dua sahabat karib itu sudah nongkrong di rumahnya, sambil menunggu berlangsungnya laga perdana Fantastic Four HSBL Jakarta sore nanti.

"Ngaco, lo!" Hanum mengkerut tak setuju.

"Periksa aja, Rin. Lagi musim kan mental illness kek gitu," sahut Bening dengan mulut penuh.

"Awug buatan Bi Enok enak banget sumpah. Ini dijual ke anak-anak juga pasti laku sih. Tinggal dikemas semenarik mungkin. Eh, atau kita titipin ke kantin? Lumayan kan dapat cuan hehehe..."

Namun tak ada yang menggubris ide bisnis Bening. Hanum justru menggerutu, "Lagi musim, dikira mangga kali musim."

"Ya, tuh buktinya," ia mengernyit. "Banyak seleb rame-rame mengakui kena mental illness."

"Mereka ngaku kena mental illness, memang hasil resmi dari diagnosa dokter. Apa nebak-nebak sendiri cocoklogi?!" Hanum masih menggerutu.

"Semisal kita lagi down, terus ngelakuin hal yang impulsif, dibilang bipolar. Kita sedih, terus nangis-nangis karena hal yang menurut orang lain remeh, dibilang dual personality," lanjut Hanum sambil mencibir.

"Orang tuh divonis mental illness, setelah melalui serangkaian pemeriksaan dan observasi dari ahlinya. Pemeriksaan yang sesuai prosedur, terstruktur, sistematis. Bukan dasar cocoklogi ala ala," Hanum makin bersemangat.

"Kalau kata gue sih ya, orang ngaku-ngaku, ngaku-ngaku nih ya, catet, kena mental illness kadang buat dapat privilege nggak sih?"

"Jadi, saat melakukan hal di luar kewajaran, orang akan memaklumi. Oh, si A kan kena mental illness, wajar lah. Atau... oh si B mental illness, jadi bisa dimengerti. Gitu nggak sih?"

"Karena orang yang beneran kena pasti keep the secret dong, kecuali untuk orang-orang terdekat pasti tahu lah. Bukannya diumbar-umbar ke khalayak, pakai di post ke sosmed attention please, gue kan kena mental illness loh. Big no."

Tapi Bening menggeleng tak setuju, "Nggak semua keep the secret kali, Han. Kadang perlu orang lain tahu. Biar nggak jadi salah paham dan nambah masalah. Coba kalau gue bipolar, terus diem-diem bae. Pas fase maniak, gue tiba-tiba seneng terus sedih kayak gitu, kan bikin ribet orang lain, tahu nggak sih?"

"Iya juga sih," Hanum mengakui. "Tapi sekarang jadi rancu, antara yang beneran kena mental illness sama yang ngaku-ngaku."

"Kalian gimana sih?" sungutnya kesal. "Malah diskusi panel. Ini gue kenapa akhir-akhir ini sering mood swing parah?! Ada yang bisa jelasin? Hello?!"

"Itu kemarahan terpendam bukan sih, Rin?" tebak Bening dengan suara penuh kehati-hatian. "Lo marah sama diri sendiri karena satu dan lain hal. Terpendam sedemikian rupa. Nah, kalau ada pencetusnya langsung naik deh kek fenomena gunung es."

"Jadi, si Dipa udah putus beneran sama Tiara belum sih?" tiba-tiba Hanum mengalihkan topik.

Ia hanya mengangkat bahu, "Tahu."

"Lo masih cinta sama Dipa?" selidik Bening.

"Hah? Ya masih lah. Dipa itu forever crush gue. Sampai kapan pun perasaan gue nggak akan berubah. First love, gimana sih rasanya?"

Senja dan Pagi | Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang