Karina
"Kok bisa?" Jefan memandangnya dengan wajah pias.
"Kok bisa gimana?!" salaknya dengan nada penuh emosional. "Kan elo yang ngelakuinnya! Kenapa nanya ke gue?!"
"Lo pikir gue ngelakuin hal kayak gitu sama semua orang?!?!" emosinya kini bahkan semakin menjadi.
Mereka berdua sempat saling berdiam diri sejenak. Tenggelam dalam pikiran masing-masing. Lalu Jefan kembali memandanginya dengan wajah yang semakin pias. Ia pun balas memasang wajah sengit.
Kemudian Jefan mulai memejamkan mata, menggelengkan kepala, lalu menghembuskan napas melalui mulut dengan sangat perlahan. Sialan, demi apa ia mengikuti gerak gerik si berandal ini.
"Terus gimana?" Jefan kembali memandangnya, kali ini dengan wajah bingung.
"Terus gimana apanya?! Kok nanya ke gue lagi sih?!" sekali waktu Jefan angkat bicara justru semakin membuat emosinya meledak.
"Maksud gua setelah ini gimana?" Jefan menatapnya semakin bingung.
"Ya tanggung jawab lah!!" bentaknya semakin marah. Ia tahu Jefan bodoh, tapi kenapa sekarang makin menjadi bodohnya?!
Jefan kembali menghembuskan napas perlahan, kemudian berdiri lalu mulai berjalan ke sisi lain gazebo, "Iya... iya, gua bakalan tanggung jawab. Sialan!"
"Sialan?!" ia semakin meradang. "Lo ngatain gue sialan?!?!"
"Bukan itu maksud gua," Jefan mengacak rambut dengan gerakan keras, dengan wajah yang sangat frustasi. "Itu gua barusan lagi ngomong sama diri sendiri bukan ke elo!"
Ia mendecih tak percaya, "Tapi lo barusan ngomong sialan di depan muka gue! Apa namanya kalau bukan ngatain gue?!"
"Iya... iya... sori... sori... gua lagi panik!" Jefan kembali berjalan mondar mandir dari satu sisi ke sisi lain gazebo.
Hingga beberapa menit kemudian mereka berdua kembali terdiam, tak ada yang bersuara. Namun Jefan terus saja berjalan dari satu sisi gazebo ke sisi lainnya sambil menggelengkan kepala dan meremas rambut keras-keras, dengan wajah yang semakin frustasi. Sementara ia hanya bisa mendongkol dalam hati demi memperhatikan gerak-gerik Jefan yang sama sekali tak efektif dan malah membuatnya semakin naik pitam.
"Lo bisa diam nggak sih?! Dari tadi mondar mandir mulu bikin gue pusing!" bentaknya kesal demi melihat Jefan hanya berjalan kesana kemari tanpa mengucapkan sepatah katapun.
"Gua panik asli," jawab Jefan sambil berkali-kali meremas rambutnya. "Gua nggak nyangka bakal begini jadinya."
"Apalagi gue!" salaknya cepat.
"Terus sekarang kita gimana?" Jefan kembali memandangnya bingung.
"Ya elo lah pikir! Kan elo cowoknya!" bentaknya semakin marah karena Jefan sama sekali tak terlihat meyakinkan dalam menghandle semua ini. Jefan yang biasanya penuh aura intimidasi nan percaya diri kini tiba-tiba berubah menjadi anak kecil yang sedang ketakutan karena terpergok mencuri.
Atau mungkinkah cowok berandal ini sedang berniat untuk menghindar dan lari dari tanggungjawab? Oh, ya, tentu, seharusnya ia sudah mengetahui semua kemungkinan ini sejak awal.
Namun sayangnya ia terlalu bodoh hingga mau mau saja berurusan dengan berandal seperti Jefan! Bahkan ia sendiri yang mencari masalahnya kemudian meningkat menjadi mencari mati. Kini ia tinggal memilih, akan masuk ke liang kubur dengan cara melompat atau turun secara perlahan. Mengerikan.
"Kok gua?!" Jefan mengkerut yang membuat emosinya semakin meledak. "Elo kan ceweknya. Elo yang hamil. Elo yang paling ngerti harus gimana. Kenapa jadi gua?!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Senja dan Pagi | Na Jaemin
RomanceSometimes someone comes into your life so unexpectedly, takes your heart by surprise.