16

9 2 22
                                    

Rabu, 11 September 2024.

Suamiku tidak ada di sampingku ketika aku membuka mata. Penglihatanku justru disambut oleh kamar bernuansa hitam-putih-abu-abu, yang menjadi favorit Carlisle sejak kami belum menikah. Dia ngotot mempertahankannya meskipun aku merengek ingin kamar kami bernuansa merah membara, berdalih bahwa nuansa merah akan membuat kamar kami terlihat seperti neraka.

Aku menguap, meregangkan badan, lalu berputar untuk melihat ke tempat di mana cermin full body berada, dan melihat suamiku sudah mengenakan kemeja hijau pistachio dan celana hitam yang licin. Dia menyisir rambut ikalnya yang menggemaskan, lalu berbalik ketika menyadari bahwa aku sudah terbangun dari tidurku.

“Halo, Tampan,” godaku dengan senyuman usil, tidak beranjak dari posisiku.

“Selamat pagi, Wifey,” ucap Carlisle dengan senyuman seraya menghampiriku untuk memberikan satu kecupan di kening. “Bagaimana tidurmu?”

“Cukup nyaman, diiringi tendangan-tendangan dari putri kecil kita.” Aku tersenyum. “Kurasa hari masih begitu pagi,” tebakku.

“Memang,” Carlisle mengiyakan, “tapi Antonin meneleponku tiga puluh menit yang lalu, mengeluh sakit dan sedikit sesak napas.”

“Antonin tidak punya riwayat sesak napas,” sahutku.

“Justru itulah penyebab utama mengapa Antonin meneleponku dengan suara gemetar dan rintihan kesakitan,” ujar Carlisle. “Kau mau ikut?”

“Ya, kalau aku tidak mengganggu,” jawabku sembari bangkit dari ranjang.

“Tentu saja kau tidak akan mengganggu,” kata Carlisle. “Kau bisa berbincang dengan Sonja, menimang-nimang Sandor, atau bertemu Annie. Kurasa Annie akan sangat senang bertemu denganmu.”

“Tak diragukan lagi.” Aku mengangguk. “Aku akan mandi dan berpakaian secepat kilat.”

“Jangan tergesa-gesa, dan berhati-hatilah di kamar mandi.” Carlisle mencium bibirku sejenak. “Aku sudah menyikat lantainya agar tidak licin, tapi tetaplah berhati-hati.”

“Terima kasih.” Aku mencium bibirnya sejenak sebelum berjalan menuju kamar mandi.

***
Sandor berada dalam pengawasan Annie, sementara Sonja menemani Antonin di kamar mereka—kamar utama bernuansa cokelat yang tak pernah berubah sejak Sarah masih hidup. Sonja duduk di tepian ranjang, menggenggam tangan Antonin, sementara pria berambut cokelat gelap itu terbaring lemah, letih, lesu, dan pucat. Dia terbaring bak orang sekarat, di ranjang yang sama di mana Sarah sekarat tahun lalu. Andai ranjang itu bisa mengeluh, tentunya ruangan ini sudah sangat berisik karenanya.

“Carlisle,” panggil Antonin, hampir dalam bisikan, “aku merasa lemas, selalu kehausan, dan agak sesak napas.”

Carlisle mendengarkan keluhan temannya itu dengan seksama. Sonja bangkit dari ranjang untuk berdiri di sampingku, membiarkan suamiku melakukan pemeriksaan terhadap Antonin. Carlisle juga menanyakan beberapa hal pada Antonin, termasuk makanan yang dikonsumsinya akhir-akhir ini. Antonin mneyebutkan beberapa makanan dan minuman, dan menurutku tak ada yang aneh pada makanan-makanan itu. Sampai akhirnya Antonin menyebutkan menu makan malam kemarin; bistik daging sapi yang dimasak dengan bumbu berwarna hitam, yang dipesan oleh Sonja melalui layanan pesan-antar.

“Bistik?” Aku menyela di tengah-tengah pemeriksaan, “Dengan bumbu berwarna hitam?”

“Kecap inggris,” Sonja menimpali.

“Di restoran mana kau memesan makanan itu?” tanyaku pada Sonja.

“Restoran Eve Santoso,” jawab Sonja.

“Mereka tidak memakai kecap inggris!” seruku, “Mereka memakai kecap kedelai!”

“Dan Antonin memiliki riwayat alergi terhadap kedelai,” tambah Carlisle.

“Mati aku,” desah Antonin putus asa. Matanya menatap lampu gantung di langit-langit kamar. “Oh, Sonja, mati aku ....”

“Suamiku, aku tidak tahu jika mereka menggunakan kecap kedelai!” Sonja melolong dan berlutut di lantai, tepat di samping sisi ranjang Antonin. “Maafkan aku ....” Sonja meraih tangan Antonin dan menciumnya. “Tapi kau tidak akan mati hanya karena alergi kecil, ‘kan? Tidak akan.”

“Oh, Sonja, mati aku ....” racau Antonin, sama sekali tidak menatap ke arah Sonja.

“Kau tidak akan mati,” ujar Carlisle datar, “aku akan memberikan obat-obatan untuk meringankan penderitaanmu. Selain lemas dan sesak napas, apa lagi yang kau alami? Muntah? Diare?”

“Semuanya,” keluh Antonin, “seperti yang dialami oleh Sarah.”

Seperti yang dialami oleh Sarah. Sangat menarik.

.
.
.

-Bersambung ....

.
.
.
.
.

-Ema Loka.

The Secret of InheritanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang